Jumat, 13 Desember 2013

Kembalilah Menjadi Indonesia

Kembalilah Menjadi Indonesia
Syamsu Hidayat Utama Datuk Kayo  ;   ???
HALUAN,  07 Desember 2013

  

Sadarkah anak bangsa ini faktor apa penyebab In­donesia merdeka? Sebagai umat beragama jawaban pertama adalah kehendak Allah!. Pertanyaan lanjut adalah kenapa? jawabannya karena bangsa ini mau mematuhi kehen­dakNya dengan ilmu dalam upaya (amal) me­ngubah diri, konfirmasinya adalah: Se­sungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sen­diri. (QS  Ar-Ra’d 11).

Kekuasaan penjajahan terhadap bangsa ini pada kenyataan tidak total menye­luruh dalam arti penjajah hanya mendo­minasi ke­kuasan atas batasan-batasan teritori dan ruang gerak secara fisik saja. Indonesia merdeka dan mengusir penjajahan ketika penjajah belum mencapai kekuasaan penuh, yaitu penguasaan total mengubah kese­lu­ruhan sendi kehi­dupan bangsa yang me­ngusai kemerdekaan jiwa, budaya, tatanan pola fikir serta keyakinan. Oleh karena itu kemerdekaan jiwa inilah yang mejadi kekuatan penggerak luar biasa dalam wujud sema­ngat per­jua­ngan dan kemu­dian meraih ke­merde­kaan.

Lebih lanjut kemerd­ekaan jiwa dalam arti kekayaan budaya, tatanan pola fikir serta keyakinan yang dimiliki kemajemukan anak bangsa belum digenggam penjajah, diubah dan dikuasai. Nilai-nilai khas ini yang mewakili ke­unggulan Indonesia menjadi pembeda dalam melahirkan kecerdasan untuk bersatu dalam keragaman etnis, budaya dan kema­syarakatan sehingga ber­sepakat mela­hirkan slogan Bhineka Tunggal Ika. Inilah nilai unik demokrasi khas In­donesia sebagai modal utama yang sangat pantas untuk diper­tahankan, nilai-nilai kesatuan kesepakatan. Musyawarah dari jiwa merdekalah yang mela­hirkan Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai contoh pasti sebuah kemampuan semangat kesatuan dalam  kesepakatan. “Demokrasi” musyawarah akhirnya me­lahirkan kesepakatan nilai-nilai nasionalisme.

Kemajuan Ilmu Penge­tahuan dan Teknologi pasca kemerdekaan telah mem­percepat proses transformasi berbagai aspek yang berdam­pak langsung kepada kehi­dupan manusia. Pengaruh globalisasi, merupakan keniscayaan yang harus disikapi positif, kemudahan manfaat iptek telah men­dunia antar manusia. Keti­daktuntasan penjajahan merubah total kuasanya atas bangsa, menjadikan para penjajah melakukan ber­bagai upaya penguasaan kembali baik penjajahan secara fisik maupun penjajahan secara jiwa dalam rentang waktu yang pan­jang. 

Globasi perlu disadari telah menjadi pintu gerbang penyusupannya, budaya, pola fikir dan tatanan kehidupan perlahan dan pasti diupayakan menjadi penca­paian sasaran penjajahan total terhadap bangsa ini.

Kemerdekaan Indonesia, membuka jalan bangsa ini melakukan perubahan me­ngatur diri sendiri tanpa campur tangan penjajah. Faktanya memang Indonesia !!!, pemerintahannya mulai dari eksekutif, legislatif dan badan hukumnya orang Indonesia merdeka, bangsa merdeka inilah yang mem­buat undang-undang, membangun peraturan, memilih sistem demokrasi. Tetapi cita rasa dan ruhnya sekarang terasa bukan khas Indonesia. Demokrasi khas Indonesia dengan cita rasa musyawarah mewakili nilai-nilai luhur kepentingan anak bangsa mulai tidak dibiasakan. Upaya pen­jajahan kembali terasa merasuk, ironisnya dira­sakan ketika bangsa ini telah menggenggam kemer­dekaan. Apungan azas kesamaan yang berkeadilan telah menampilkan ke­lompok-kelompok baru ke­bebasan, bersama apu­ngan voting sebagai unsur sis­temnya dengan mulus mem­­­­­biasa. 

Aroma divide et impera menyusup dengan halus menyatu kehidupan demokrasi. Kultur budaya voting seolah-olah adalah satu-satunya cara demokratis dijadikan kebiasaan dalam melahirkan keputusan-keputusan penting maupun dalam memilih pemimpin/perwakilan melalui Pemilu maupun Pilkada, Meskipun banyak bukti kerancuan di lapangan, turunnya nilai kesatuan, perpecahan, kepen­tingan kelompok dan biaya tinggi serta issu suap dan beragam persoalan yang muncul serta seringnya tidak menyuguhkan peluang keputusan berkualitas, tidak menampilkan pemimpin yang tepat dan “qualified”, dll, belum sempat dikaji (ilmu). Di dalamnya terasa aroma baru, ibarat ikan air tawar dikondisikan untuk hidup di dalam air asin. Sakit-sakitan, megap-megap, menggelepar untuk dengan mudah dapat dijaring pada gilirannya jadi santapan.

Fakta terkini, ada baik­nya diamati voting Pilkada Padang 30 Oktober 2013 atas ketentuan demokrasi yang legal dilandasi undang-undang yang sah. Tidak tanggung-tanggung paling tidak 10 kandidat meng­gunakan peluangnya. Ha­silnya harus dilakukan dua kali putaran karena para kandidat tidak mampu mencapai pengumpulan jumlah suara melebihi 30%+satu. Fakta menya­jikan bahwa hanya 1 kan­didat meraih 29,55%,  diba­wah 20%, 1 kandidat 8.17%, 5 lainnya dibawah 5% dengan suara sah masuk adalah 313.146 dan 10.448 suara tidak sah dengan 57% partisipasi dari total 560.723 pemilih (sumber KPU). Data ini mengindikasikan ber­bagai hal terkait “ke­bebasan hak” dan kualitas. De­mokrasi telah mem­berikan jalannya. Atas nama demo­krasi terbukti setiap warga negara bebas merdeka menggunakan haknya un­tuk dipilih dan hak untuk memilih. 

Setiap diri ber­peluang sebagai pemimpin dan pemilih bebas menen­tukan pemimpinnya secara legal. Hukum Perundang undangan terpenuhi?, Kualitasnya? masih tanda tanya!

DPRD di Sumatra Barat, mereka adalah warga yang dipilih secara langsung menyandang amanah untuk mewakili ruh Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah sebagai azas warga. DPRD adalah hasil proses demokrasi menjadi warga kehormatan, berilmu dan bermartabat sebagai manusia pilihan terpercaya oleh pemuka masyarakat, anak kemenakan termasuk oleh niniak mamak, cadiak pandai, dibiayai dari pajak warga. Konsekwensinya mereka semestinya diyakini sebagai manusia amanah, berkemampuan, peduli dan dipercaya memiliki pema­haman azas ABS-SBK apa­lagi dalam kaitan erat Kitabullah. Harusnya “qua­lified”. Warga pemilih tentu harus “berbaik sangka”.

Fakta terkini lainnya berkaitan dengan DPRD, predikat dengan keper­cayaan yang super di atas untuk DPRD Kota Padang menyebabkan sulit bagi warga kota untuk mem­benarkan isu suap yang diarahkan kepada legislator terhormat pilihan warga walaupun hasil voting sidang 12 November 2013 dilakukan oleh legislator ini berseberangan dengan se­bagian besar aspirasi war­ga. Ironis!. 

Demikian pula halnya dengan pem­bahasan RAPBD Sumatera Barat 2014 kemauan untuk ber­musyawarah antara DPRD dengan Pe­me­rin­tahan Pro­vinsi meredup. Manusia terhor­mat pilihan rakyat baik dalam jajaran eksekutif maupun legislatif tidak menganggap prioritas, terlambat memutuskan rencana anggaran untuk kemajuan rakyat yang memilihnya, ironisnya terurai jelas dan lengkap dalam Tajuk Rencana Haluan 11 November 2013, disebabkan oleh ke­pen­tingan politik keduabelah pihak, dalam arti kelompok lebih didahulukan dari pada rakyat pemilih. Sekali lagi. Pelaksanaan Hukum Pe­rundang undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar