Selasa, 17 Desember 2013

Dari Kamar Redaksi ke Haluan Negara

Dari Kamar Redaksi ke Haluan Negara
Andi Irmanputra Sidin  ;   Pakar Hukum Tata Negara
MEDIA INDONESIA,  16 Desember 2013


  
DIALOG Kebangsaan yang digagas Forum Pemimpin Redaksi, 10-11 Desember 2013, membuahkan resolusi penting kehidupan konstitusi kita akan haluan negara. Konstitusi kita yang sudah berjalan hampir 15 tahun memang perlu perenungan kembali secara bersama. Pranata-pranata formal seperti DPR, DPD, MPR, presiden hingga partai politik (parpol) sesungguhnya yang memiliki obligasi konstitusional untuk memfasilitasi perenungan itu, tapi tampaknya mereka abai atau mungkin tak percaya diri untuk melakukan itu. Padahal, pranata itulah yang diharapkan dapat menghasilkan gagasan dan aksi perbaikan sistem pencapaian tujuan negara.

Hal itu bisa disebabkan parpol sebagai perangkat lunak utama konstitusi lebih asyik `bersenggama' dengan impresi guna meraih puncak elektabilitas, sehingga abai berpikir hal fundamental tentang negara. Itulah satu hantu yang harus diwaspadai dalam kehidupan konstitusi kita, yaitu berhala elektabilitas dan popularitas yang cenderung kontraproduktif terhadap filosofi bernegara, bahwa bernegara mutlak mempunyai tujuan yang hendak dicapai, bukan panggung perebutan atau peralihan kekuasaan bagi parpol atau politisi tanpa haluan negara yang jelas.

Oleh karena itu, tampilnya Forum Pemimpin Redaksi yang mengambil alih peran pranata-pranata formal itu untuk mengajak kita semua berpikir fundamental akan negara menjadi warna tersendiri dalam sejarah konstitusi kita. Hal itu semakin membuktikan bahwa redaksi memang kekuatan yang signifikan dalam kehidupan konstitusi suatu negara. Oleh karena itu, gagasan itu jangan berhenti untuk tidak dikawal terus oleh forum tersebut.

Tanpa sadar, tongkat komando perubahan fundamental itu sedang beralih ke kamar-kamar redaksi di seantero Republik ini.

Tinjau kembali

Perubahan konstitusi yang sudah berjalan hampir 15 tahun, sehingga memang saatnya ditinjau kembali. Salah satu hal pen ting bahwa perubahan konstitusi berikut undang-undang sesaat pascareformasi bisa jadi penuh spirit amarah di dalamnya terhadap rezim Orde Baru. Oleh karena itu, amarah itulah yang kemudian sangat mempengaruhi desain struktur, substansi kehidupan bernegara kita. Tentunya spirit amarah melakukan perubahan tidak serta-merta melahirkan sistem negatif, tapi perlahan akan dirasakan keraguan akan hal itu.

Dahulu kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang ditempatkan sebagai pranata puncak kemuliaan akan permusyawaratan perwakilan. Di sanalah, puncak curah rakyat akan perjalanan akselerasi pencapaian tujuan negara. Setiap negara mutlak memiliki tujuan. Guna mencapai tujuan itu, setiap negara harus punya grand design yang memandu bangsanya melintasi sejarah peradabannya, bahwa pembangunan harus berlangsung by design bukan by instinct alias suka-suka rezim yang tengah berkuasa (Editorial Media Indo berkuasa (Editorial Media Indonesia, `Negara Tanpa Haluan', 11/12)

Melalui MPR itulah, para wakil kita merancang sebuah haluan negara, yang sesung guhnya merupa kan pernyataan kehendak rakyat. Haluan itu yang kemudian berisi pola umum pembangunan nasional sebagai rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu yang berlangsung terus-menerus yang harus dilaksanakan siapa pun presidennya. Pola umum itulah yang menjadi jalur, target pencapaian atau keadaan yang diinginkan rakyat akan kondisi negara dalam kurun waktu lima tahun dan jangka panjang guna pencapaian tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Haluan negara itulah yang kemudian menjadi `buku tagihan' rakyat kepada presiden yang menjadi mandataris, untuk dan atas nama daulat rakyat yang bertindak sebagai nakhoda pencapaian akan keadaaa yang diinginkan rakyat dalam setiap rute perjalanan 5 tahunan hingga jangka panjang. Namun, apa daya, konsep haluan itu nampaknya harus menjadi `korban', akibat MPR yang diharapkan setia dengan daulat rakyat ketahuan `berselingkuh' dengan kekuasaan (presiden) Orde Baru kala itu.

Puncak nya, reformasi membuat kita marah, kedaulatan MPR yang kita mandatkan sepenuhnya untuk dilaksanakan kita lucuti. Kedaulatan itu di antaranya dalam hal memilih dan mengangkat presiden. Konsekuensi linearnya kita juga marah bahwa MPR tidak usah menetapkan haluan negara, dengan logika karena yang memilihnya nanti ialah rakyat langsung.

Biarkanlah calon presiden menyusun programnya sendiri guna membawa kita mencapai tujuan negara, dan rakyat pasti akan membeli program atau janji yang dinilainya bagus untuk kemudian menentukan sendiri presidennya.

Luapan penyesalan

Nampaknya, hal itu kemudian baru disadari bahwa ternyata demokrasi pasti memiliki rasionalitas hingga anomalinya sendiri, sesuai peradaban yang terbangun. Akhirnya, kita pun tak kuasa menghapus total GBHN itu, untuk kemudian memberikan kertas kosong kepada presiden untuk menulis semaunya saja. Akhirnya, kita sepakat memun culkan pranata substitusinya, yaitu sistem pembangunan nasional yang tidak ditetapkan oleh MPR, tapi ditetapkan bersama oleh presiden dan DPR dalam bentuk UU.

UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional serta UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, sesungguhnya merupakan produk luapan penyesalan ketika GBHN dihapus pada level konstitusi. Oleh karena itu, UU ini dalam konsideransnya mengungkapkan penyesalan itu bahwa akibat peng hapusan GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional, negara ini ternyata mut lak memerlukan rencana pemba ngunan sebagai arah dan prioritas secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap guna pencapaian tujuan negara.

Namun, ternyata kedua UU itu tak memiliki aura wibawa seperti GBHN, yang bisa `mengartumerahkan' presiden. Padahal, kedua UU itu memiliki implikasi yang sama dengan GBHN, bahwa kalau dilanggar, presiden bisa `dikartumerahkan'. Objek pengawasan DPR dan DPD sesungguhnya harus bersandar pada kedua UU itu. Parlemen harusnya bisa menagih presiden akan pencapaian rencana pembangunan tersebut, jika kemudian ada temuan target yang tak tercapai atau yang menyimpang, sesungguhnya DPD bisa meminta DPR (termasuk inisiatif sendiri), bisa menggunakan hak angket atau hak menyatakan pendapat guna minta pertanggungjawaban presiden hingga pada titik pemakzulan.

Kenyataannya, parlemen kita lebih tertarik mengontrol hal yang sensasional politik kepada pemerintah, yang hanya menguras impresi, meski tak sepenuhnya minus substansi tujuan negara. Negara saat ini dalam euforia terhadap konflik politik dengan hukum se bagai mediumnya, yang bisa mengarah `tawuran', karena ternyata juga, bukan hanya parpol yang sibuk mengejar elektabilitas, melainkan organ kekuasaan juga berebut popularitas, berebut impresi pahlawan dengan bersenjatakan otoritas yang terberi oleh sebuah amarah zaman.

Oleh karena itu, keadaan itulah yang mungkin membuat kita semua menjadi rindu akan GBHN, kita rindu masa lalu, kita rindu akan hikmat kebijaksanaan akan permusyawaratan perwakilan. Republik ini tidak bisa bergerak simpang-siur tanpa arah, tidak boleh simpang-siur tanpa haluan bahkan tidak boleh dinakhodai oleh seorang yang hanya bermodalkan impresi, popularitas, dan elektabilitas. Hal itu akan sangat berbahaya. Di sisi lain, tanpa sadar ada kekuatan di balik semua itu yang berebut pengaruh yang tak ambil pusing dengan arah dan pencapaian tujuan negara.

Harus punya haluan

Oleh karenanya, haluan negara niscaya menjadi kebutuhan saat ini. Namun, kita tidak perlu terlalu manja dan romantis untuk kemudian mengambil mentah-mentah konsep haluan negara masa lalu. Ada puluhan bahkan ratusan varian yang kita bisa bangun akan konsep haluan negara sebagai neo GBHN, yang bisa berisi pola dan target riil pencapaian untuk jangka waktu pembangunan tertentu. Semua bisa kita bangun konstruk sinya, asalkan wakil rakyat sejenak mau mengendurkan ikat pinggang jelang pemilu untuk berkumpul di MPR mengambil keputusan bersama akan rencana perubahan konstitusi sesaat terbentuknya kekuasaan pasca-Pemilu 2014.

Yang pasti, meski Presiden dipilih langsung oleh rakyat, negara harus punya haluan, negara harus punya pola hingga strategi, dan target pencapaian tujuan negara. Calon presiden menjual rancang tindak guna haluan negara itu, bukan menjual impresi yang membuat kita kehilangan rasio dalam memilih nakhoda di negara kita. Sebagai catatan kaki, haluan negara ini juga menjadi pegangan bagi semua lembaga negara yang ada, dan tidak bergerak sesuai kehendak masing-masing atas nama independensi. Dengan begitulah, rakyat tetap memiliki instrumen guna `mengartumerahkan' seluruh lembaga di Republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar