SEORANG sahabat mengirimkan
tulisan menarik yang didapatnya dari sebuah milis – tentang “belajar
mengantre vs matematika”.
Ketika saya periksa
lewat google saya mendapatkan salah satu sumbernya: Kaskus.
Karena bermanfaat, saya mohon izin mengadaptasinya dalam tulisan ini.
Dikisahkan tentang seorang guru yang mengatakan, sebagai guru ia tak
terlalu cemas jika anak didiknya tak pandai matematika. Dia jauh lebih
cemas jika mereka tak pandai mengantre. Ditanya kenapa, dengan penuh
keyakinan dia menjawab cukup sekitar tiga bulan intensif untuk menguasai
matematika.
Untuk pandai mengantre dan mengingat pelajaran di balik proses
mengantre, perlu setidaknya 12 tahun.
Selanjutnya dikatakan,
kelak tidak semua anak didiknya memilih profesi yang berhubungan langsung
dengan matematika kecuali keterampilan tambah, kali, kurang, dan bagi.
Namun yang jelas, semua anak didiknya itu akan memerlukan etika dan moral
(yang didapatkan dari pelajaran mengantre) sepanjang hidup mereka
kelak. Lalu dengan tangkas guru itu menjelaskan sebagian nilai-nilai
kehidupan berharga di balik keterampilan mengantre, yang akan saya adaptasi
sesuai konteks tulisan ini.
Pertama, anak akan belajar
manajemen waktu dengan baik, terencana, dan jika ingin mengantre paling
depan, ia harus datang lebih awal. Kedua, anak belajar bersabar menunggu
gilirannya tiba, terutama jika ia berada di antrean paling belakang.
Ketiga, anak belajar menghormati hak orang lain (dan haknya sendiri), yang
datang lebih awal dapat giliran lebih dulu. Keempat, anak belajar
berdisiplin. Kelima, anak belajar kreatif memikirkan kegiatan apa saja yang
bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan selama mengantre (di Jepang
biasanya orang membaca buku saat mengantre). Keenam, anak belajar tabah
menjalani proses dalam mencapai tujuannya,. Ketujuh, anak belajar hukum
sebab-akibat, bahwa jika terlambat harus menerima konsekuensi di antrean
belakang.
Kedelapan, anak belajar keteraturan dalam hidup. Kesembilan, anak
belajar memiliki rasa malu. Kesepuluh, anak belajar jujur pada diri sendiri
dan orang lain.
Mewujud dalam perilaku
Kesepuluh nilai itu memang
berhubungan langsung dengan etika atau moral seorang anak. Sedangkan etika
atau moral berhubungan dengan (hati) nurani. Dan sesungguhnya, jika nurani
seseorang “mati” kemanusiaan orang itu juga mati. Saya mendadak
tercerahkan bahwa budaya korupsi, setidaknya untuk jangka panjang,
salah satunya bisa diberantas melalui pendidikan “keterampilan” mengantre
sejak masa kanak-kanak. Budaya, secara praksis adalah values in
action atau nilai-nilai yang mewujud dalam perilaku. Maka jika
ingin memberantas korupsi, kita wajib menginternalisasikan
nilai-nilai yang berkebalikan dengan nilai-nilai yang dianut para koruptor.
Mari kita potret head to head pertempuran antarnilai ini.
Pertama, nilai perencanaan dan
manajemen waktu adalah lawan telak dari nilai koruptor yang oportunis, aji
mumpung, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Para koruptor sangat
bodoh dalam merencanakan pekerjaan dan kehidupan mereka, tak punya
perencanaan kerja yang etis dan profesional di balik nafsu ingin kaya.
Kedua, nilai kesabaran menunggu giliran – lawan sempurna dari nilai hidup
koruptor yang ingin kaya dengan cepat. Tak ada kesabaran yang mengendalikan
dirinya, bahwa segala sesuatu ada waktunya dan selama penantian “giliran”
harus diisi dengan kerja yang baik dan benar.
Ketiga, nilai tentang hak diri
dan orang lain akan melumat nilai koruptor yang tak peduli tentang hak dan
kewajiban. Koruptor tak mau tahu, semua yang dijarahnya bukan haknya.
Jangankan hak orang lain, hak negarapun dia sikat. Dia tak pernah belajar
bahwa yang menjadi haknya mesti sesuai kontribusi yang dia berikan dan
kewajiban yang dia jalankan dengan baik, di luar itu sama sekali bukan
haknya. Keempat, nilai kedisiplinan, lawan dari nilai hidup koruptor
yang tidak pernah taat aturan dan seenak hatinya dalam menjalani pekerjaan
dan kehidupan,
Kelima, nilai kreatif –
menghancurkan nilai koruptor yang hanya “kreatif” dalam mencuri dan
menjarah yang bukan haknya, namun bodoh soal berprestasi untuk
hal yang positif sesuai kewajibannya. Nilai kreatif, bahwa untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan (termasuk kekayaan sekalipun) perlu
kinerja yang istimewa dan kreativitas adalah salah satu syarat utama untuk
berprestasi di balik uraian tugas dan kewajiban standar yang diberikan.
Keenam, nilai ketabahan – merupakan lawan nilai hidup koruptor yang lembek,
hedonis, rapuh, cepat menyerah. Para koruptor bukanlah pejuang kehidupan
sebab semua kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui perjuangan
hidup, dan semua perjuangan hidup memerlukan ketabahan. Jadi koruptor tak
lebih dari pecundang kehidupan.
Ketujuh, nilai sebab-akibat atau
konsekuensi kehidupan – berkebalikan dengan nilai koruptor yang
tak pernah konsekuen dalam bekerja. Koruptor ingin melawan hukum alam atau
hukum besi kehidupan bahwa yang bekerja baik dan cepat yang akan dapat sesuatu
yang diinginkan. Koruptor ingin memutarbalikkan itu semua, tanpa kerja
keras dan bersantai-santai, namun cepat kaya dan paling kaya.
Kedelapan, nilai keteraturan
dalam kehidupan – menentang nilai kekacauan (chaos) yang dianut
para koruptor. Para koruptor dengan sadar membuat kekacauan dalam sistem
kerja, lingkungan kerja, dan kehidupan melalui perilaku korupsinya. Dan
celakanya, dia tak peduli dengan itu semua. Koruptor adalah orang yang
kacau hidup dan kerjanya.
Kesembilan, nilai tentang rasa
malu – bertentangan habis dengan nilai koruptor yang tidak
pernah menghargai martabat dirinya sebagai manusia, dan bermuara pada
sifat tak punya malu. Lihatlah para koruptor yang masihcengengesan di
berbagai tayangan televisi, bahkan sempat melambai-lambaikan tangan meski
memakai baju tahanan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tak
punya rasa malu karena hilang martabat diri. Kesepuluh, nilai kejujuran –
merupakan lawan sempurna dari nilai diri koruptor yang serba culas dan
menipu siapapun, termasuk Tuhan dan diri sendiri.
Maka kesepuluh nilai di balik
pelajaran mengantre itu layak dijadikan obat jangka panjang untuk
memberantas budaya korupsi di negeri ini. Sesuai konteks
tersebut, keterampilan mengantre perlu dilatih
sejak dini. Untuk jangka pendek, kita bisa mengandalkan
pemberantasan korupsi bersifat sistemik dan law
enforcement. Namun jangka panjang, mutlak harus dimulai dengan
pendidikan (internalisasi) nilai-nilai seperti dalam
keterampilan mengantre sejak usia dini. Mengantre atau mati
(nurani), itu saja pilihannya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar