MEMBICARAKAN makanan di dalam
sampah seolah membicarakan sebuah ironi. Dengan mudah, kita melihat bahwa sementara sebagian di
antara masyarakat kita masih dengan perjuangan berat berusaha memenuhi
kebutuhan dasar akan pangan agar tidak kelaparan, di sisi yang lain
kita temukan konsumsi makanan yang berlebihan bahkan akhirnya terbuang dan
menjadi sampah. Hasil penelitian penulis tahun 2012 di perumahan kecil,
menengah, dan atas di Jakarta menunjukkan sekitar 50 persen di antara
sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta adalah sampah makanan, di antara 65
persen total sampah organik yang dihasilkan. Jika dihitung berdasarkan
produksi sampah penduduk Jakarta yang lebih kurang 1 kilogram/orang/hari,
jumlah sampah makanan per hari ialah sekitar 0,5 kilogram/orang.
Yang mengejutkan, makanan dalam
sampah itu sebagian besar berupa makanan yang pada awalnya layak konsumsi,
tetapi jumlahnya berlebih dan kemudian dibuang atau makanan yang
kualitasnya baik, tetapi disimpan dan pada akhirnya dibuang karena tak
dikonsumsi pada waktunya. Persentase makanan dalam sampah ini kian
meningkat mendekati 70 persen di lokasi timbulan sampah lain, seperti
apartemen kelas menengah dan atas serta kantin universitas di Jakarta.
Hasil penelitian 2013 bahkan
menunjukkan, jumlah sampah makanan terbuang di kantin salah satu
universitas besar di Jakarta mendekati 72 persen dari sampah yang ada.
Sebuah angka luar biasa untuk negara seperti Indonesia dengan penduduk di
bawah garis kemiskinan 11 persen. Sebagai pembanding, angka ini menyerupai
jumlah yang dibuang mahasiswa di Universitas McGill Kanada yang 0,5 kg-0,7
kg/orang/hari (Morin, 2003).
Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, sampah didefinisikan sebagai ’barang atau benda yang tidak
terpakai lagi atau juga berarti kotoran’, seperti kertas dan daun. Definisi
lain yang disampaikan oleh Kamus Istilah Lingkungan juga
memberikan arti yang tidak terlalu berbeda.
Bahkan United Nations Environment Programme (UNEP) mendefinisikan
sampah sebagai suatu obyek yang tidak diinginkan, dibutuhkan, atau digunakan
lagi oleh pemiliknya serta membutuhkan pengolahan dan pembuangan. Dari
beberapa sumber tersebut, sangat jelas ditunjukkan bahwa secara umum sampah
biasanya dianalogikan sebagai sesuatu yang sudah berkurang fungsi dan
manfaatnya.
Ironi sampah makanan
Kosseva (2013) menyebutkan bahwa
sampah makanan timbul karena sejumlah hal, dimulai dari saat panen,
pemrosesan, penyimpanan, transportasi, dan pada tingkatan konsumen. Ia juga
melaporkan bahwa secara global, memang terdapat kecenderungan peningkatan
jumlah makanan yang menjadi sampah di banyak negara (terutama di negara
maju). Sebagai gambaran, negara maju seperti Amerika Serikat menghasilkan
sampah makanan lebih kurang 34 juta ton per tahun dan hanya 3 persen dari
34 juta sampah makanan ini yang dimanfaatkan kembali.
Bahkan ironisnya, makanan yang
menjadi sampah di negara-negara maju 222 juta ton pada tahun 2012 adalah
setara dengan total produksi makanan yang dihasilkan negara-negara di
Sub-Sahara (230 juta ton). Ditinjau dari sisi teknis, data mengenai jumlah
makanan di dalam sampah biasanya penting digunakan para ahli untuk
menentukan proses lanjutan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan sampah
itu, seperti untuk makanan ternak dan pengomposan.
Sebuah pertanyaan besar muncul
mengenai mengapa begitu banyak makanan dibuang oleh masyarakat Jakarta?
Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang secara umum masih relatif rendah,
makanan yang terbuang jadi sampah persentasenya seharusnya kecil, bahkan
mendekati nol. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan gambaran tingginya
komposisi makanan dalam sampah sebenarnya mencerminkan banyak hal, seperti
pola konsumsi, tingkat ekonomi, dan juga perilaku masyarakat.
Di tengah kekhawatiran terkait
ketahanan pangan bangsa yang amat rawan, banyaknya penduduk di bawah garis
kemiskinan dengan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia, bahkan di
sekitar Jakarta; besarnya jumlah makanan dalam sampah menceritakan sebuah
ironi besar sebuah masyarakat. Untuk kondisi Jakarta, dalih bahwa makanan
itu menjadi sampah pada proses produksi dan lain-lain tidaklah tepat karena
sampel penelitian diambil pada tingkatan konsumen. Kuat dugaan yang terjadi
sebenarnya penyediaan makanan yang berlebih melampaui kebutuhan sehingga
makanan itu tak dikonsumsi pada waktunya dan terbuang begitu saja.
Rantai pemanfaatan makanan
kemudian berlanjut ke kelompok masyarakat bawah yang terpaksa memenuhi
kebutuhan akan makanan dari sumber lain, yaitu dari tong sampah kelompok
masyarakat lain yang lebih beruntung. Kisah dalam kitab suci agama Katolik
tentang Lazarus yang memunguti remah sisa sang bangsawan berulang kembali
dalam rentang waktu ribuan tahun kemudian.
Besarnya jumlah makanan dalam
sampah menjadi kenyataan yang semakin ironis ketika dikaitkan dengan
beragam bentuk kebudayaan kita yang menempatkan makanan sebagai bagian yang
suci dan harus dihormati. Bukankah agama apa pun mengajarkan kita berdoa
sebelum makan sebagai tanda syukur dan penghormatan pada yang akan kita
santap?
Paradigma 3R
Apakah persoalan banyaknya
makanan dalam sampah kita tak dapat dihindari? Dalam pengelolaan
persampahan dikenal paradigma reduce, reuse, recycle (3R). Reduce berarti sampah harus
benar-benar dikurangi dari sumber pembentukannya, kemudian diikuti reuse dan recycle yang berarti
memanfaatkan dan mendaur ulang kembali sampah yang sudah terbentuk.
Namun,
dalam hal makanan dalam sampah, secara khusus yang harus dilakukan adalah
mencegah sedapat mungkin terbuangnya makanan itu sendiri.
Tindakan ini tidak hanya secara
etika dan budaya menempatkan makanan pada titik yang tepat, tetapi sesungguhnya
juga menghemat berbagai sumber daya alam lain, seperti air, energi,
dan pupuk, yang digunakan selama proses produksi makanan tersebut. Dalam
sisi pemanfaatan makanan, nilai luhur para pendahulu kita menjadi sangat
penting untuk diterapkan dan diajarkan kembali seperti puasa dan pantang,
jangan menyisakan makanan apa pun di piring, berhenti makan sebelum
kenyang, mengambil secukupnya saja, dan rajin berbagi. Jadi, kita bisa
berharap satu hari bahwa Dewi Sri tidak menangis karena kita meninggalkan sebutir
nasi di piring seusai makan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar