RENCANA Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta untuk melelang jabatan kepala sekolah mengundang pro dan kontra
di kalangan guru dan birokrat pendidikan.
Kecemasan dampak lelang
tampaknya menghinggapi para birokrat pendidikan dan kepala
sekolah yang sedang menjabat. Sebaliknya, optimisme dan harapan baru
justru muncul dari sebagian besar guru yang yakin lelang jabatan kepala
sekolah akan secara signifikan mendongkrak kualitas pendidikan di DKI
Jakarta. Persoalan pokok berkaitan dengan kepala sekolah selama ini
adalah tata cara perekrutan dan pengangkatan kepala sekolah melalui
penunjukan oleh kepala dinas pendidikan.
Kepala sekolah dan pengawas
sekolah adalah dua jabatan yang sewarna karena jabatan pengawas selama ini
juga didominasi mantan kepala sekolah. Peran kepala sekolah sangat besar,
memberi peluang dan bertindak sebagai penentu kunci seorang guru
meraih jabatan kepala sekolah. Guru kritis yang kerap mengevaluasi
kebijakan kepala sekolah dalam mengelola sekolah tertutup peluangnya
mendapat rekomendasi untuk menjadi calon kepala sekolah.
Guru kritis versus penurut
Dari beragam pengalaman dapat disimpulkan,
guru berkarakter penurut, tidak mempermasalahkan kebijakan kepala sekolah
yang cenderung sering melanggar peraturan, akan berpeluang besar dapat
rekomendasi sebagai calon kepala sekolah dari kepala sekolah tempat si guru
tersebut bertugas. Sebaliknya, guru yang kerap mengkritik kebijakan sekolah
dan ketaktransparanan di sekolah tertutup peluangnya dapat rekomendasi.
Selama ini, ada sejumlah masalah
dalam jabatan kepala sekolah yang terjadi hampir di seluruh Indonesia.
Pertama, tata cara pengangkatan kepala sekolah yang prosedurnya tak
melibatkan pihak luar atau lembaga yang diperkirakan independen, semisal
dewan pendidikan, dapat ditafsir proses dan hasil perekrutannya tidak lagi
didasarkan pada pertimbangan obyektif, tetapi yang dominan adalah pertimbangan
subyektif.
Kedua, masalah antre calon
kepala sekolah yang terlalu panjang di level kepala SMA. Akibat daftar
antre yang terlalu panjang, ada calon yang sudah memasuki masa pensiun
tidak kebagian menjadi kepala sekolah. Pertanyaan setiap orang adalah
mengapa Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengambil kebijakan mengadakan atau
membuat daftar antre yang terlalu panjang? Alhasil, bagaikan antre yang
terlalu panjang saat akan memperoleh tiket kereta api, lahirlah calo yang
menawarkan kemudahan: Anda tidak perlu antre, tetapi harga tiket agak
sedikit mahal. Bahkan ada yang tidak sabar antre mencari calo tiket lain
walau harganya sangat mahal.
Informasi yang dihimpun Forum
Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) menyebutkan, lama antre bagi calon kepala
sekolah di DKI Jakarta 2 tahun hingga 10 tahun. Di SMA Negeri 50, misalnya,
hingga pensiun sang calon tak kebagian menjadi kepala sekolah. Di SMA
Negeri 5, calon kepala sekolah yang antre harus menanti menjadi kepala
sekolah selama delapan tahun. Sementara di SMA Negeri 59, akibat kelamaan
waktu antre, tugas menjadi kepala sekolah hanya dijalani tiga tahun
langsung pensiun.
Padahal, sesuai Permendiknas
Nomor 28 Tahun 2010, Pasal 3 Ayat (2), waktu antre yang dimulai dari tahap
persiapan sampai pengangkatan dan penempatan calon menjadi kepala sekolah
hitungan waktunya selama dua tahun. Daftar antrean calon kepala
sekolah menjadi kepala sekolah melebihi waktu dua tahun merupakan bentuk
pelanggaran hukum. Selain itu, juga berdampak psikologis yang menekan calon
kepala sekolah antrean. Selama ini kuat dugaan, untuk jadi kepala sekolah
kuncinya adalah ada yang membawa dan harus ada yang dibawa.
Ketiga, masalah kepala sekolah
yang diparkir, yakni kepala sekolah yang sudah menjalani tugas selama dua
periode (delapan tahun). Mereka ini masuk dalam daftar parkir untuk menjadi
kepala sekolah pada periode ketiga, dengan waktu parkir 6 bulan-24 bulan.
Kepala sekolah yang diparkir ini menimbulkan beban psikologis dan dapat
memperkecil peluang calon kepala sekolah antre untuk menjadi kepala
sekolah. Contoh kasus, mantan Kepala SMA Negeri 13, Jakarta Utara, yang
diparkir tiga bulan kemudian diangkat lagi menjadi kepala sekolah di SMA
Negeri 111 Jakarta Utara. Padahal, yang bersangkutan tak punya prestasi
menonjol saat memimpin sekolah sebelumnya.
Sekolah unggul vs reguler
Keempat, masalah penempatan
kepala sekolah. Publik tak tahu dasar dan kriteria seorang calon
kepala sekolah ditempatkan di suatu sekolah, Akhirnya setiap orang berpikir
jika ditempatkan menjadi kepala sekolah di sekolah yang unggul (favorit),
kemungkinan calon kepala sekolah berkompetensi tinggi. Dugaan yang
mendekati kepastian, semakin besar kompetensi yang dimiliki seorang calon,
ia akan dihadiahi bertugas jadi kepala sekolah di sekolah unggulan.
Seharusnya, yang jadi harapan
publik adalah semakin rendah tipe sekolah, semakin membutuhkan calon yang
berkompetensi tinggi. Dengan begitu, barulah dapat terjadi perubahan di
suatu sekolah, yaitu terangkatnya tipe sekolah dari semula bertipe reguler
jadi sekolah bertipe unggul. Kalau calon kepala sekolah berkompetensi
tinggi ditempatkan di sekolah unggulan, keadaan seperti ini membuat kepala
sekolah tak kreatif karena tidak ada tantangan. Tanpa kerja keras pun ia
akan diuntungkan karena kondisi sekolah yang sudah sempurna
Kelima, masalah mutasi kepala
sekolah. Dinas Pendidikan DKI Jakarta diduga tidak memiliki dasar,
kriteria, dan peta acuan memutasi kepala sekolah. Sebagai contoh Kepala SMA
Negeri 100 didesak dimutasi, padahal sisa waktu berdinas tinggal setahun
karena memasuki usia pensiun. Sementara Kepala SMA Negeri 113
dipindahtugaskan ke SMA Negeri 100 walau sisa waktu berdinas tinggal satu
tahun lagi karena juga memasuki usia pensiun. Pertimbangan mutasi seperti
ini sungguh tidak mempertimbangkan efektivitas serta hasil pencampaian
program pengelolaan sekolah.
Lelang jabatan kepala
sekolah adalah salah satu langkah Pemprov DKI Jakarta mengatasi kelima
permasalahan tersebut. Lelang mendesak dilakukan karena hendak mendongkrak
kualitas pendidikan di DKI Jakarta langsung ke akar masalahnya.
Kualitas kepala sekolah sangat
menentukan kemajuan suatu sekolah mengingat salah satu fungsi kepala
sekolah adalah penjaga mutu. Melalui lelang jabatan ini, diharapkan
DKI Jakarta dapat kepala-kepala sekolah berkualitas guna mendorong
peningkatan kualitas sekolah di DKI Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar