Selasa, 10 Desember 2013

Pemimpin Parasit

Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat
Pemimpin Parasit
KOMPAS,  10 Desember 2013



SAAT tim KPK menggeledah rumah Wawan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, publik terenyak melihat begitu banyak mobil mewah di garasi.
Wawan adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mereka sekeluarga dikenal sebagai dinasti politik di Provinsi Banten. Temuan mobil serba mulus itu kontras dengan panjangnya jalan yang rusak di Provinsi Banten.
Busana dan aksesori mewah keseharian sang Gubernur terasa menyakitkan ketika kita tahu ada banyak anak yang tak mendapat akses pendidikan layak. Dana pembangunan daerah yang seharusnya untuk melayani publik dan menyejahterakan masyarakat dialihkan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Kualitas jalan menjadi bobrok, pembangunan gedung tak sesuai dengan standar sehingga rawan roboh, bahkan alat kesehatan dan obat-obatan untuk rakyat pun dikorupsi. Hanya pemimpin parasit yang tega menukar nilai kepentingan publik menjadi materi privat di badan dan garasi.

Lahir secara artifisial

Ketidakmampuan menyamakan perspektif diri dengan sudut pandang rakyat kebanyakan hanya dapat terjadi jika pemimpin yang muncul adalah pemimpin artifisial. Pemimpin artifisial adalah pemimpin yang lahir dari manipulasi pencitraan, rekayasa politik, dan politik uang. Cara demikian memungkinkan seorang pemimpin dicangkok dari atas, bukan muncul dari bawah.

Idealnya seorang pemimpin muncul secara alamiah dari masyarakat. Ia dipilih oleh komunitas terdekatnya. Proses ini mengandaikan bahwa seorang pemimpin didaulat mewujudkan cita-cita dari para pendukungnya, bukan cita-cita dari si tokoh. Sistem demokrasi langsung merupakan instrumennya. Itu sebabnya muncul pandangan bahwa itulah pilihan rakyat Banten sehingga jejaring keluarga Atut memegang kekuasaan politik di Provinsi Banten.

Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan Gandung Ismanto terhadap perkembangan politik Banten mengingatkan kita kembali pada awal mula hadirnya pemimpin artifisial ini di sana.

Djoko Munandar dan Atut Chosiyah adalah gubernur dan wakil gubernur pertama sejak Banten menjadi provinsi. Atut lahir dari legitimasi ayahnya, Chasan Sochib, seorang jawara Banten. Atut sebenarnya lebih banyak beraktivitas di Bandung.

Pemilihan mereka melalui DPRD melalui penjagaan sejumlah jawara. Dalam perjalanannya, Djoko menindak perusahaan Chasan yang dianggap wanprestasi atas pembangunan Gedung DPRD Banten. Namun, justru Djoko yang kemudian dicopot dari jabatan gubernur karena dianggap melakukan korupsi dalam pembangunan rumah anggota DPRD. Sejak itulah Atut tampil sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Banten. Sejak itulah keluarga Chasan Sochib membangun gurita kekuasaannya.

Pada masa itu pendapat yang berbeda dari dalam birokrasi melahirkan mutasi dan suara kritis dari masyarakat berakibat ancaman kekerasan. Layaknya oligarki, mereka membentuk jaringan dan menguasai sumber-sumber ekonomi.

Dalam kondisi praktik politik transaksional, tidaklah sukar melanggengkan kekuasaan bagi mereka yang sudah terlebih dahulu menguasai sumber-sumber ekonomi. Banten merupakan gambaran nyata dari pemimpin yang tercerabut dari akarnya.

Inilah pemimpin artifisial sebab ia lahir dari manipulasi proses demokrasi yang dibajak sedemikian rupa sehingga memutus mata rantai keterkaitannya dengan rakyat. Pemimpin yang lahir dari perselingkuhan kaum plutokrat dengan politisi sehingga dedikasi tak pernah dialamatkan kepada rakyatnya karena kekuatan uang, pencitraan, bahkan represi dan intimidasi.

Mengikis politik parasit

Demokrasi adalah politik peluang. Secara prosedural, ia dapat melahirkan pemimpin formal artifisial yang menjadi parasit masyarakat. Namun, substansi dari demokrasi adalah kekuasaan dapat dikoreksi oleh setiap individu yang memiliki kesetaraan hak secara politik.

Warga di Provinsi Banten mungkin belum seberuntung warga di Kabupaten Bantaeng, Kota Surabaya, atau Provinsi DKI Jakarta. Di ketiga daerah itu, demokrasi melahirkan pemimpin yang berakar ke masyarakat. Mereka jeli mengenali kebutuhan warganya. Pos pada satu anggaran dipotong tidak untuk masuk ke kantong pribadi, tetapi untuk membiayai proyek yang lebih bersifat genting.

Birokrasi tidak dijejali mereka yang memiliki kesamaan suku atau agama, tetapi dirampingkan agar efisien atau dibuka kepada umum untuk mendapatkan yang terbaik. Pemimpin yang berakar dari rakyat memiliki legitimasi moral karena selalu mendahulukan kepentingan orang banyak.

Demokrasi juga membuka peluang bagi inisiatif warga. Pemimpin yang berakar kepada rakyat hanya muncul dalam sistem yang terbuka. Rekam jejak seorang calon pemimpin ditorehkan sejak ia mulai mengerjakan sesuatu bagi lingkungannya.

Kondisi ini tentu sukar terjadi pada sistem non-demokratis. Kebaikan bagi masyarakat dapat diwujudkan melalui inisiatif dari para pemimpin informal. Para pemimpin yang tulus bekerja dapat menginspirasi. Pemimpin yang menginspirasi dapat menggerakkan orang-orang di sekitarnya. Pengalaman ini yang dibagi koordinator Geng Motor Imut, Noverius Nggili.

Berawal dari krisis diri sebagai orang yang mengecap pendidikan perguruan tinggi, ia akhirnya dapat melihat potensi baik yang dapat dikerjakan bersama teman-temannya.

Dengan mengandalkan dana swadaya dari para simpatisan, ia bersama geng motornya sudah mengunjungi 64 desa di Nusa Tenggara Timur. Di sana mereka mengajarkan manajemen peternakan, pertanian organik, dan penggunaan energi terbarukan. Mereka mengembangkan kompor biogas, alat pengubah air laut jadi air tawar, pemanfaatan briket arang, dan sampah organik.

Pembiayaan dan pengembangan inovasi energi terbarukan tersebut menggunakan skema finansial mikro. Peran aktif warga semacam itu akan mengayak para pemimpin yang orisinal dari akarnya atau cangkokan lewat politik transaksional.

Sistem demokrasi memberi peluang bagi warga negara untuk mengakhiri kekuasaan politik parasit. Daerah yang mengalami krisis akibat politik korup dapat menumbuhkan inisiatif warga dan pemimpi-pemimpin baru yang otentik. Sistem politik lewat cara demokrasi bukanlah cek kosong. Ia bukan semata politik di balik bilik suara. Demokrasi berkualitas dan substantif memerlukan partisipasi terus-menerus semua warga negara.

Sekalipun pemimpin yang baik terpilih, dinamika warga untuk mau berpartisipasi dalam urusan publik harus terus ada. Melalui keterlibatan aktif, kader kepemimpinan tetap berlangsung. Namun, yang lebih penting adalah melembagakan hal-hal baik yang dikerjakan sang pemimpin yang berakar kepada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar