PEMERINTAH sekarang ini belum
mengambil tindakan mendasar untuk menghadapi masalah ekonomi nasional yang
semakin sulit di masa depan. Entah apa yang mereka maksud, pemerintah
selalu mendengungkan bahwa fundamental ekonomi kita cukup kuat untuk
menghadapi krisis global.
Di masa depan itu, Indonesia
akan menghadapi setidaknya empat masalah regional dan internasional.
Pertama, berakhirnya boom atau kenaikan harga komoditas primer
yang merupakan porsi terbesar dari ekspor kita. Kedua, pemulangan TKI dari
luar negeri yang mengurangi kiriman mereka ke kampung halaman (remittances)
dan sekaligus menimbulkan persoalan baru di dalam negeri karena
keterbatasan lapangan kerja.
Media massa telah memberitakan
bahwa ribuan TKI tinggal di kolong jembatan di Jeddah menunggu deportasi
pulang ke Tanah Air. Di Malaysia, ratusan TKI terancam dihukum di tiang
gantungan karena tuduhan perbuatan kriminal. Kiriman TKI merupakan sumber
pembelanjaan konsumsi barang tahan lama (durable goods) seperti untuk
membeli sepeda motor, ponsel, atau rumah di daerah asalnya.
Masalah ketiga adalah
peningkatan tingkat suku bunga internasional berkaitan dengan pengurangan
ataupun penghentian kebijakan pemompaan likuiditas (quantitative easing)
oleh bank sentral Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Tujuannya adalah
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi negara-negara maju itu melalui
penurunan tingkat suku bunga. Perbedaan yang mencolok antara tingkat suku
bunga di Indonesia dan di pasar dunia telah mendorong terjadinya aliran
modal jangka pendek ke Indonesia.
Dewasa ini, modal asing jangka
pendek tersebut merupakan sumber utama likuiditas di bursa efek karena
menguasai kira-kira sepertiga dari transaksi pasar: obligasi dan SBI maupun
saham. Aliran modal ke luar negeri akan menurunkan harga efek-efek yang
merupakan aset lembaga-lembaga keuangan kita sehingga mengganggu kecukupan
modal (capital adequacy ratio/CAR) dan rasio kredit bermasalah
(non-performing loan/NPL) perbankan dan mengempaskan industri reksa
dana yang kegiatan usahanya adalah memperjualbelikan surat-surat berharga.
Kebijakan ecek-ecek
Ketiga hal tersebut—boom komoditas
primer, remittances, dan pemasukan modal jangka pendek adalah
merupakan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam era
Reformasi, sejak berakhirnya krisis ekonomi tahun 1997. Hal yang keempat
adalah belum adanya kesiapan Indonesia untuk memasuki komunitas ekonomi ASEAN
yang akan dimulai pada tahun 2015. Jika tetap tidak ada perbaikan,
pemerintah sekarang ini diperkirakan akan mewariskan masalah ekonomi yang
sulit bagi pemerintah baru yang akan dipilih pada tahun 2014.
Tanda-tanda tertatih-tatihnya
mesin pertumbuhan ekonomi kita sudah mulai terasa sejak krisis tahun 2008
untuk sektor keuangan dan berakhirnya boom komoditas primer sejak
akhir tahun 2011. Namun, tindakan yang telah dilakukan pemerintah hanya
bersifat ecek-ecek, terutama di sektor moneter dan fiskal.
Tindakan ecek-ecek itu adalah
dengan terus-menerus meningkatkan tingkat suku bunga acuan, menjual
cadangan devisa, mengurangi kemampuan bank menciptakan kredit, membatasi
kredit untuk sektor perumahan serta real estat ataupun konsumsi. BI dan
pemerintah menambah pemasukan modal dan menguatkan cadangan devisa melalui
utang baru, baik berupa fasilitas currency swap facility dari
sejumlah negara, pinjaman siaga, serta penjualan SUN di pasar dunia,
mengintrodusir SBI dengan tenor 1 tahun, meminjam dari ADB, Bank Dunia,
Jepang, dan Australia yang tengah cekcok dengan kita dewasa ini.
Di sektor fiskal, pemerintah
tetap berpegang pada resep IMF 1997-2003 untuk menjaga rasio defisit APBN
sekitar 2 persen dari PDB dan rasio jumlah utang negara di bawah 30 persen
terhadap PDB. Kebijakan moneter dan fiskal seperti ini memang dapat menjaga
inflasi, tapi pemerintah tak punya cukup anggaran untuk mengatasi hambatan
(bottlenecks) pembangunan. Hingga kini, belum ada kebijakan struktural
pemerintah untuk menggantikan komoditas primer yang nilai ekspornya
mengalami penurunan, dengan komoditas lain, misalnya industri pengolahan.
Kebolehan pemerintah hanya sekadar menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan
sejumlah konferensi internasional, seperti APEC dan WTO, yang tidak terasa
manfaatnya bagi rakyat. Setelah berakhirnya konferensi itu, petani sayur
dan buah dari Padang Panjang, Sumatera Barat, dan Tanah Karo, Sumatera
Utara, tetap tidak bisa masuk pasar Malaysia dan Singapura walaupun
jaraknya hanya 30 menit penerbangan.
Yang digalakkan oleh pemerintah
adalah justru industri peleburan hasil semua pertambangan tanpa kecuali dan
tanpa menghitung nilai ekonomisnya. Padahal, setiap komoditas tambang
memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Selain memerlukan banyak energi
listrik, pada umumnya, industri peleburan hasil pertambangan sekaligus
memerlukan teknisi yang canggih untuk mengoperasikan dan mengelolanya serta
ahli pemasaran internasional. Dewasa ini, tenaga ahli seperti ini masih
sangat langka di Indonesia.
Lembaga keuangan
Untuk meningkatkan efisiensi
perbankan dan menurunkan tingkat suku bunga, India telah meningkatkan
persaingan pasar perbankannya dengan membuka lebih lebar pasar industri
keuangannya pada partisipasi bank asing. India sekaligus memangkas proteksi
yang berlebihan pada bank-bank negara.
Indonesia justru menjalankan
kebijakan yang terbalik. Pembelian porsi saham lebih besar Bank Danamon
oleh Development Bank of Singapore diblok oleh BI karena dianggap terlalu
besar porsi asing pada pasar perbankan Indonesia.
Padahal, porsi asing yang
besar itu akibat ulah pemerintah juga. Setelah krisis tahun 1997, peranan
pemodal asing meningkat karena tidak ada pemodal nasional yang memenuhi
syarat dan mampu membeli bank yang dikuasai BPPN. Setelah itu, BI tetap
mempertahankan kelangsungan hidup bank-bank kecil dalam arsitektur
perbankannya. Bank-bank kecil tersebut kemudian menjadi sasaran empuk bagi
pemodal asing untuk masuk pada pasar perbankan Indonesia.
Pemerintah tetap mempertahankan
monopoli kelompok bank negara pada kekayaan finansial pemerintah dan BUMN
serta penyimpanan kekayaan keuangan pemda dan BUMD pada BPD. Persaingan
pasar yang distortif seperti itu justru telah membuat perbedaan antara
tingkat suku bunga kredit dan deposito pada industri perbankan di Indonesia
merupakan yang tertinggi di lima negara pendiri ASEAN. Pada gilirannya,
tingkat suku bunga kredit yang lebih tinggi di Indonesia telah mengurangi
daya saing perusahaan kita. Kelompok bank-bank negara tersebut memiliki
biaya dana yang sangat rendah dan meminjamkannya dengan tingkat suku bunga
yang tinggi.
Di dalam negeri, perbedaan bunga
deposito dan pinjaman adalah lebih tinggi pada bank-bank negara
dibandingkan dengan pada bank-bank asing ataupun bank swasta nasional
seperti BCA. Keuntungan bank-bank BUMN dan BPD adalah bersumber dari hak
monopoli itu dan bukan karena persaingan yang sehat. Entah apa maksudnya
menyebut bank BUMN dan BPD sebagai agen pembangunan (agent of development).
Untuk mengurangi ketergantungan
pada modal asing jangka pendek, Menteri BUMN perlu belajar ke Singapura,
Jepang, dan Eropa bagaimana membangun PT Pos menjadi Bank Tabungan Pos
(BTP) dan menjual polis asuransi kepada masyarakat kecil serta membuatnya
menjadi perusahaan logistik dan bukan hotel seperti sekarang ini. Di
sejumlah negara, seperti Jepang, dana BTP digunakan untuk menyerap SUN.
Selain memobilisasi dana, pembangunan BTP sekaligus merupakan bagian dari
upaya memperkenalkan lembaga keuangan modern pada wong cilik (financial
inclusion).
Modal asing
Juga tidak ada kebijakan
mendasar pemerintah bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan di dalam
negeri untuk mengurangi migrasi TKI menjadi buruh kasar ke seluruh dunia,
tanpa pendidikan dan keahlian dan tidak menguasai bahasanya. China yang
merupakan negara komunis dan lebih nasionalistis daripada kita membuka
pasarnya pada pemasukan modal asing untuk menciptakan lapangan kerja bagi
rakyatnya, melakukan alih teknologi, membuka pasar ekspor, dan meningkatkan
penerimaan negara dari pajak. Sebagian terbesar dari ekspor komoditas
industri negara itu adalah produksi modal asing dan bukan produksi BUMN.
Di tengah situasi di mana
Indonesia memerlukan modal asing, pemerintah justru ingin menasionalisasi
PT Inalum tanpa kesiapan dana ataupun sumber daya manusia. Alasannya,
antara lain, karena pemerintah curiga terhadap laporan perusahaan itu yang
terus merugi. Pertanyaannya, apa kerja komisaris dan direksi yang ditunjuk
mewakili Pemerintah RI selama 30 tahun terakhir?
Pada hakikatnya, PT Inalum
melebur biji bauksit yang didatangkan dari Amerika Selatan dan Australia
yang kemudian menjual blok atau ingot aluminium ke pasar dunia, terutama ke
Jepang. PT Inalum hanya memanfaatkan listrik murah tenaga air (hydro) dari
air terjun Si Gura-gura dan Tangga. Proyek yang sama juga ada di Brasil
menggunakan tenaga listrik dari air terjun Itaipu. Menteri BUMN dan Dirut
PLN merasa cemburu, tapi tidak punya kemampuan teknis dan keuangan untuk
memanfaatkan sendiri tenaga air terjun di Sungai Asahan yang bersumber dari
Danau Toba itu. Secara teknis dan keuangan pun, PLN tidak mampu memasang
generator persis di samping generator milik PT Inalum. Karena salah
pembinaan, tidak satu pun di antara BUMN dan BUMD kita yang dapat bersaing
dengan BUMN Malaysia dan Singapura.
Dalam rangka nasionalisasi PT
Inalum ada wacana yang sangat berbahaya yang menganjurkan agar pemda
kabupaten dan kota se-Sumatera Utara mengambil alih 30 persen saham PT
Inalum dengan pembiayaan kredit komersial sebesar 518 juta dollar AS dari
dua bank asing, yakni Deutsche Bank dan BNP Paribas. Wacana seperti sangat
berbahaya karena mengurus hotel Darma Deli warisan dari Belanda saja pun
pemda Sumut tidak bisa, seperti Hotel Indonesia yang kini diserahkan
pengurusannya kepada PT Jarum. Kecuali Kota Medan dan beberapa kabupaten di
eks karesidenan Sumatera Timur adalah daerah miskin yang kelangsungan
hidupnya bergantung pada dana alokasi khusus dari pemerintah pusat.
Sumatera Timur lebih kaya karena
merupakan lokasi perkebunan bekas milik Belanda yang telah dinasionalisasi.
Cara pengambilalihan perusahaan asing, dengan harga murah, melalui tekanan
politik seperti pada PT Inalum merupakan pengulangan praktik KKN Orde Baru
yang juga telah terjadi di PT Kaltim Prima Coal (KPC), tambang batu bara di
Kalimantan Timur, serta PT Newmont Nusa Tenggara, tambang emas di NTB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar