Sadarkah anak bangsa ini faktor apa penyebab Indonesia merdeka?
Sebagai umat beragama jawaban pertama adalah kehendak Allah!. Pertanyaan
lanjut adalah kenapa? jawabannya karena bangsa ini mau mematuhi kehendakNya
dengan ilmu dalam upaya (amal) mengubah diri, konfirmasinya adalah: Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri. (QS
Ar-Ra’d 11).
Kekuasaan
penjajahan terhadap bangsa ini pada kenyataan tidak total menyeluruh dalam
arti penjajah hanya mendominasi kekuasan atas batasan-batasan teritori
dan ruang gerak secara fisik saja. Indonesia merdeka dan mengusir
penjajahan ketika penjajah belum mencapai kekuasaan penuh, yaitu penguasaan
total mengubah keseluruhan sendi kehidupan bangsa yang mengusai
kemerdekaan jiwa, budaya, tatanan pola fikir serta keyakinan. Oleh karena
itu kemerdekaan jiwa inilah yang mejadi kekuatan penggerak luar biasa dalam
wujud semangat perjuangan dan kemudian meraih kemerdekaan.
Lebih
lanjut kemerdekaan jiwa dalam arti kekayaan budaya, tatanan pola fikir
serta keyakinan yang dimiliki kemajemukan anak bangsa belum digenggam
penjajah, diubah dan dikuasai. Nilai-nilai khas ini yang mewakili keunggulan
Indonesia menjadi pembeda dalam melahirkan kecerdasan untuk bersatu dalam
keragaman etnis, budaya dan kemasyarakatan sehingga bersepakat melahirkan
slogan Bhineka Tunggal Ika. Inilah nilai unik demokrasi khas Indonesia
sebagai modal utama yang sangat pantas untuk dipertahankan, nilai-nilai
kesatuan kesepakatan. Musyawarah dari jiwa merdekalah yang melahirkan
Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai contoh pasti sebuah kemampuan semangat
kesatuan dalam kesepakatan. “Demokrasi” musyawarah akhirnya melahirkan
kesepakatan nilai-nilai nasionalisme.
Kemajuan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pasca kemerdekaan telah mempercepat proses
transformasi berbagai aspek yang berdampak langsung kepada kehidupan
manusia. Pengaruh globalisasi, merupakan keniscayaan yang harus disikapi
positif, kemudahan manfaat iptek telah mendunia antar manusia. Ketidaktuntasan
penjajahan merubah total kuasanya atas bangsa, menjadikan para penjajah
melakukan berbagai upaya penguasaan kembali baik penjajahan secara fisik
maupun penjajahan secara jiwa dalam rentang waktu yang panjang.
Globasi
perlu disadari telah menjadi pintu gerbang penyusupannya, budaya, pola
fikir dan tatanan kehidupan perlahan dan pasti diupayakan menjadi pencapaian
sasaran penjajahan total terhadap bangsa ini.
Kemerdekaan
Indonesia, membuka jalan bangsa ini melakukan perubahan mengatur diri
sendiri tanpa campur tangan penjajah. Faktanya memang Indonesia !!!,
pemerintahannya mulai dari eksekutif, legislatif dan badan hukumnya orang
Indonesia merdeka, bangsa merdeka inilah yang membuat undang-undang,
membangun peraturan, memilih sistem demokrasi. Tetapi cita rasa dan ruhnya
sekarang terasa bukan khas Indonesia. Demokrasi khas Indonesia dengan cita
rasa musyawarah mewakili nilai-nilai luhur kepentingan anak bangsa mulai
tidak dibiasakan. Upaya penjajahan kembali terasa merasuk, ironisnya dirasakan
ketika bangsa ini telah menggenggam kemerdekaan. Apungan azas kesamaan
yang berkeadilan telah menampilkan kelompok-kelompok baru kebebasan,
bersama apungan voting sebagai unsur sistemnya dengan mulus membiasa.
Aroma divide et impera menyusup
dengan halus menyatu kehidupan demokrasi. Kultur budaya voting seolah-olah
adalah satu-satunya cara demokratis dijadikan kebiasaan dalam melahirkan
keputusan-keputusan penting maupun dalam memilih pemimpin/perwakilan
melalui Pemilu maupun Pilkada, Meskipun banyak bukti kerancuan di lapangan,
turunnya nilai kesatuan, perpecahan, kepentingan kelompok dan biaya tinggi
serta issu suap dan beragam persoalan yang muncul serta seringnya tidak
menyuguhkan peluang keputusan berkualitas, tidak menampilkan pemimpin yang
tepat dan “qualified”, dll, belum
sempat dikaji (ilmu). Di dalamnya terasa aroma baru, ibarat ikan air tawar
dikondisikan untuk hidup di dalam air asin. Sakit-sakitan, megap-megap,
menggelepar untuk dengan mudah dapat dijaring pada gilirannya jadi
santapan.
Fakta
terkini, ada baiknya diamati voting Pilkada Padang 30 Oktober 2013 atas
ketentuan demokrasi yang legal dilandasi undang-undang yang sah. Tidak
tanggung-tanggung paling tidak 10 kandidat menggunakan peluangnya. Hasilnya
harus dilakukan dua kali putaran karena para kandidat tidak mampu mencapai
pengumpulan jumlah suara melebihi 30%+satu. Fakta menyajikan bahwa hanya 1
kandidat meraih 29,55%, dibawah 20%, 1 kandidat 8.17%, 5 lainnya
dibawah 5% dengan suara sah masuk adalah 313.146 dan 10.448 suara tidak sah
dengan 57% partisipasi dari total 560.723 pemilih (sumber KPU). Data ini
mengindikasikan berbagai hal terkait “kebebasan hak” dan kualitas. Demokrasi
telah memberikan jalannya. Atas nama demokrasi terbukti setiap warga
negara bebas merdeka menggunakan haknya untuk dipilih dan hak untuk
memilih.
Setiap diri berpeluang sebagai pemimpin dan pemilih bebas menentukan
pemimpinnya secara legal. Hukum Perundang undangan terpenuhi?, Kualitasnya?
masih tanda tanya!
DPRD
di Sumatra Barat, mereka adalah warga yang dipilih secara langsung
menyandang amanah untuk mewakili ruh Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi
Kitabullah sebagai azas warga. DPRD adalah hasil proses demokrasi menjadi
warga kehormatan, berilmu dan bermartabat sebagai manusia pilihan
terpercaya oleh pemuka masyarakat, anak kemenakan termasuk oleh niniak
mamak, cadiak pandai, dibiayai dari pajak warga. Konsekwensinya mereka
semestinya diyakini sebagai manusia amanah, berkemampuan, peduli dan
dipercaya memiliki pemahaman azas ABS-SBK apalagi dalam kaitan erat
Kitabullah. Harusnya “qualified”. Warga pemilih tentu harus “berbaik
sangka”.
Fakta
terkini lainnya berkaitan dengan DPRD, predikat dengan kepercayaan yang
super di atas untuk DPRD Kota Padang menyebabkan sulit bagi warga kota
untuk membenarkan isu suap yang diarahkan kepada legislator terhormat
pilihan warga walaupun hasil voting sidang 12 November 2013 dilakukan oleh
legislator ini berseberangan dengan sebagian besar aspirasi warga.
Ironis!.
Demikian pula halnya dengan pembahasan RAPBD Sumatera Barat 2014
kemauan untuk bermusyawarah antara DPRD dengan Pemerintahan Provinsi
meredup. Manusia terhormat pilihan rakyat baik dalam jajaran eksekutif
maupun legislatif tidak menganggap prioritas, terlambat memutuskan rencana
anggaran untuk kemajuan rakyat yang memilihnya, ironisnya terurai jelas dan
lengkap dalam Tajuk Rencana Haluan 11 November 2013, disebabkan oleh kepentingan
politik keduabelah pihak, dalam arti kelompok lebih didahulukan dari pada
rakyat pemilih. Sekali lagi.
Pelaksanaan Hukum Perundang undangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar