Selasa, 03 Desember 2013

One Nation Reading Together

One Nation Reading Together
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  02 Desember 2013
  


“I have many questions, I need some answers soon. Give me a book, and I'll be over the moon!“

KUTIPAN di atas merupakan suara hati jutaan anak di India yang mengikuti One Nation Reading Together Festival di Chennai, India, akhir pekan lalu. Itu sebuah ajang yang sarat pesan karena diikuti ribuan siswa dari seluruh penjuru India, yang menandai kebangkitan minat baca siswa yang sangat tinggi dalam 10 tahun terakhir ini.

Saya setuju dengan argumen yang mengatakan bahwa suara masyarakat suatu negara akan didengar banyak pihak jika tradisi membaca sudah menjadi bagian dari jiwa dan budaya mereka. India sedang berada pada fase tersebut karena baik pemerintah, LSM, penerbit, maupun para guru di sekolah bahu-membahu menciptakan kesenangan anak-anak dalam membaca.

Seorang siswa kelas 2 SMP peserta festival tersebut, Hamza Murtuza Vakharia, berkata bahwa bagi dirinya, “Reading books is part of our life. With out books, we will be alone.“ Ungkapan itu menggambarkan betapa kebutuhan membaca telah tumbuh menjadi sebuah perilaku budaya karena kegiatan membaca sama dengan kebutuhan berteman dengan siapa saja. Itulah yang tidak kita peroleh dari kondisi dunia pendidikan kita di Tanah Air.

Negeri ini memiliki beragam simbol budaya dan tradisi yang begitu kuat, seperti toleransi dan jenis keadaban lainnya. Akan tetapi, tradisi itu terlihat terseok-seok dan cenderung memudar di masyarakat kita karena salah satunya disebabkan minimnya budaya membaca bangsa ini.

Diajar menghafal

Minimnya budaya baca bangsa ini, menurut saya, salah satunya disebabkan kebijakan ujian nasional (UN). Saya menandai bahwa di banyak hal, tradisi membaca tak tumbuh karena dalam proses belajar mengajar di sekolah, anak-anak kita lebih banyak diajarkan untuk menghafal, terutama jenis soal yang akan keluar dalam UN. Tradisi menghafal itulah yang kemudian akan menghasilkan generasi pelupa karena lawan kata dari hafal adalah lupa. Sebaliknya, jika tradisi membaca yang tumbuh, lawan kata dari membaca adalah ingat. Karena itu, mudah disimpulkan mengapa di tengah-tengah masyarakat kita saat ini timbul gejolak sosial, politik, budaya, dan sebagainya yang menyebabkan krisis multidimensi karena generasi yang ada saat ini ialah generasi penghafal kelas berat yang telah lupa dengan tradisi budaya yang baik seperti toleransi, gotong royong, dan kesetiakawanan. Saya meyakini hipotesis yang menyebutkan bahwa penyebab krisis multidimensi saat ini ialah minimnya daya baca masyarakat.

Sebaliknya, generasi pembaca juga tak tumbuh dengan baik karena belenggu kebijakan pendidikan kita memang sengaja tak menciptakan kecintaan terhadap membaca. Jika proses belajar-mengajar terus dipacu dan dipicu ber dasarkan hasil akhir berupa kelulusan dan ijazah semata, jangan berharap akan tumbuh budaya membaca yang sehat dan tinggi di kalangan siswa kita. Orientasi terhadap hasil akhir itu justru menciptakan minim dan rendahnya minat baca siswa dan guru dalam mengarungi fantasi belajar yang menyenangkan.

Fakta lain juga membuktikan terputusnya tradisi membaca bangsa ini disebabkan secara budaya masyarakat kita sesungguhnya belum begitu siap dengan kemajuan di bidang teknologi informasi. Seharusnya tradisi membaca tumbuh secara paralel dengan didahului tradisi verbal, baru kemudian masuk ke tradisi melek teknologi. Namun karena kita lalai dalam menumbuhkan minat dan budaya masyarakat dalam membaca, kekhawatiran masih akan terus menerpa negeri ini. Ketiadaan budaya baca yang cukup bisa kita lihat dari minimnya para pengendara motor dan mobil yang patuh terhadap aturan berlalu lintas. 

Jangankan membaca kebijakan yang ditulis para birokrat ke dalam peraturan perundangundangan berlembar-lembar, membaca rambu-rambu dalam satu huruf larangan berhenti (S), larangan memarkir kendaraan (P), dan lainnya saja kita tak mampu membacanya. Buktinya, ribuan pelanggaran terjadi setiap hari dan semuanya jelas menunjukkan rendahnya minat baca masyarakat kita.

Di sekolah, jangan ditanya, minat baca guru dan siswa juga setali tiga uang. Beberapa survei tak resmi menyebutkan bahwa kemampuan membaca guru dan siswa kurang dari 1 jam per hari. Lagi-lagi penandanya ialah proses belajar-mengajar kita masih menjalankan tradisi hafalan yang lebih banyak dari tradisi membaca. Saya meyakini, jika kita tak mengubah kebijakan UN, jangan berharap akan muncul dan tumbuh budaya membaca yang tinggi di kalangan siswa sekolah. Kita perlu mengubah kebijakan UN agar tradisi membaca bisa tumbuh secara maksimal di lingkungan guru dan siswa.

Tanggung jawab sekolah

Kita perlu membuat kebijakan semacam One Nation Reading Together agar ada peringatan secara nasional tentang pentingnya membaca sebagai salah satu alat mempertahankan kedaulatan Indonesia. Tanpa tradisi dan budaya baca yang baik, ketahanan nasional akan habis terkikis oleh tradisi teknologi informasi yang liar karena tak mengenal batas teritorium sebuah negara. Selain itu, penting juga agar setiap sekolah di Indonesia perlu menggelar agenda Hari Membaca (Reading Day) setiap minggu, yang diintegrasikan secara khusus penjadwalannya ke dalam siklus belajar-mengajar siswa.

Kebijakan untuk membangun perpustakaan sekolah yang memadai juga harus terus dilakukan. Menciptakan kecintaan siswa terhadap buku tak cukup hanya dengan ceramah dan sekadar instruksi yang biasa dilakukan para guru. Kita memerlukan banyak buku di sekolah agar anak tak bertanya-tanya, mengapa kita harus membaca padahal buku yang harus dibaca tak disediakan sekolah. “There is no friend as loyal as a book,“ kata Ernest Hemingway. Tanggung jawab sekolah ialah memberikan fasilitas buku bacaan yang cukup agar anak-anak memperoleh teman-teman perjalanan yang setia setiap saat. Bangsa ini terlalu besar dan kaya dengan tradisi dan budaya. Hanya tradisi membacalah yang dapat menjaga kekayaan budaya bangsa dari kepunahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar