Sabtu, 14 Desember 2013

Nalar dan Paradigma Baru Literasi

Nalar dan Paradigma Baru Literasi
Tati D Wardi  ;   Mahasiswi S-3 Kajian Literasi dan Sastra Anak,
Ohio State University, Columbus, AS
KOMPAS,  14 Desember 2013

  

DALAM beberapa tulisannya di Kompas, Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB, menekankan  pentingnya memperjuangkan pendidikan Indonesia yang berporos pada upaya menumbuhkan kemampuan nalar siswa.

Kemampuan ini mencakup daya berpikir logis, keterampilan mengolah informasi dari bacaan, dan kemampuan menyimpulkan dengan pemikiran sendiri. 
Dalam disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar seperti ditegaskan Pranoto itu sejatinya bertaut erat dengan literasi. Perlu dicatat, konsep literasi di sini tak lagi dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca tulis.

Dalam disiplin pendidikan, konsep literasi berkaitan dengan kemampuan memaknai teks seperti huruf, angka, dan simbol kultural seperti gambar dan sim- bol secara kritis. Namun, tak berhenti di situ, yang justru lebih penting, siswa dengan daya literasi tinggi mampu mengolah informasi dari teks yang dibacanya untuk kemudian menyimpulkan dan mengambil keputusan atas informasi itu.

Untuk bisa berdaya literasi tinggi,  siswa diandaikan bukan hanya bisa baca dan tulis, melainkan juga aktif dalam memaknai teks, mengerti fungsi penggunaannya, dan menganalisis teks secara kritis dan mentransformasikan penggunaannya.

Hak dasar manusia

Literasi dalam arti luas seperti ini sejatinya sudah cukup lama menjadi acuan UNESCO.  Ini bisa kita baca dari Literacy for Life, laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia. Di situ di- nyatakan, literasi adalah hak dasar manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan. Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, teknologi, aturan hukum, serta memanfaatkan kekayaan budaya dan daya guna media.  Singkatnya, literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Oleh sebab itu, ia merupakan sumbu pusaran pendidikan.

Namun, anehnya, pemerintah Indonesia justru belum beranjak dari paradigma lama literasi (populer pada dekade 1960-an) yang mendefinisikan literasi dengan kemampuan teknis membaca, menulis, dan berhitung.  Laporan peningkatan literasi Indonesia (sebagai bagian dari laporan literasi dunia UNESCO di atas) memaknai literasi sebagai semata- mata soal tren penurunan tingkat buta huruf Indonesia  seiring pemerataan pendidikan dasar.

Tampaknya paradigma lama literasi ini masih menjadi panduan dalam pengambilan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Akibatnya, kemampuan siswa Indonesia mengingat apa yang mereka baca, refleksikan, dan timbang secara kritis terbukti sangat rendah. Hasil literasi survei dunia PISA terakhir tahun 2009 menempatkan Indonesia di urutan ke-62 dari 72 negara, tertinggal jauh dari Thailand  (53) dan Malaysia (55).

Untuk mengatasi ketertinggalan ini, yang paling mendesak dilakukan adalah  revisi paradigma usang literasi dan menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan berliterasi di era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan gambar dari pelbagai penjuru.  Upaya strategis yang bisa kita lakukan menumbuhkan daya literasi Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan adalah dengan memulainya dari pendidikan di sekolah.

Negara dengan tingkat literasi tinggi seperti Finlandia, Jepang, dan Amerika Serikat secara sistematis menempatkan buku sebagai pusaran kegiatan pembelajaran. Di AS, misalnya, sejak jenjang pendidikan dini anak diperkenalkan dengan konsep buku dan berdialog dengan teks dan gambar. 

Dengan dibantu guru, sejak belia siswa dibiasakan bertanya, termasuk pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang buku. Mereka belajar berdialog dengan teks, bukan sekadar membaca sambil lewat.

Di jenjang SD, siswa dikondisi- kan belajar memperkaya kosaka- ta dan menumbuhkan daya analisis mereka menggunakan bacaan berjenjang yang disesuaikan dengan tingkat kognitif dan kematangan mereka. Bacaan berjenjang biasanya dibedakan seberapa kompleks bacaan, seperti kosakata, struktur, logika, dan konsep. Di tingkat menengah siswa akan terbiasa mendiskusikan buku beragam genre dan teks beragam bentuk (seperti digital) dengan tingkat kesulitan sesuai dengan yang diharapkan di perguruan tinggi atau dengan kebutuhan literasi ketika mereka terlibat langsung dengan masyarakat luas. Akhirnya keterbiasaan dengan buku akan menumbuhkan cinta mereka membaca.

Peran buku

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus di atas? Satu hal yang pasti: peningkatan literasi terkait erat dengan pengoptimalan peran buku. Fungsi buku dan teks bukan sekadar rujukan, melainkan juga medium berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna yang tak sekadar di permukaan.

Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis. Ini mengandaikan perlunya guru dipersiapkan menanamkan pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas, dan bagaimana siswa punya kesempatan meningkatkan daya literasi mereka di sekolah.

Pendidikan literasi butuh kesinambungan, dari jenjang  pendidikan dini hingga dewasa. Tak ada jalan pintas untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar