DIALOG Kebangsaan yang digagas
Forum Pemimpin Redaksi, 10-11 Desember 2013, membuahkan resolusi penting
kehidupan konstitusi kita akan haluan negara. Konstitusi kita yang sudah
berjalan hampir 15 tahun memang perlu perenungan kembali secara bersama.
Pranata-pranata formal seperti DPR, DPD, MPR, presiden hingga partai
politik (parpol) sesungguhnya yang memiliki obligasi konstitusional untuk
memfasilitasi perenungan itu, tapi tampaknya mereka abai atau mungkin tak
percaya diri untuk melakukan itu. Padahal, pranata itulah yang diharapkan
dapat menghasilkan gagasan dan aksi perbaikan sistem pencapaian tujuan
negara.
Hal itu bisa disebabkan parpol
sebagai perangkat lunak utama konstitusi lebih asyik `bersenggama' dengan
impresi guna meraih puncak elektabilitas, sehingga abai berpikir hal
fundamental tentang negara. Itulah satu hantu yang harus diwaspadai dalam
kehidupan konstitusi kita, yaitu berhala elektabilitas dan popularitas yang
cenderung kontraproduktif terhadap filosofi bernegara, bahwa bernegara
mutlak mempunyai tujuan yang hendak dicapai, bukan panggung perebutan atau
peralihan kekuasaan bagi parpol atau politisi tanpa haluan negara yang
jelas.
Oleh karena itu, tampilnya Forum
Pemimpin Redaksi yang mengambil alih peran pranata-pranata formal itu untuk
mengajak kita semua berpikir fundamental akan negara menjadi warna
tersendiri dalam sejarah konstitusi kita. Hal itu semakin membuktikan bahwa
redaksi memang kekuatan yang signifikan dalam kehidupan konstitusi suatu
negara. Oleh karena itu, gagasan itu jangan berhenti untuk tidak dikawal
terus oleh forum tersebut.
Tanpa sadar, tongkat komando perubahan fundamental itu sedang beralih ke
kamar-kamar redaksi di seantero Republik ini.
Tinjau kembali
Perubahan konstitusi yang sudah
berjalan hampir 15 tahun, sehingga memang saatnya ditinjau kembali. Salah
satu hal pen ting bahwa perubahan konstitusi berikut undang-undang sesaat
pascareformasi bisa jadi penuh spirit amarah di dalamnya terhadap rezim
Orde Baru. Oleh karena itu, amarah itulah yang kemudian sangat mempengaruhi
desain struktur, substansi kehidupan bernegara kita. Tentunya spirit amarah
melakukan perubahan tidak serta-merta melahirkan sistem negatif, tapi
perlahan akan dirasakan keraguan akan hal itu.
Dahulu kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang ditempatkan sebagai pranata puncak kemuliaan akan
permusyawaratan perwakilan. Di sanalah, puncak curah rakyat akan perjalanan
akselerasi pencapaian tujuan negara. Setiap negara mutlak memiliki tujuan.
Guna mencapai tujuan itu, setiap negara harus punya grand design yang
memandu bangsanya melintasi sejarah peradabannya, bahwa pembangunan harus
berlangsung by design bukan by instinct alias suka-suka rezim
yang tengah berkuasa (Editorial Media Indo berkuasa (Editorial Media Indonesia, `Negara Tanpa Haluan', 11/12)
Melalui MPR itulah, para wakil
kita merancang sebuah haluan negara, yang sesung guhnya merupa kan
pernyataan kehendak rakyat. Haluan itu yang kemudian berisi pola umum
pembangunan nasional sebagai rangkaian pembangunan yang menyeluruh,
terarah, dan terpadu yang berlangsung terus-menerus yang harus dilaksanakan
siapa pun presidennya. Pola umum itulah yang menjadi jalur, target
pencapaian atau keadaan yang diinginkan rakyat akan kondisi negara dalam
kurun waktu lima tahun dan jangka panjang guna pencapaian tujuan negara,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Haluan negara itulah yang
kemudian menjadi `buku tagihan' rakyat kepada presiden yang menjadi
mandataris, untuk dan atas nama daulat rakyat yang bertindak sebagai
nakhoda pencapaian akan keadaaa yang diinginkan rakyat dalam setiap rute
perjalanan 5 tahunan hingga jangka panjang. Namun, apa daya, konsep haluan
itu nampaknya harus menjadi `korban', akibat MPR yang diharapkan setia
dengan daulat rakyat ketahuan `berselingkuh' dengan kekuasaan (presiden)
Orde Baru kala itu.
Puncak nya, reformasi membuat
kita marah, kedaulatan MPR yang kita mandatkan sepenuhnya untuk dilaksanakan
kita lucuti. Kedaulatan itu di antaranya dalam hal memilih dan mengangkat
presiden. Konsekuensi linearnya kita juga marah bahwa MPR tidak usah
menetapkan haluan negara, dengan logika karena yang memilihnya nanti ialah
rakyat langsung.
Biarkanlah calon presiden menyusun programnya sendiri guna membawa kita
mencapai tujuan negara, dan rakyat pasti akan membeli program atau janji
yang dinilainya bagus untuk kemudian menentukan sendiri presidennya.
Luapan penyesalan
Nampaknya, hal itu kemudian baru
disadari bahwa ternyata demokrasi pasti memiliki rasionalitas hingga
anomalinya sendiri, sesuai peradaban yang terbangun. Akhirnya, kita pun tak
kuasa menghapus total GBHN itu, untuk kemudian memberikan kertas kosong
kepada presiden untuk menulis semaunya saja. Akhirnya, kita sepakat memun
culkan pranata substitusinya, yaitu sistem pembangunan nasional yang tidak
ditetapkan oleh MPR, tapi ditetapkan bersama oleh presiden dan DPR dalam
bentuk UU.
UU No 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Pembangunan Nasional serta UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, sesungguhnya merupakan
produk luapan penyesalan ketika GBHN dihapus pada level konstitusi. Oleh
karena itu, UU ini dalam konsideransnya mengungkapkan penyesalan itu bahwa
akibat peng hapusan GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan
nasional, negara ini ternyata mut lak memerlukan rencana pemba ngunan
sebagai arah dan prioritas secara menyeluruh yang akan dilakukan secara
bertahap guna pencapaian tujuan negara.
Namun, ternyata kedua UU itu tak
memiliki aura wibawa seperti GBHN, yang bisa `mengartumerahkan' presiden.
Padahal, kedua UU itu memiliki implikasi yang sama dengan GBHN, bahwa kalau
dilanggar, presiden bisa `dikartumerahkan'. Objek pengawasan DPR dan DPD sesungguhnya
harus bersandar pada kedua UU itu. Parlemen harusnya bisa menagih presiden
akan pencapaian rencana pembangunan tersebut, jika kemudian ada temuan
target yang tak tercapai atau yang menyimpang, sesungguhnya DPD bisa
meminta DPR (termasuk inisiatif sendiri), bisa menggunakan hak angket atau
hak menyatakan pendapat guna minta pertanggungjawaban presiden hingga pada
titik pemakzulan.
Kenyataannya, parlemen kita
lebih tertarik mengontrol hal yang sensasional politik kepada pemerintah,
yang hanya menguras impresi, meski tak sepenuhnya minus substansi tujuan
negara. Negara saat ini dalam euforia terhadap konflik politik dengan hukum
se bagai mediumnya, yang bisa mengarah `tawuran', karena ternyata juga, bukan
hanya parpol yang sibuk mengejar elektabilitas, melainkan organ kekuasaan
juga berebut popularitas, berebut impresi pahlawan dengan bersenjatakan otoritas
yang terberi oleh sebuah amarah zaman.
Oleh karena itu, keadaan itulah
yang mungkin membuat kita semua menjadi rindu akan GBHN, kita rindu masa lalu,
kita rindu akan hikmat kebijaksanaan akan permusyawaratan perwakilan.
Republik ini tidak bisa bergerak simpang-siur tanpa arah, tidak boleh
simpang-siur tanpa haluan bahkan tidak boleh dinakhodai oleh seorang yang
hanya bermodalkan impresi, popularitas, dan elektabilitas. Hal itu akan
sangat berbahaya. Di sisi lain, tanpa sadar ada kekuatan di balik semua itu
yang berebut pengaruh yang tak ambil pusing dengan arah dan pencapaian
tujuan negara.
Harus punya haluan
Oleh karenanya, haluan negara
niscaya menjadi kebutuhan saat ini. Namun, kita tidak perlu terlalu manja
dan romantis untuk kemudian mengambil mentah-mentah konsep haluan negara
masa lalu. Ada puluhan bahkan ratusan varian yang kita bisa bangun akan
konsep haluan negara sebagai neo GBHN, yang bisa berisi pola dan target
riil pencapaian untuk jangka waktu pembangunan tertentu. Semua bisa kita
bangun konstruk sinya, asalkan wakil rakyat sejenak mau mengendurkan ikat
pinggang jelang pemilu untuk berkumpul di MPR mengambil keputusan bersama
akan rencana perubahan konstitusi sesaat terbentuknya kekuasaan
pasca-Pemilu 2014.
Yang pasti, meski Presiden
dipilih langsung oleh rakyat, negara harus punya haluan, negara harus punya
pola hingga strategi, dan target pencapaian tujuan negara. Calon presiden
menjual rancang tindak guna haluan negara itu, bukan menjual impresi yang
membuat kita kehilangan rasio dalam memilih nakhoda di negara kita. Sebagai
catatan kaki, haluan negara ini juga menjadi pegangan bagi semua lembaga
negara yang ada, dan tidak bergerak sesuai kehendak masing-masing atas nama
independensi. Dengan begitulah, rakyat tetap memiliki instrumen guna
`mengartumerahkan' seluruh lembaga di Republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar