Jumat, 13 Desember 2013

Parpol Biang Korupsi Sistemik

Parpol Biang Korupsi Sistemik
Agus Riewanto  ;   Pengajar Pascasarjana Ilmu Hukum,
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
HALUAN,  10 Desember 2013
Artikel dari Penulis yang sama dimuat di KORAN JAKARTA 09 Desember 2013
  


Kemarin masya­rakat dunia mem­peringati Hari Antikorupsi. Ham­pir tiap negara memiliki problem korupsi. Perlu kepemimpinan yang kuat dalam memberantas korupsi. Di Indonesia praktik korupsi semakin merajalela dan masif. Korupsi telah mera­suki nyaris di seluruh kehidupan.

Penangkapan dan pe­ngung­kapan mafia korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah elite politik seperti M Nazaruddin, Angelina Sondah, Andi Malarangeng, dan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq, makin memperlihatkan bahwa partai politik (parpol) men­jadi agen korupsi sistemik. Mereka biang biangnya korupsi.

Dalam sidang-sidang pengadilan terungkap sejum­lah fakta mereka korupsi berkelompok dan melibatkan struktur partai, anggota DPR, pengusaha, serta birokrasi. Mereka mem­bentuk sistem sehingga korupsi terlembagakan.
Banyak celah korupsi elite parpol terutama DPR, di antaranya berkaitan dengan kewenangan DPR dalam menyusun dan mene­tapkan APBN. Badan Ang­garan DPR sebagai alat kelengkapan DPR berwe­nang luar biasa menentukan jatah kue APBN untuk kementerian dan lembaga negara, termasuk hibah atau pajak negara.

Bahkan, Banggar dapat menentukan perusahaan-perusahaan yang melak­sanakan sejumlah proyek kementerian. Kondisi terse­but rentan akan praktik penyimpangan. Banggar terlalu powerfull dalam menentukan besaran ang­garan, program-program baru. Kemudian penyusunan anggaran cenderung tertu­tup mulai dari peren­canaan hingga tahap penetapan.

Celah lain, banyak pos alokasi dana di luar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam undang-undang itu sebenarnya hanya dikenal dana perim­bangan. Namun, beberapa waktu lalu, Banggar me­munculkan alokasi dana di luar ketentuan resmi, dana penyesuaian dan percepatan pembangunan. Ini berawal dari celah antara pendapatan dan belanja negara sehingga selisihnya sering diman

f­aatkan mafia anggaran untuk dialokasikan dengan alasan untuk daerah, pad­ahal tidak ada di undang-undang.

Parpol sering menjadi sumber korupsi sistemik karena mau mengembalikan modal saat kampanye menje­lang pemilu dan persiapan menuju pemilu berikutnya. Sistem pemilu 2014 meng­gunakan mekanisme penen­tuan calon terpilih ber­dasarkan suara terbanyak. Kampanye dalam sistem pemilu ini tidak pernah melibatkan parpol maka berbiaya mahal dan boros. Para caleg lebih mengu­tamakan pencitraan lewat iklan di media massa, spanduk, poster, dan sete­rusnya.

Berdasarkan pengalaman Pemilu 2009, seorang calon legislatif (caleg) DPR dan DPRD dalam kampanye mengeluarkan biaya mini­mal 500 juta rupiah. Bahkan, beberapa caleg perlu menge­luarkan biaya hingga 2 miliar. Caleg DPRD provinsi diperkirakan mengeluarkan biaya kampanye 300 juta rupiah, sedang caleg DPRD kabupaten/kota sebesar 100 juta rupiah.

Maka total biaya pemilu tahun 2008 dapat mencapai 100 miliar rupiah. Feno­mena ini dipastikan akan terjadi pula pada pemilu 2014 mendatang. Karena setiap individu politisi berlomba membuat target untuk mengumpulkan uang dengan cara apa pun demi persiapan pemilu 2014.

Selain itu, tak jelasnya model pembiayaan organisasi parpol agar tetap hidup. Sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai tak terbatas. Pada saat bersamaan, partai menjadi institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba (nirlaba), tetapi melibatkan investasi tak terhingga.

Sementara itu, subsidi negara melalui bantuan APBN tak mencukupi dan iuran anggota partai tak memadai. Maka tak ada cara lain kecuali harus memanfaatkan kader-kader di DPR menjadi agen untuk mengisi kekosongan kas keuangan partai. Begitu pula kader-kader yang menjadi menteri, staf ahli menteri, dan utusan khusus menteri. Mereka juga sebisa mungkin menggelontorkan uang ke kas partai dengan memanfaatkan jabatan.

Modus dan cara itulah yang dilakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, dan Angelina Sondakh dalam kasus Ham­balang. Modus ini kemudian juga dilakukan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq.

Pelanggaran HAM

Simulasi yang dilakukan Veri Junaidi (2011), per­kiraan besar belanja satu partai per tahun sekitar 51,2 miliar rupiah, sedangkan pendapatan parpol hanya berkisar 1,2 miliar. Pema­sukan parpol itu dari subsidi negara 600 juta rupiah. Sisanya didapat dari iuran perseorangan anggota dan non-anggota partai.

Kalau hanya mengan­dalkan iuran anggota partai sulit memenuhi target kebutuhan partai. Apalagi tak ada mekanisme dan jumlah yang jelas. Itulah sebabnya sumber dana partai yang paling favorit adalah memanfaatkan dana-dan­a nonformal yang cen­derung gelap dan haram.

Fenomena maraknya korupsi yang dilakukan politisi ini jauh lebih berba­haya dari awam karena memanfaatkan kekuasaan atau jabatan untuk mem­perkaya diri dan tentu saja dilakukan dengan jejaring yang sempurna dan penuh intrik. 

Maka, korupsi para politikus merupakan keja­hatan yang dapat dika­tegorikan sebagai pelang­garan hak asasi manusia (HAM) karena dapat mela­hirkan ketidakadilan politik dan hilangnya pendidikan politik. Dampak lain, tak ada kedaulatan dan rakyat kehilangan tempat mengadu.

Korupsi politisi mem­perjelas anggapan bahwa demokrasi yang dirintis selama ini telah gagal. Demokrasi disandera para koruptor dari parpol. Sebab demokrasi terwujud dalam bentuk pemilu dan aktor utama pemilu adalah parpol.

Jika aktor utamanya saja korup, dipastikan pemilu dan demokrasinya juga terkontaminasi. Bila negeri ini ingin segera keluar dari kubangan penyakit korupsi sistemik, pertama-tama harus mem­bebaskan dan menye­lamat­kan parpol dari perilaku korupsi.

Ini menjadi tanggung jawab para petinggi parpol agar mengendalikan kader-kadernya. Pemimpin parpol juga bertanggung jawab bila ada anggota partai menjadi koruptor. Para petinggi partai harus mampu men­didik lingkungannya alias anggotanya menjauhi korup­si sebelum mendidik masya­rakat luas. Sayang, banyak partai terlibat korupsi. Semoga pada Hari Anti­korupsi ini semua pihak disadarkan untuk menjauhi praktik seperti itu dan bersama-sama mem­beran­tasnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar