Mengkritisi G30S
Soe Tjen Marching ; Komposer
|
TEMPO.CO, 11 Desember 2013
Setelah saya membuat petisi "Sarwo Edhie Bukan Pahlawan" di Change.org,
pembahasan tentang G30S bergulir lagi. Film Joshua Oppenheimer jelas
menyajikan bagaimana para jagal menghabisi manusia tak berdosa. Sejarawan
Asvi Adam juga memaparkan kekejian Sarwo Edhie dalam pembunuhan massal '65.
Tapi, setelah semua usaha pengungkapan
sejarah ini, tetap saja ada yang bertanya: "Lalu versi siapa yang bisa
kita percaya?" Saya menyodorkan argumen berikut, yang terdiri atas
lima bagian (agar mirip Pancasila).
Pertama: jika memang anggota PKI membunuh
para jenderal, apa buktinya? Bukti utama yang ditampilkan oleh Soeharto
adalah mayat para jenderal. Tapi mayat adalah bukti bahwa orang tersebut
sudah mati, bukan bukti PKI melakukan pembunuhan.
Kedua: bagaimana mereka bisa sampai pada
kesimpulan bahwa PKI-lah yang membunuh para jenderal, dengan begitu cepat?
Kejadian 30 September banyak dikenal sebagai saat di mana enam jenderal
dibunuh oleh PKI (sebenarnya terjadi pada 1 Oktober, karena telah melewati
tengah malam). Versi sejarah Soeharto adalah, para jenderal disiksa dan
dimutilasi sebelum dibunuh, dan perempuan Gerwani menari telanjang saat
menyilet-nyilet para jenderal. Kemudian, Sim Salabim, muncullah Hari
Kesaktian Pancasila 1 Oktober: Soeharto berhasil menemukan biang keladinya,
dengan komandan Sarwo Edhie.
Apabila pembunuhan terhadap satu orang,
Munir, memakan waktu investigasi bertahun-tahun dan masih saja belum
terselesaikan, kenapa pembunuhan enam orang memakan waktu hanya beberapa
jam untuk menyelidiki? Mengapa keputusan untuk menghukum PKI datang begitu
tiba-tiba, bahkan terburu-buru? Tidakkah kita berpikir bahwa hal ini pasti
soal peluang bagi sebagian orang yang ingin berkuasa?
Ketiga: mungkin sudah waktunya kita mengalah
kepada Soeharto dan Sarwo Edhie. Kita anggap saja mereka berdua sesakti
Batman. Tanpa proses penyidikan dan pengadilan pun, mereka langsung tahu
penjahatnya. Jika memang anggota PKI membunuh para jenderal, mengapa tidak
mencari pembunuh ini, diseret ke pengadilan dan dihukum selayaknya? Namun
Sarwo Edhie justru sibuk dalam operasi yang menghabisi begitu nyawa orang.
Keempat: pembunuhan para jenderal
berlangsung di Jakarta. Tapi mengapa pasukan harus pergi mengembara ke
seluruh Indonesia, bahkan ke desa-desa kecil? Banyak dari korban adalah
petani dan seniman tradisional yang belum pernah ke Jakarta atau aktif
terlibat dalam politik!
Kelima: bila yang dikudeta adalah Sukarno,
mengapa nasib Sukarno hampir sama dengan PKI-digulingkan dan diasingkan?
Jika seseorang dirampok dan orang ini dengan
cepat menuduh sekelompok manusia, kemudian meminta agar mereka dihukum
seberat-beratnya, Anda akan bertanya-tanya motif di balik tindakan ini.
Terutama ketika orang ini masih belum puas dan memberi stigma terhadap
anak-cucu dari kelompok manusia yang telah dihukum berat itu.
Sekarang, jika ini tentang salah satu
pembunuhan massal terbesar dalam sejarah, mengapa kita tidak bisa berpikir
serupa? Apakah Sarwo Edhie layak diberi gelar pahlawan? ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar