Selasa, 03 Desember 2013

Belajar Literasi dari Delhi

Belajar Literasi dari Delhi
Sofie Dewayani  ;   Penulis, Peneliti, dan Pegiat Literasi Anak
MEDIA INDONESIA,  02 Desember 2013

  

INI bukan Jakarta. Ini Delhi,” batin saya di tengah deru tuk-tuk (semacam bajaj) dan jerit klakson yang membelah jalan-jalan gersang dan berdebu. Saat menatap bus-bus kusam dan mobil tua yang seperti berlomba melaju kencang, saya membayangkan Jakarta di era 1970-an. Ketika itu, geliat modernitas masih mewujud dalam segelintir gedung mewah. Mobil-mobil mengilap pun belum melimpah ruah. Di Delhi ini, entah mengapa, kemiskinan tampil lebih nyata jika dibandingkan dengan di Jakarta. Gedung-gedung tua teronggok mirip reruntuhan, tetapi menampung sekian keluarga. Kuil tempat peribadatan kusam seperti terabaikan. Trotoar ialah toilet umum raksasa sehingga bau urine begitu saja menguar. Sungguh tak terbayangkan, negara berkembang berpopulasi padat ini menghasilkan pemenang Hadiah Nobel seperti Rabindranath Tagore, Amartya Sen, dan Subrahmanyan Chandrasekhar. Tak ternalar juga bagaimana industri perfi lman Bollywood dan teknologi informasi di Bangalore melambungkan nama negara yang sedang berjuang mengentaskan rakyat dari kemiskinan ini.

India ialah negara yang sarat kontradiksi. Di sebuah taman kota yang juga melingkupi Indira Gandhi Centre of Arts, di sebuah Sabtu siang akhir November lalu, saya melihat wajah India yang lain. Saya merasakan gairah yang dipancarkan ratusan, bahkan mungkin ribuan, pasang mata anak dan orang dewasa yang datang berduyun-duyun yang seperti tak sabar ingin bertemu sesuatu yang telah lama mereka tunggu. Nama gairah itu ialah rasa ingin tahu dan kecintaan terhadap buku.

Saya mendapat kehormatan menjadi bagian dari seratus pembicara mancanegara dalam Festival Sastra Anak Bookaroo di New Delhi. Bersama seorang penulis buku anak Indonesia, Eva Nukman, tugas kami sebagai pembicara tidaklah mudah. Kami harus menghidupkan buku. Di hadapan anak-anak yang antusias dan terlihat menyimpan banyak pertanyaan di benak mereka, tugas itu terasa semakin mendebarkan. Lihatlah ketika mereka berebut mengacungkan tangan untuk bertanya kepada Cornelia Funke, penulis beberapa novel bestseller seperti Inkheart, Inkspell, dan Thief Lord, yang sudah difilmkan produsen Hollywood.

Pertanyaan pertanyaan kritis seperti, “Apakah bad writing itu menurut Anda?“ menggiring diskusi kepada topik seperti bahwa penulis yang baik tidak akan menulis sesuatu hanya untuk menyenangkan pasar, untuk membuat buku yang laku dan dibaca banyak orang, apalagi sekadar mendapatkan label bestseller

Di pojok lain, di bawah pohon rindang, Rukhsana Khan, penulis muslim asal Kanada, menjawab pertanyaan dan berdiskusi tentang bagaimana mengangkat topik-topik sensitif seperti diskriminasi ras, agama, dan pencarian identitas diri dalam cerita. Rasanya saya tak percaya topik-topik semacam itu didiskusikan secara artikulatif dengan pembaca berusia 10 hingga 12 tahun yang, jika ditilik dari seragam sekolah dan penampilan mereka, berasal dari beragam kalangan di sana.

Kerumitan di India

Antusiasme seperti itu menjalari taman kota yang luas itu. Di sebuah pojok yang agak terik, anak-anak berusia 6-10 tahun berebut menuangkan imajinasi mereka tentang If only I could fly di sebidang kertas seukuran tembok di bawah arahan ilustrator Jepang Naomi Kojima. Sementara itu, saya dan Eva memilih audiens berumur 8-10 tahun. Kami membacakan buku karya Eva yang bercerita tentang musik tradisional Indonesia; angklung, saluang, gamelan, dan sasando, yang ribut memperdebatkan siapakah di antara mereka yang paling hebat. Kami lalu membagikan angklung kepada audiens dan mengajak mereka memainkan nya. 

Di penghujung acara, guru-guru dari beberapa sekolah menghampiri kami dan bertanya apakah kami mau mengunjungi sekolah-sekolah mereka dan melakukan hal yang sama. Mereka sedang tidak berbasa-basi. Kecintaan mereka terhadap buku, pengetahuan, dan literasi telah membuat saya membungkukkan badan dalam-dalam kepada bangsa ini.

Dalam hitungan angka, prestasi literasi India sesungguhnya tidak sebaik Indonesia. Pada 2011, tingkat kemelekhurufan negara ini hanya sebesar 74%, jauh di bawah tingkat rata-rata dunia yang mencapai 84% (pada tahun yang sama, Indonesia sudah di atas 90%). Dalam sorotan diskriminasi gender dan perkosaan yang marak akhir-akhir ini di India, kesenjangan tingkat kemelekhurufan antara laki-laki dan perempuan menjadi isu yang serius. Itu tentu menambah kerumitan masalah fasilitas pendidikan yang tidak merata, rasio guru dan murid yang tidak memadai, kekerasan terhadap murid di sekolah, juga kurikulum yang dianggap kuno karena masih menitikberatkan pada rote learning (teknik menghafalkan materi dengan pengulangan). Dengan semua kompleksitas itu, saya melihat dua elemen akan dapat mengentaskan rakyat dari masalah pendidikan di negara ini dengan segera. Dua elemen itu ialah murahnya harga buku--yang terwujud karena intervensi pemerintah--dan peran aktif kelas menengah India dalam gerakan literasi. Dua upaya itu mampu menjadikan kecintaan terhadap buku dan pengetahuan sebagai spirit gerakan reformasi pendidikan di India.

Beberapa tahun belakangan, India menjadi pasar potensial penerbit-penerbit di negara Barat. Sekitar 60% outsourcing internasional penerbit-penerbit di negara Barat dilakukan di India. Penerbit-penerbit besar seperti Penguin dan Putnam memiliki rekanan di negara itu. Outsourcing itu tentunya tidak dilakukan tanpa alasan. Hingga 2011, statistik mencatat bahwa pembelian buku melonjak secara eksponensial, dengan lonjakan tertinggi dialami genre fiksi (49%), nonfiksi (36%), dan buku anak (27%). Kegemaran membaca terjadi di semua umur. 

Sebanyak seperempat dari populasi remaja di bawah usia 17 tahun mengidentifikasi diri mereka sebagai `kutu buku'. Kemampuan berbahasa Inggris orang India mungkin ditengarai sebagai salah satu faktor yang memudahkan mereka untuk menyerap buku-buku berkualitas yang diterbitkan negara-negara Barat. Namun, sesungguhnya, persentase penduduk yang bisa berbahasa Inggris hanya mencapai sekitar 10% dari seluruh populasi. Selain itu, upaya penerjemahan buku ke bahasa Hindi pun terjadi secara intensif. Jadi, penguasaan bahasa Inggris tidak selalu relevan dengan kegemaran membaca.

Harga murah

Upaya kelas menengah India dalam gerakan literasi terasa menonjol dengan kehadiran penerbit seperti Pratham Books dan Tara Books.

Pratham Books memproduksi buku anak berbahasa Inggris dengan kualitas bagus dan mendistribusikannya dengan harga murah (seharga sekitar 25 Rs atau sekitar Rp5 ribu) ke daerah-daerah terpencil di India.

Tara Books memproduksi buku-buku anak dengan cita rasa seni yang tinggi dengan mengakomodasi kekayaan budaya lokal. Penerbit itu dikenal telah menjadi langganan kompetisi sastra anak internasional. Dua penerbit ini tentu `layak' dipersandingkan dengan kebanyakan penerbit di Indonesia yang cenderung menerbitkan buku-buku yang cepat diserap pasar untuk bisa bertahan.

Kegemaran membaca tidak mungkin tumbuh tanpa upaya. Kelas menengah di India tampaknya paham sepenuhnya bahwa literasi tidak hanya terkait dengan kemampuan membaca dan memahami teks. Literasi, dalam upaya menciptakan keterkaitan antara diri dan teks, dan usaha membangun analisis kritis dalam proses memahami teks, telah berhasil dihidupkan festival sastra seperti Bookaroo dan Jaipur Litfest yang terkenal itu. Dalam festival-festival ini, buku tidak hanya dipamerkan, dipajang di rak-rak kaku, atau ditimbun dalam kotak besar bertuliskan `obral'. Buku tidak hanya dipromosikan lewat acara jumpa penulis dan diskusi buku.

Di festival seperti ini, penulis tidak hanya menceritakan proses kreatif dan semua hal baik hanya untuk membuat buku yang ditulisnya layak dibeli. Dalam kegiatan literasi yang dialogis, buku adalah teks yang tidak pernah final. Penulis harus memiliki kebesaran hati untuk menyajikan karakter, kisah yang ditulisnya, dan membiarkan pembaca menginterpretasi, mengkritisi, dan menuntaskannya. 

Penulis menyempurnakan kemampuan menulisnya dengan berinteraksi dan mendapatkan masukan dari pembaca, bahkan mereka yang masih sangat muda, seperti di Bookaroo ini. Dengan kompleksitas masalah pendidikan, kurikulum yang dianggap terlalu membebani, dan kemiskinan yang mendera, setidaknya anak-anak India memiliki buku-buku bermutu yang begitu dekat dan menjadi sahabat yang mengasah daya kritis serta menghibur mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar