SAAT tim KPK menggeledah rumah
Wawan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, publik terenyak melihat begitu
banyak mobil mewah di garasi.
Wawan adalah adik kandung
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mereka sekeluarga dikenal sebagai
dinasti politik di Provinsi Banten. Temuan mobil serba mulus itu kontras
dengan panjangnya jalan yang rusak di Provinsi Banten.
Busana dan aksesori mewah keseharian
sang Gubernur terasa menyakitkan ketika kita tahu ada banyak anak yang tak
mendapat akses pendidikan layak. Dana pembangunan daerah yang seharusnya
untuk melayani publik dan menyejahterakan masyarakat dialihkan untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kualitas jalan menjadi bobrok,
pembangunan gedung tak sesuai dengan standar sehingga rawan roboh, bahkan
alat kesehatan dan obat-obatan untuk rakyat pun dikorupsi. Hanya pemimpin
parasit yang tega menukar nilai kepentingan publik menjadi materi privat di
badan dan garasi.
Lahir secara artifisial
Ketidakmampuan menyamakan
perspektif diri dengan sudut pandang rakyat kebanyakan hanya dapat terjadi
jika pemimpin yang muncul adalah pemimpin artifisial. Pemimpin artifisial
adalah pemimpin yang lahir dari manipulasi pencitraan, rekayasa politik,
dan politik uang. Cara demikian memungkinkan seorang pemimpin dicangkok
dari atas, bukan muncul dari bawah.
Idealnya seorang pemimpin muncul
secara alamiah dari masyarakat. Ia dipilih oleh komunitas terdekatnya.
Proses ini mengandaikan bahwa seorang pemimpin didaulat mewujudkan
cita-cita dari para pendukungnya, bukan cita-cita dari si tokoh. Sistem
demokrasi langsung merupakan instrumennya. Itu sebabnya muncul pandangan
bahwa itulah pilihan rakyat Banten sehingga jejaring keluarga Atut memegang
kekuasaan politik di Provinsi Banten.
Pengamatan dan pencatatan yang
dilakukan Gandung Ismanto terhadap perkembangan politik Banten mengingatkan
kita kembali pada awal mula hadirnya pemimpin artifisial ini di sana.
Djoko Munandar dan Atut Chosiyah
adalah gubernur dan wakil gubernur pertama sejak Banten menjadi provinsi.
Atut lahir dari legitimasi ayahnya, Chasan Sochib, seorang jawara Banten.
Atut sebenarnya lebih banyak beraktivitas di Bandung.
Pemilihan mereka melalui DPRD
melalui penjagaan sejumlah jawara. Dalam perjalanannya, Djoko menindak
perusahaan Chasan yang dianggap wanprestasi atas pembangunan Gedung DPRD
Banten. Namun, justru Djoko yang kemudian dicopot dari jabatan gubernur
karena dianggap melakukan korupsi dalam pembangunan rumah anggota DPRD.
Sejak itulah Atut tampil sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Banten. Sejak
itulah keluarga Chasan Sochib membangun gurita kekuasaannya.
Pada masa itu pendapat yang
berbeda dari dalam birokrasi melahirkan mutasi dan suara kritis dari masyarakat
berakibat ancaman kekerasan. Layaknya oligarki, mereka membentuk jaringan
dan menguasai sumber-sumber ekonomi.
Dalam kondisi praktik politik
transaksional, tidaklah sukar melanggengkan kekuasaan bagi mereka yang
sudah terlebih dahulu menguasai sumber-sumber ekonomi. Banten merupakan
gambaran nyata dari pemimpin yang tercerabut dari akarnya.
Inilah pemimpin artifisial sebab
ia lahir dari manipulasi proses demokrasi yang dibajak sedemikian rupa
sehingga memutus mata rantai keterkaitannya dengan rakyat. Pemimpin yang
lahir dari perselingkuhan kaum plutokrat dengan politisi sehingga dedikasi
tak pernah dialamatkan kepada rakyatnya karena kekuatan uang, pencitraan,
bahkan represi dan intimidasi.
Mengikis politik parasit
Demokrasi adalah politik
peluang. Secara prosedural, ia dapat melahirkan pemimpin formal artifisial
yang menjadi parasit masyarakat. Namun, substansi dari demokrasi adalah
kekuasaan dapat dikoreksi oleh setiap individu yang memiliki kesetaraan hak
secara politik.
Warga di Provinsi Banten mungkin
belum seberuntung warga di Kabupaten Bantaeng, Kota Surabaya, atau Provinsi
DKI Jakarta. Di ketiga daerah itu, demokrasi melahirkan pemimpin yang
berakar ke masyarakat. Mereka jeli mengenali kebutuhan warganya. Pos pada
satu anggaran dipotong tidak untuk masuk ke kantong pribadi, tetapi untuk
membiayai proyek yang lebih bersifat genting.
Birokrasi tidak dijejali mereka
yang memiliki kesamaan suku atau agama, tetapi dirampingkan agar efisien
atau dibuka kepada umum untuk mendapatkan yang terbaik. Pemimpin yang
berakar dari rakyat memiliki legitimasi moral karena selalu mendahulukan
kepentingan orang banyak.
Demokrasi juga membuka peluang
bagi inisiatif warga. Pemimpin yang berakar kepada rakyat hanya muncul
dalam sistem yang terbuka. Rekam jejak seorang calon pemimpin ditorehkan
sejak ia mulai mengerjakan sesuatu bagi lingkungannya.
Kondisi ini tentu sukar terjadi
pada sistem non-demokratis. Kebaikan bagi masyarakat dapat diwujudkan
melalui inisiatif dari para pemimpin informal. Para pemimpin yang tulus
bekerja dapat menginspirasi. Pemimpin yang menginspirasi dapat menggerakkan
orang-orang di sekitarnya. Pengalaman ini yang dibagi koordinator Geng
Motor Imut, Noverius Nggili.
Berawal dari krisis diri sebagai
orang yang mengecap pendidikan perguruan tinggi, ia akhirnya dapat melihat
potensi baik yang dapat dikerjakan bersama teman-temannya.
Dengan mengandalkan dana swadaya
dari para simpatisan, ia bersama geng motornya sudah mengunjungi 64 desa di
Nusa Tenggara Timur. Di sana mereka mengajarkan manajemen peternakan,
pertanian organik, dan penggunaan energi terbarukan. Mereka mengembangkan
kompor biogas, alat pengubah air laut jadi air tawar, pemanfaatan briket
arang, dan sampah organik.
Pembiayaan dan pengembangan
inovasi energi terbarukan tersebut menggunakan skema finansial mikro. Peran
aktif warga semacam itu akan mengayak para pemimpin yang orisinal dari
akarnya atau cangkokan lewat politik transaksional.
Sistem demokrasi memberi peluang
bagi warga negara untuk mengakhiri kekuasaan politik parasit. Daerah yang
mengalami krisis akibat politik korup dapat menumbuhkan inisiatif warga dan
pemimpi-pemimpin baru yang otentik. Sistem politik lewat cara demokrasi
bukanlah cek kosong. Ia bukan semata politik di balik bilik suara.
Demokrasi berkualitas dan substantif memerlukan partisipasi terus-menerus
semua warga negara.
Sekalipun pemimpin
yang baik terpilih, dinamika warga untuk mau berpartisipasi dalam
urusan publik harus terus ada. Melalui keterlibatan aktif, kader
kepemimpinan tetap berlangsung. Namun, yang lebih penting adalah
melembagakan hal-hal baik yang dikerjakan sang pemimpin yang berakar kepada
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar