Berbagai
peristiwa kekerasan yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari
yang kita saksikan melalui TV maupun media cetak, menunjukan betapa
generasi muda kita tengah mengalami degradasi jati diri dan terkikisnya
nilai-nilai karakter bangsa (nation
character values). Krisis karakter
yang menimpa anak muda Indonesia secara tidak langsung mempengaruhi
kepribadian dan perilaku mereka sehari-hari, termasuk melakukan kekerasan
dalam dunia pendidikan.
Krisis karakter
yang dialami generasi muda saat ini disebabkan kerusakan individu-individu
yang terjadi secara kolektif sehingga terbentuk menjadi budaya. Karakter
yang merupakan warisan penjajah dan dijadikan budaya bagi masyarakat
Indonesia sebagaimana Mochtar Lubis (1997) mengemukakan ciri manusia
Indonesia yang antara lain munafik, segan dan enggan bertanggung jawab,
berjiwa feodal, percaya tahayul, artistik, berwatak lemah (cengeng), tidak
hemat, kurang gigih, serta tidak terbiasa bekerja keras.
Tidak heran
bila ada gejala yang tidak beres dalam dunia pendidikan, seperti kekerasan
ketika masa orientasi mahasiswa yang dilakukan senior kepada junior mereka.
Meninggalnya Fikri ketika mengikuti Ospek di ITN Malang, menunjukkan bahwa
kekerasan dalam dunia pendidikan semakin merajelela dan tidak terbendung.
Padahal, dunia pendidikan adalah tempat di mana mahasiswa belajar menjadi
generasi yang cerdas dan bermoral, bukan menjadikan kekerasan sebagai
instrumen untuk menghalalkan segala cara. Pendidikan juga seharusnya
menjadi media ”perbaikan” sekaligus ”pembentukan” karakter generasi muda
Indonesia sesungguhnya.
Saya memahami
bahwa fenomena kekerasan yang menimpa kalangan terdidik bisa dimaknai
sebagai kegagalan pendidikan dalam membentuk keperibadian yang luhur dan
berbudi pekerti bagi generasi muda. Lembaga pendidikan yang merupakan
wahana strategis untuk mencetak generasi emas, malah terjebak pada kubangan
persoalan yang bersifat ekstrimis dan anarkis. Sungguh sangat disayangkan
bila perilaku agresif dan anarkis menimpa kalangan mahasiswa, karena mereka
adalah generasi penerus yang diharapkan menjadi mercusuar peradaban dan
obor pencerahan bagi kemajuan bangsa ke depan.
Dalam psikologi
sosial, perilaku agresivitas merupakan salah satu wujud yang bersumber dari
thanatos (naluri kematian), yang mengarah pada kemarahan, benci, dan
perusakan diri. Kemarahan berbeda dengan agresi. Agresi mempunyai tujuan
untuk melukai orang lain secara sengaja, sedangkan kemarahan hanya berupa
perasaan dan tidak mempunyai tujuan apapun. Sebagai contoh, seseorang dapat
dikatakan marah apabila dia sedang merasa frustasi atau tersinggung.
Kemarahan merupakan perasaan tidak senang sebagai reaksi atas cedera fisik
maupun psikis yang diderita oleh individu (Reza I. Amriel, 2007).
Pendidikan Cinta Damai
Maka,
mengantisipasi berulangnya kasus kekerasan dalam skala yang lebih besar
bahkan bisa terjadi berlarut-larut, diperlukan upaya pencegahan melalui
studi peace education building. Johan Galtung (2003), memahami bahwa
pendidikan perdamaian adalah kerja untuk mengurangi kekerasan dengan
cara-cara damai. Salah satu jalan untuk transformasi studi perdamaian
adalah lewat pendidikan. Proses pendidikan menjadi sebuah upaya pembentukan
peserta didik yang dapat mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral
dan psikologis mereka.
Kesadaran
inilah perlu ditanamkan lewat pendidikan perdamaian (peace education)
sebagai bagian dari tawaran untuk mencegah semakin maraknya aksi kekerasan
secara komunal di kalangan generasi muda yang menjadi harapan bangsa ke
depan. Melalui penerapan peace education dalam kurikulum kampus, kita bisa
menekan tindakan kekerasan atau sikap intoleransi yang dapat merugikan
orang lain karena anak didik diajarkan sejak dini bagaimana membangun bina
damai tanpa mengedepankan egosentrisme yang menyulut api permusuhan.
Penerapan
konsep peace education dalam kurikulum kampus merupakan salah satu strategi
yang dinilai efektif untuk mengoptimalkan peran pendidikan agama yang
menjadi sumber pembentukan utama untuk membina karakter dan watak anak
didik agar menjadi generasi yang mencintai semangat perdamaian dalam skala
global. Generasi yang dibalut dengan karakter cinta damai diharapkan mampu
menjadi teladan generasi masa kini untuk berbuat lebih baik bagi perbaikan
bangsa yang sedang menghadapi ancaman kekerasan yang bertubi-tubi.
Pendidikan
hendaknya mendorong sikap saling pengertian, toleransi, persahabatan antar
sesama tanpa memandang perbedaan ras dan agama, dan meningkatan kegiatan
untuk memelihara perdamaian. Sementara orangtua juga mempunyai hak utama
untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada
anak-anak mereka. Dalam urusan kampus dan kelembagaan pendidikan, penanaman
konsep pendidikan damai dimaksudkan sebagai “zona damai” di mana anak-anak
merasa aman dari konflik kekerasan, melaksanakan hak dasar anak,
mengembangkan iklim belajar yang damai dan perilaku saling menghargai, dan
menyediakan forum diskusi dan sosialisasi tentang nilai damai serta
keadilan sosial.
Untuk mencapai
hasil yang optimal, sebisa mungkin anak didik mendapatkan sosialisasi
pendidikan cinta damai untuk meredam gejolak dalam pikiran dan tindakan
dengan penyelesaian yang kreatif. Keberhasilan pendidikan damai tidak
ditunjukkan dengan angka-angka, melainkan mengacu pada kualitas kompetensi
untuk merespon kesulitan hidup yang dihadapi bersama. Pendidikan damai
memadu beragam tradisi pedagogi, dilakukan secara dinamis, interdisipliner,
dan multikultural.
Pada akhirnya,
kampus sebagai lembaga pendidikan memberi arti bagi generasi muda karena
merupakan internalisasi dalam melakukan hubungan dengan sesama, sekaligus
tempat untuk belajar, berinteraksi, bekerjasama, hidup berdampingan secara
damai, saling memahami, menambah pengalaman hidup (learning live together) dalam situasi kemajemukan atau
keanekaragaman (unity in diversity).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar