Kamis, 12 Desember 2013

Memberdayakan Papua

Memberdayakan Papua
Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen Antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
KOMPAS,  11 Desember 2013

  

DALAM acara bedah buku 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 24 Oktober lalu, tergambar banyak hal belum tuntas terkait kondisi perdamaian di Papua. Meskipun proyek otonomi khusus telah berjalan lebih dari 12 tahun (Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001), nasib Papua masih diselubungi kabut.
Buku itu adalah sebuah catatan ingatan untuk tidak melupakan Papua. Meskipun secara faktual penulisnya 100 orang, termasuk saya, secara semiotik buku ini meninggalkan satu catatan untuk diisi seluruh orang Indonesia untuk tetap membela Papua.

Historis versus antropologis

Meskipun banyak persamaan derita, secara historis ada tebing dan ngarai yang memisahkan Aceh dan Papua sebagai bagian dari Indonesia.
Dalam sebuah pertemuan dialog Aceh, Timor Leste, dan Papua di Bali pada 2009— memperingati 10 tahun referendum Timor Timur—−seorang aktivis muda Papua bertanya, ”Bagaimana kami harus menjadi Indonesia?”

Ini pertanyaan sulit bagi saya karena ada pengalaman kelam masyarakat Aceh pada masa lalu.

Sejak awal pendirian republik, Aceh sudah diidentifikasi sebagai modal Indonesia, sebagaimana dikatakan Soekarno ketika melembutkan Tgk Daud Beureueh pasca-pemberontakan DI/TII pada era 1960-an.
Aceh memiliki semua persyaratan sejarah seperti belahan Nusantara lain terhadap Belanda, yaitu menolak kolonialisme.

Papua mungkin tidak memiliki khazanah kesejarahan yang sama seperti ”kerajaan Hindia Belanda” lain ketika merumuskan Indonesia pada awal abad ke-20.

Identifikasi Papua sebagai Indonesia baru terjadi pasca-Trikora 19 Desember 1961, dilanjutkan New York Agreement 15 Agustus 1962, penetapan status Papua sebagai bagian dari Indonesia 1 Mei 1963, hingga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang berlangsung sejak 14 Juli hingga Agustus 1969.
Namun, semua itu belum mampu membangun identifikasi keindonesiaan. Faktor lain adalah migrasi etnis Melayu untuk alasan ekonomi dan agama.

Kalaupun ada yang mempersamakan, itu adalah pengalaman antropologi duka. Jika memakai perspektif Ernest Renan, penulis Perancis, adalah takdir ”menderita bersama” (having suffered together) dalam ”proyek kolonial” Indonesia yang memunculkan kesadaran etnonasionalisme di kedua daerah ujung timur dan barat itu.

”Russifikasi”—memakai istilah Partha Chatterjee tentang model program nasionalisme resmi yang dipaksakan—ternyata telah meninggalkan cacat di bidang kemanusiaan, politik, ekonomi, dan kultural bagi Papua dan Aceh.
Bedanya, Aceh berhasil membangun proyek rekonstruksi baru ke dalam Indonesia melalui nota kesepahaman (MOU) Helsinki 15 Agustus 2005, Papua belum. Proyek otonomi khusus di Papua pun belum menyejahterakan masyarakat.

Kompleksitas permasalahan yang mendera itu tentu saja membahayakan bukan saja masyarakat Papua, melainkan juga integritas pada NKRI.

Inisiasi dialog

Pada 2011, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah menyusun laporan peta jalan damai Papua.

Saat itu disimpulkan ada empat solusi yang harus dilakukan untuk menyelesaikan problem menahun Papua, yaitu pengakuan status, reorientasi paradigma pembangunan, pengadilan HAM dan KKR, dan dialog.

Dari sekian solusi, dialog harus menjadi langkah pertama. Dialog adalah proses untuk berhenti menyalahpahami dan mulai mengoreksi diri untuk mencapai konsensus baru, bukti bahwa dialektika berbangsa berjalan secara benar.

Jaringan Papua Tanah Damai melalui tokohnya, Neles Tebay, pernah memulai untuk menemukan konsensus perdamaian antara masyarakat asli Papua dan Pemerintah Indonesia melalui mekanisme dialog.

Namun, dialog harus menjadi jalan sempurna menyelesaikan setiap masalah yang muncul di Papua.

Kita tahu, penderitaan masyarakat Papua bukan saja akibat kesalahan pemerintah pusat atau elite lokal yang memanipulasi otonomi daerah untuk kepentingan diri dan kelompok, tetapi juga kekuatan modal dan korporasi global.
Sistem dan metodologi dialog harus memasukkan klausul ”tanah” di samping ”rakyat”.

Dialog harus berani menohok pada batas-batas tabu, seperti fakta kerusakan ekologis dan geografis Papua akibat nafsu eksploitatif korporasi multinasional, seperti Freeport, BP Tangguh, Nabire Bakti Mining, Irja Eastern Mineral, dan Gag Nikel, juga sekitar 60 perusahaan HPH yang menggarap lebih dari 14 juta hektar wilayah hutan Papua dan Papua Barat (Greenpeace Indonesia, 2011).

Perilaku korporasi ekonomi tidak membuat rakyat Papua gembira di tanahnya sendiri. Belum lagi proyek ambisius Jakarta membangun pusat energi dan pangkalan pangan integratif (Merauke Integrated Food and Energy Estate/MIFEE) yang tidak ramah bagi hutan adat dan memicu migrasi pekerja non-Papua.

Internasionalisasi dialog mungkin salah satu solusi bagi Papua, seperti juga MOU Helsinki untuk Aceh.
Usulan ini pasti dipenuhi prasangka negatif, tetapi pemerintah harus obyektif menakar konsekuensi.

Harus dipahami bahwa konsep separatisme sebenarnya semakin tidak populer di tingkat global, seperti tidak populernya pelanggaran HAM dan anti-demokrasi.
Di samping itu, masyarakat Papua juga harus berdialog dengan sesamanya (masyarakat asli dan non-asli, korban dan OPM, pedalaman dan pesisir) untuk membangun representasi yang kuat dalam mengawal Papua sebagai tanah damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar