JIKA dibuat dalam babakan, sudah
sulit untuk menentukan kasus Century itu sesungguhnya sudah memasukkan
babakan apa.
Serialnya sudah terlalu banyak
dengan cerita yang nyaris berputar di masalah yang sama, antara hukum atau
politik. Yang banyak bersisa dan dipertontonkan saat ini sesungguhnya ialah
akrobat yang hanya diberi packaging hukum atau malah dianggap tipuan
politik.
Pemanggilan Boedino oleh Tim
Pengawas Century (Timwas) bentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga
sesungguhnya berkutat pada masalah yang kurang lebih sama. Timwas Centu
merasa berhak melakukan pemanggilan oleh karena DPR memiliki kewenangan
untuk memanggil orang maupun pejabat mana pun dalam hal dimintai
keterangan. keteranga Bahkan jika tidak datang, Timwas merasa memiliki ke
miliki kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk melaksanakan tindakan paksa
sebagaimana yang diatur di UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Kewenangan Timwas
Dalam konsep negara hukum, tidak
ada satu pun yang boleh melakukan suatu kuasa tanpa adanya basis kewenangan
hukum. Hanya dapat dikatakan berwenang, ketika memang memiliki kewenangan
untuk melakukan hal itu. Makanya, lahirlah teori tentang bagaimana
kewenangan itu bisa lahir, yakni secara atributif, distributif, ataupun
mandat.
Akan halnya Timwas Century, tim
ini lahir dari Sidang Paripurna DPR. Artinya, Timwas Century dan DPR
bukanlah lembaga yang sama dan identik. DPR mendapatkan kewenangan yang
teratribusi secara langsung kepada UUD `45 dan perundang-undangan lainnya,
sedangkan Timwas lahir dari bentukan Sidang Paripurna DPR. Kewenangannya
tentu juga jauh berbeda. DPR tentu memiliki kewenangan untuk semua hal yang
dimiliki karena teratribusi, sedangkan Timwas memiliki kewenangan
berdasarkan paripurna yang limitatif berdasarkan hal yang mau dimintakan
kepada Timwas oleh DPR.
Dalam keputusan Sidang Paripurna
DPR, kewenangan Timwas dengan jelas termaktub ten tang kewenangan untuk
melakukan pengawasan atas rekomendasi DPR perihal penanganan kasus Bank
Century, yang mana isinya telah menyerahkan prosesnya ke proses penegakan
hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kepolisian,
dan kejaksaan. Dengan kata lain, kewenangan Timwas ialah mengawasi
pelaksanaan penegakan hukum yang akan dilakukan oleh lembaga-lembaga
penegak hukum itu. Apalagi, dalam rekomendasi Pansus Century ketika itu
sudah dengan jelas menyebutkan bahwa Boediono adalah orang nomor wahid yang
harus bertanggung jawab di kasus Century.
Artinya, secara hukum, tidak
terlalu besar kemungkinan untuk dapat membenarkan tindakan pemanggilan oleh
Timwas Century, apalagi jika hingga mau melakukan tindakan paksa jika
Boediono menolak pemanggilan tersebut. Karena kewenangan Timwas Century
tidak lagi berada pada ranah permintaan keterangan yang berkaitan dengan
kasus Century, tetapi lebih pada keterangan soal penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparat penegakan hukum.
Terlebih, yang paling mengherankan
dari tindakan pemanggilan dan ancaman tindakan paksa ialah urgensi dan hal
apa yang mau didapatkan oleh Timwas Century dari Boediono. Bukankah DPR
sudah berkesimpulan soal Boediono bersalah dan harus bertanggung jawab, dan
karenanya menjadi bagian yang harus diperiksa oleh lembaga penegak hukum.
DPR yang sudah melahirkan kesimpulan Boediono harus bertanggung jawab dan
membentuk tim untuk hal itu. Timwas Century tentu saja tidak perlu
mengulangi hal itu karena sudah menjadi keputusan DPR.
Aborsi hak menyatakan pendapat
Pertanyaan sederhana nya,
bolehkah Timwas Century kemudian berbeda pendapat dengan rekomendasi DPR
soal kedudukan Boediono? Tentu tidak, karena Timwas hanyalah perpanjangan
tangan rekomendasi DPR dalam kaitan posisi Boediono di dalam skandal
Century. Karena itu, lagi-lagi sulit untuk mendapatkan alasan pembenar
perihal keterangan apa yang dimaui oleh Timwas Century atas Boediono ini.
Yang harus diingat juga oleh
publik ialah adanya partai tertentu yang sesungguhnya sangat terlihat
bermain-main dan tidak serius dalam penyelesaian skandal Century. Partai
tersebut seakan-akan menjadikan skandal Century menjadi `layangan politik'
yang menentukan ditarik atau direnggangkannya hanya akan mengikuti hasrat
politik. Sekadar membalik catatan kita ketika itu, yakni adanya pilihan
partai-partai tersebut untuk tidak melakukan hak menyatakan pendapat (HMP)
soal pelanggaran yang dilakukan oleh Boediono.
Padahal, UUD `45 secara jelas
menyebutkan bahwa dalam hal DPR menganggap telah terjadi pelanggaran hukum
semacam tindakan koruptif pada skandal Century yang dilakukan oleh presiden
dan/atau wakil presiden, maka terdapat adanya kewenangan DPR untuk
melanjutkannya ke proses pemakzulan via Mahkamah Konstitusi (MK). Jika
memang ada anggapan serius dan matang soal kesalahan yang dilakukan oleh
Boediono dan berakibat pada kerugian negara, menjadi perta nyaan yang
paling mendasar ialah mengapa HMP malah diboikot oleh partai-partai
tersebut.
Jangan-jangan, skandal Century
yang memang peristiwa hukum telah digan daikan menjadi komoditas politik
sehingga ketika akomodasi politik sudah terjadi, semisal dengan membentuk
Sekretariat Gabungan (Setgab) ketika itu, maka partai-partai ter tentu
tersebut sudah menarik diri dari proses HMP dan terjadi diri dari proses
HMP dan terjadi lah proses aborsi HMP. Proses yang sesungguhnya
konstitusional malah dinihilkan oleh tindakan partai-partai tertentu
tersebut.
Karena itu, jangan salahkan
publik jika mencurigai keinginan-keinginan pemanggilan atas Boediono
hanyalah `kayu bakar' politik yang ingin dinyalakan sebagai pemanasan
menuju kontestasi politik 2014. Jangan salahkan jika masyarakat akan
menjadi muak dengan tontonan politik karena yang dinanti-nantikan publik
ialah penyelesaian secara hukum yang elegan dan benar.
Kemungkinan deadlock
Masalahnya sekarang ialah apabila
kedua pendapat tersebut tidak bertemu. Antara perasaan memiliki kewenangan
Timwas Century dan keengganan Boediono untuk menghadiri pemanggilan
tersebut. Karena, kita sama sekali tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk
menyelesaikan sengketa kewenangan atau ketidakwenangan dalam hal ini. Kita
hanya memiliki mekanisme sengketa kewenangan antarlembaga negara yang
kewenangannya diberikan di UUD `45 yang akan dibawa ke MK untuk memutuskan
kewenangan atau ketidakwenangan. Itu pun seungguhnya tidak begitu pas karena
sengketa antara Boediono dan Timwas Century bukanlah sengketa kewenangan
yang diambil oleh salah satunya. Bahkan, perlu ada pengayaan wacana yang
mendalam untuk bisa mengatakan Boediono dan Timwas Century adalah lembaga
negara yang disebutkan di konstitusi dan karenanya dapat bersengketa di MK.
Jika mau menghindari kemungkinan
dead lock, memang harus ada keinginan Boediono maupun DPR untuk tidak
melanjutkan `pertikaian' tersebut di hadapan publik. Jika DPR mengatakan
bahwa pemanggilan itu untuk menggali hasil pemeriksaan KPK yang sudah
dilakukan atas Boediono yang mana ia kemudian melakukan konferensi pers,
rasanya tidak membutuhkan pemanggilan terbuka dalam tingkat sidang di DPR.
Bisa saja Timwas Century
melakukan apa yang sering mereka lakukan melalui silaturahim ke tokoh-tokoh
semisal Jusuf Kalla. Mengapa Timwas Century tidak menyambangi saja Istana
Wakil Presiden untuk saling berdiskusi atas konferensi pers yang dilakukan
Boediono? Hal itu sangat mungkin dilakukan dengan prasyarat Boediono juga
mau memahami bahwa ini sekadar permintaan silaturahim dan menceritakan
hal-hal yang berkaitan dengan apa yang ia sampaikan dalam konferensi pers.
Hal-hal itu akan jauh lebih
elegan dan meninggalkan kesan skandal Century hanya disajikan dalam rangka
memanaskan suhu politik 2014. Kesan yang harus segera dihilangkan karena
yang dinantikan ialah terselesaikannya secara hukum. Tindakan-tindakan yang
lebih layak, yakni mendorong proses politik ke arah hukum, merupakan
tindakan yang jauh lebih diinginkan saat ini. Salah satunya melalui proses
HMP untuk melayangkan pendapat DPR menuju ke MK.
Hari ini merupakan tahun kelima
perayaan Hari Antikorupsi, ketika kita masih berkutat pada hal yang sama
soal skandal Century. Jengah rasanya ketika kasus itu terus-menerus hanya
terlihat pada proses politik. Dorong segera dalam proses hukum, tanpa perlu
manuver pemanggilan, apalagi tindakan paksa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar