Senin, 16 Desember 2013

Pendidikan Tanpa Kekerasan

Pendidikan Tanpa Kekerasan
Muhammad Takdir Ilahi  ;   Pegiat Peacebuilding dan Resolusi Konflik pada Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta
OKEZONENEWS,  16 Desember 2013

  

Berbagai peristiwa kekerasan yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan melalui TV maupun media cetak, menunjukan betapa generasi muda kita tengah mengalami degradasi jati diri dan terkikisnya nilai-nilai karakter bangsa (nation character values). Krisis karakter yang menimpa anak muda Indonesia secara tidak langsung mempengaruhi kepribadian dan perilaku mereka sehari-hari, termasuk melakukan kekerasan dalam dunia pendidikan.
 
Krisis karakter yang dialami generasi muda saat ini disebabkan kerusakan individu-individu yang terjadi secara kolektif sehingga terbentuk menjadi budaya. Karakter yang merupakan warisan penjajah dan dijadikan budaya bagi masyarakat Indonesia sebagaimana Mochtar Lubis (1997) mengemukakan ciri manusia Indonesia yang antara lain munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya tahayul, artistik, berwatak lemah (cengeng), tidak hemat, kurang gigih, serta tidak terbiasa bekerja keras. 

Tidak heran bila ada gejala yang tidak beres dalam dunia pendidikan, seperti kekerasan ketika masa orientasi mahasiswa yang dilakukan senior kepada junior mereka. Meninggalnya Fikri ketika mengikuti Ospek di ITN Malang, menunjukkan bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan semakin merajelela dan tidak terbendung. Padahal, dunia pendidikan adalah tempat di mana mahasiswa belajar menjadi generasi yang cerdas dan bermoral, bukan menjadikan kekerasan sebagai instrumen untuk menghalalkan segala cara. Pendidikan juga seharusnya menjadi media ”perbaikan” sekaligus ”pembentukan” karakter generasi muda Indonesia sesungguhnya.

Saya memahami bahwa fenomena kekerasan yang menimpa kalangan terdidik bisa dimaknai sebagai kegagalan pendidikan dalam membentuk keperibadian yang luhur dan berbudi pekerti bagi generasi muda. Lembaga pendidikan yang merupakan wahana strategis untuk mencetak generasi emas, malah terjebak pada kubangan persoalan yang bersifat ekstrimis dan anarkis. Sungguh sangat disayangkan bila perilaku agresif dan anarkis menimpa kalangan mahasiswa, karena mereka adalah generasi penerus yang diharapkan menjadi mercusuar peradaban dan obor pencerahan bagi kemajuan bangsa ke depan.
 
Dalam psikologi sosial, perilaku agresivitas merupakan salah satu wujud yang bersumber dari thanatos (naluri kematian), yang mengarah pada kemarahan, benci, dan perusakan diri. Kemarahan berbeda dengan agresi. Agresi mempunyai tujuan untuk melukai orang lain secara sengaja, sedangkan kemarahan hanya berupa perasaan dan tidak mempunyai tujuan apapun. Sebagai contoh, seseorang dapat dikatakan marah apabila dia sedang merasa frustasi atau tersinggung. Kemarahan merupakan perasaan tidak senang sebagai reaksi atas cedera fisik maupun psikis yang diderita oleh individu (Reza I. Amriel, 2007).
 
Pendidikan Cinta Damai

Maka, mengantisipasi berulangnya kasus kekerasan dalam skala yang lebih besar bahkan bisa terjadi berlarut-larut, diperlukan upaya pencegahan melalui studi peace education building. Johan Galtung (2003), memahami bahwa pendidikan perdamaian adalah kerja untuk mengurangi kekerasan dengan cara-cara damai. Salah satu jalan untuk transformasi studi perdamaian adalah lewat pendidikan. Proses pendidikan menjadi sebuah upaya pembentukan peserta didik yang dapat mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka.

Kesadaran inilah perlu ditanamkan lewat pendidikan perdamaian (peace education) sebagai bagian dari tawaran untuk mencegah semakin maraknya aksi kekerasan secara komunal di kalangan generasi muda yang menjadi harapan bangsa ke depan. Melalui penerapan peace education dalam kurikulum kampus, kita bisa menekan tindakan kekerasan atau sikap intoleransi yang dapat merugikan orang lain karena anak didik diajarkan sejak dini bagaimana membangun bina damai tanpa mengedepankan egosentrisme yang menyulut api permusuhan. 

Penerapan konsep peace education dalam kurikulum kampus merupakan salah satu strategi yang dinilai efektif untuk mengoptimalkan peran pendidikan agama yang menjadi sumber pembentukan utama untuk membina karakter dan watak anak didik agar menjadi generasi yang mencintai semangat perdamaian dalam skala global. Generasi yang dibalut dengan karakter cinta damai diharapkan mampu menjadi teladan generasi masa kini untuk berbuat lebih baik bagi perbaikan bangsa yang sedang menghadapi ancaman kekerasan yang bertubi-tubi.

Pendidikan hendaknya mendorong sikap saling pengertian, toleransi, persahabatan antar sesama tanpa memandang perbedaan ras dan agama, dan meningkatan kegiatan untuk memelihara perdamaian. Sementara orangtua juga mempunyai hak utama untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak mereka. Dalam urusan kampus dan kelembagaan pendidikan, penanaman konsep pendidikan damai dimaksudkan sebagai “zona damai” di mana anak-anak merasa aman dari konflik kekerasan, melaksanakan hak dasar anak, mengembangkan iklim belajar yang damai dan perilaku saling menghargai, dan menyediakan forum diskusi dan sosialisasi tentang nilai damai serta keadilan sosial.

Untuk mencapai hasil yang optimal, sebisa mungkin anak didik mendapatkan sosialisasi pendidikan cinta damai untuk meredam gejolak dalam pikiran dan tindakan dengan penyelesaian yang kreatif. Keberhasilan pendidikan damai tidak ditunjukkan dengan angka-angka, melainkan mengacu pada kualitas kompetensi untuk merespon kesulitan hidup yang dihadapi bersama. Pendidikan damai memadu beragam tradisi pedagogi, dilakukan secara dinamis, interdisipliner, dan multikultural. 

Pada akhirnya, kampus sebagai lembaga pendidikan memberi arti bagi generasi muda karena merupakan internalisasi dalam melakukan hubungan dengan sesama, sekaligus tempat untuk belajar, berinteraksi, bekerjasama, hidup berdampingan secara damai, saling memahami, menambah pengalaman hidup (learning live together) dalam situasi kemajemukan atau keanekaragaman (unity in diversity).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar