DALAM
acara bedah buku 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua di Centre for Strategic and International
Studies, Jakarta, 24 Oktober lalu, tergambar banyak hal belum tuntas
terkait kondisi perdamaian di Papua. Meskipun proyek otonomi khusus telah
berjalan lebih dari 12 tahun (Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001), nasib
Papua masih diselubungi kabut.
Buku itu adalah sebuah catatan
ingatan untuk tidak melupakan Papua. Meskipun secara faktual penulisnya 100
orang, termasuk saya, secara semiotik buku ini meninggalkan satu catatan
untuk diisi seluruh orang Indonesia untuk tetap membela Papua.
Historis versus antropologis
Meskipun banyak persamaan
derita, secara historis ada tebing dan ngarai yang memisahkan Aceh dan
Papua sebagai bagian dari Indonesia.
Dalam sebuah pertemuan dialog
Aceh, Timor Leste, dan Papua di Bali pada 2009— memperingati 10 tahun
referendum Timor Timur—−seorang aktivis muda Papua bertanya, ”Bagaimana kami harus menjadi
Indonesia?”
Ini pertanyaan sulit bagi saya
karena ada pengalaman kelam masyarakat Aceh pada masa lalu.
Sejak awal pendirian republik,
Aceh sudah diidentifikasi sebagai modal Indonesia, sebagaimana dikatakan
Soekarno ketika melembutkan Tgk Daud Beureueh pasca-pemberontakan DI/TII
pada era 1960-an.
Aceh memiliki semua persyaratan
sejarah seperti belahan Nusantara lain terhadap Belanda, yaitu menolak
kolonialisme.
Papua mungkin tidak memiliki
khazanah kesejarahan yang sama seperti ”kerajaan Hindia Belanda” lain
ketika merumuskan Indonesia pada awal abad ke-20.
Identifikasi Papua sebagai
Indonesia baru terjadi pasca-Trikora 19 Desember 1961, dilanjutkan New York
Agreement 15 Agustus 1962, penetapan status Papua sebagai bagian dari
Indonesia 1 Mei 1963, hingga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang
berlangsung sejak 14 Juli hingga Agustus 1969.
Namun, semua itu belum mampu
membangun identifikasi keindonesiaan. Faktor lain adalah migrasi etnis
Melayu untuk alasan ekonomi dan agama.
Kalaupun ada yang mempersamakan,
itu adalah pengalaman antropologi duka. Jika memakai perspektif Ernest
Renan, penulis Perancis, adalah takdir ”menderita bersama” (having suffered together) dalam
”proyek kolonial” Indonesia yang memunculkan kesadaran etnonasionalisme di
kedua daerah ujung timur dan barat itu.
”Russifikasi”—memakai istilah
Partha Chatterjee tentang model program nasionalisme resmi yang
dipaksakan—ternyata telah meninggalkan cacat di bidang kemanusiaan,
politik, ekonomi, dan kultural bagi Papua dan Aceh.
Bedanya, Aceh berhasil membangun
proyek rekonstruksi baru ke dalam Indonesia melalui nota kesepahaman (MOU)
Helsinki 15 Agustus 2005, Papua belum. Proyek otonomi khusus di Papua pun
belum menyejahterakan masyarakat.
Kompleksitas permasalahan yang
mendera itu tentu saja membahayakan bukan saja masyarakat Papua, melainkan
juga integritas pada NKRI.
Inisiasi dialog
Pada 2011, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia pernah menyusun laporan peta jalan damai Papua.
Saat itu disimpulkan ada empat
solusi yang harus dilakukan untuk menyelesaikan problem menahun Papua,
yaitu pengakuan status, reorientasi paradigma pembangunan, pengadilan HAM
dan KKR, dan dialog.
Dari sekian solusi, dialog harus
menjadi langkah pertama. Dialog adalah proses untuk berhenti menyalahpahami
dan mulai mengoreksi diri untuk mencapai konsensus baru, bukti bahwa
dialektika berbangsa berjalan secara benar.
Jaringan Papua Tanah Damai
melalui tokohnya, Neles Tebay, pernah memulai untuk menemukan konsensus
perdamaian antara masyarakat asli Papua dan Pemerintah Indonesia melalui
mekanisme dialog.
Namun, dialog harus menjadi
jalan sempurna menyelesaikan setiap masalah yang muncul di Papua.
Kita tahu, penderitaan
masyarakat Papua bukan saja akibat kesalahan pemerintah pusat atau elite
lokal yang memanipulasi otonomi daerah untuk kepentingan diri dan kelompok,
tetapi juga kekuatan modal dan korporasi global.
Sistem dan metodologi dialog
harus memasukkan klausul ”tanah” di samping ”rakyat”.
Dialog harus berani menohok pada
batas-batas tabu, seperti fakta kerusakan ekologis dan geografis Papua
akibat nafsu eksploitatif korporasi multinasional, seperti Freeport, BP
Tangguh, Nabire Bakti Mining, Irja Eastern Mineral, dan Gag Nikel, juga
sekitar 60 perusahaan HPH yang menggarap lebih dari 14 juta hektar wilayah
hutan Papua dan Papua Barat (Greenpeace
Indonesia, 2011).
Perilaku korporasi ekonomi tidak
membuat rakyat Papua gembira di tanahnya sendiri. Belum lagi proyek
ambisius Jakarta membangun pusat energi dan pangkalan pangan integratif (Merauke Integrated Food and Energy
Estate/MIFEE) yang tidak ramah bagi hutan adat dan memicu migrasi
pekerja non-Papua.
Internasionalisasi dialog
mungkin salah satu solusi bagi Papua, seperti juga MOU Helsinki untuk Aceh.
Usulan ini pasti dipenuhi
prasangka negatif, tetapi pemerintah harus obyektif menakar konsekuensi.
Harus dipahami bahwa konsep
separatisme sebenarnya semakin tidak populer di tingkat global, seperti
tidak populernya pelanggaran HAM dan anti-demokrasi.
Di samping itu, masyarakat Papua
juga harus berdialog dengan sesamanya (masyarakat asli dan non-asli, korban
dan OPM, pedalaman dan pesisir) untuk membangun representasi yang kuat
dalam mengawal Papua sebagai tanah damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar