Senin, 02 Desember 2013

Pesan Pelemahan Rupiah

Pesan Pelemahan Rupiah
Junanto Herdiawan  ;   Kepala Divisi Ekonomi Moneter Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV Jatim
JAWA POS,  02 Desember 2013



NILAI tukar rupiah kembali tertekan pada pekan akhir November 2013. Di pasar spot, nilainya menembus angka Rp 12.000 per USD. Sampai kapan level pelemahan ini terjadi, sulit menjawabnya dengan kepastian. 

Memang sejak kita menganut rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate), nilai tukar rupiah tidak lagi dipatok pada angka tertentu. Nilai tukar saat ini mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran di pasar valuta asing dan juga kondisi fundamental ekonomi. Bank Indonesia (BI) tidak lagi menargetkan nilai tukar pada titik tertentu, tapi menjaga agar tidak terjadi gejolak (fluktuasi) berlebihan di pasar valas.

Mengapa rupiah melemah? Dari sisi eksternal, saat ini perekonomian dunia belum optimistis. Perekonomian negara maju masih lemah yang mengakibatkan harga barang komoditas, yang merupakan kekuatan ekspor kita, masih rendah. Di sisi lain, mengeliatnya ekonomi AS menjadikan bank sentral AS, The Federal Reserves, akan mengimplementasikan kebijakan pengurangan stimulus moneter (tapering off). Hal itu menyedot USD dari negara-negara di Asia ke negara AS.

Di sisi internal, kita menghadapi masalah defisit transaksi berjalan. Pada triwulan II 2013, defisit transaksi berjalan mencapai USD 9,8 miliar atau sekitar 4,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski kondisi ini membaik pada triwulan III 2013, mencapai USD 8,4 miliar atau sekitar 3,8 persen terhadap PDB, defisit tersebut berkomplikasi, antara lain, menekan nilai tukar rupiah. 

Di sisi lain, aliran investasi portofolio asing bergejolak mengikuti perubahan sentimen (perilaku risk-on risk-off) di pasar keuangan global. Gejolak di pasar keuangan domestik turut menyumbang pemburukan postur neraca pembayaran Indonesia. Pada akhirnya, koreksi pada perekonomian nasional menjadi tidak terhindarkan. Tapi, harus disadari bahwa ini bagian dari proses penyeimbangan kembali (rebalancing) perekonomian Indonesia yang lebih selaras dengan kondisi fundamentalnya.

Pelemahan nilai tukar rupiah sebenarnya dapat menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa sudah saatnya kita mereformasi struktur perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi harus didukung oleh industri yang lebih berkelanjutan, berbasis pada inovasi dan penguasaan teknologi. Bukan lagi berharap pada meningkatnya harga komoditas alam di pasar global. Kita harus bisa lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sendiri. 

Bagaimana Bersikap 

Menyikapi pelemahan rupiah, mestinya masyarakat tidak ikut panik dan tak perlu berspekulasi valas. Pelemahan nilai rupiah saat ini dapat dijelaskan secara fundamental. Menjelang akhir tahun, permintaan akan dolar AS biasanya meningkat seiring dengan pembayaran utang luar negeri ataupun kewajiban lain perusahaan-perusahaan di Indonesia. 

Hal terpenting adalah melihat likuiditas di pasar valas. Menurut pemantauan BI, kondisi pasar valas masih likuid, bahkan lebih likuid daripada semester I 2013. Dengan demikian, pihak yang memerlukan valas untuk keperluan dan kebutuhan usaha masih bisa mendapatkannya di pasar.

Untuk mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek, BI senantiasa berada di pasar valas untuk memonitornya. Bila diperlukan, BI juga melakukan intervensi guna menjaga stabilitas. Selain itu, perlu ditempuh penguatan bauran kebijakan, antara lain menaikkan suku bunga BI rate sebesar 175 bps menjadi 7,50 persen selama Juni-November 2013, memperkuat operasi moneter, memperkuat kebijakan makroprudensial, memperkuat kerja sama antarbank sentral dalam kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan, serta berkoordinasi dengan pemerintah.

Kenaikan BI rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut kita berharap investor asing menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia. 

Namun, kebijakan jangka pendek perlu diikuti oleh kebijakan menengah dan panjang untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Caranya, melakukan reformasi struktural, meningkatkan inovasi dan kreativitas teknologi untuk mendorong ekspor serta mengurangi nilai impor. Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan Agustus dan Oktober sebagai langkah awal untuk mengatasi tekanan neraca transaksi berjalan tersebut. Ini perlu diimplementasikan secara efektif.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar