Kamis, 05 Desember 2013

Menyongsong Masa Sulit

Menyongsong Masa Sulit
Anwar Nasution  ;   Guru Besar FEUI
KOMPAS,  05 Desember 2013

  

PEMERINTAH sekarang ini belum mengambil tindakan mendasar untuk menghadapi masalah ekonomi nasional yang semakin sulit di masa depan. Entah apa yang mereka maksud, pemerintah selalu mendengungkan bahwa fundamental ekonomi kita cukup kuat untuk menghadapi krisis global.
Di masa depan itu, Indonesia akan menghadapi setidaknya empat masalah regional dan internasional. Pertama, berakhirnya boom atau kenaikan harga komoditas primer yang merupakan porsi terbesar dari ekspor kita. Kedua, pemulangan TKI dari luar negeri yang mengurangi kiriman mereka ke kampung halaman (remittances) dan sekaligus menimbulkan persoalan baru di dalam negeri karena keterbatasan lapangan kerja.

Media massa telah memberitakan bahwa ribuan TKI tinggal di kolong jembatan di Jeddah menunggu deportasi pulang ke Tanah Air. Di Malaysia, ratusan TKI terancam dihukum di tiang gantungan karena tuduhan perbuatan kriminal. Kiriman TKI merupakan sumber pembelanjaan konsumsi barang tahan lama (durable goods) seperti untuk membeli sepeda motor, ponsel, atau rumah di daerah asalnya.

Masalah ketiga adalah peningkatan tingkat suku bunga internasional berkaitan dengan pengurangan ataupun penghentian kebijakan pemompaan likuiditas (quantitative easing) oleh bank sentral Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Tujuannya adalah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi negara-negara maju itu melalui penurunan tingkat suku bunga. Perbedaan yang mencolok antara tingkat suku bunga di Indonesia dan di pasar dunia telah mendorong terjadinya aliran modal jangka pendek ke Indonesia.

Dewasa ini, modal asing jangka pendek tersebut merupakan sumber utama likuiditas di bursa efek karena menguasai kira-kira sepertiga dari transaksi pasar: obligasi dan SBI maupun saham. Aliran modal ke luar negeri akan menurunkan harga efek-efek yang merupakan aset lembaga-lembaga keuangan kita sehingga mengganggu kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) dan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan dan mengempaskan industri reksa dana yang kegiatan usahanya adalah memperjualbelikan surat-surat berharga.

Kebijakan ecek-ecek

Ketiga hal tersebut—boom komoditas primer, remittances, dan pemasukan modal jangka pendek adalah merupakan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam era Reformasi, sejak berakhirnya krisis ekonomi tahun 1997. Hal yang keempat adalah belum adanya kesiapan Indonesia untuk memasuki komunitas ekonomi ASEAN yang akan dimulai pada tahun 2015. Jika tetap tidak ada perbaikan, pemerintah sekarang ini diperkirakan akan mewariskan masalah ekonomi yang sulit bagi pemerintah baru yang akan dipilih pada tahun 2014.

Tanda-tanda tertatih-tatihnya mesin pertumbuhan ekonomi kita sudah mulai terasa sejak krisis tahun 2008 untuk sektor keuangan dan berakhirnya boom komoditas primer sejak akhir tahun 2011. Namun, tindakan yang telah dilakukan pemerintah hanya bersifat ecek-ecek, terutama di sektor moneter dan fiskal.

Tindakan ecek-ecek itu adalah dengan terus-menerus meningkatkan tingkat suku bunga acuan, menjual cadangan devisa, mengurangi kemampuan bank menciptakan kredit, membatasi kredit untuk sektor perumahan serta real estat ataupun konsumsi. BI dan pemerintah menambah pemasukan modal dan menguatkan cadangan devisa melalui utang baru, baik berupa fasilitas currency swap facility dari sejumlah negara, pinjaman siaga, serta penjualan SUN di pasar dunia, mengintrodusir SBI dengan tenor 1 tahun, meminjam dari ADB, Bank Dunia, Jepang, dan Australia yang tengah cekcok dengan kita dewasa ini.

Di sektor fiskal, pemerintah tetap berpegang pada resep IMF 1997-2003 untuk menjaga rasio defisit APBN sekitar 2 persen dari PDB dan rasio jumlah utang negara di bawah 30 persen terhadap PDB. Kebijakan moneter dan fiskal seperti ini memang dapat menjaga inflasi, tapi pemerintah tak punya cukup anggaran untuk mengatasi hambatan (bottlenecks) pembangunan. Hingga kini, belum ada kebijakan struktural pemerintah untuk menggantikan komoditas primer yang nilai ekspornya mengalami penurunan, dengan komoditas lain, misalnya industri pengolahan. Kebolehan pemerintah hanya sekadar menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan sejumlah konferensi internasional, seperti APEC dan WTO, yang tidak terasa manfaatnya bagi rakyat. Setelah berakhirnya konferensi itu, petani sayur dan buah dari Padang Panjang, Sumatera Barat, dan Tanah Karo, Sumatera Utara, tetap tidak bisa masuk pasar Malaysia dan Singapura walaupun jaraknya hanya 30 menit penerbangan.

Yang digalakkan oleh pemerintah adalah justru industri peleburan hasil semua pertambangan tanpa kecuali dan tanpa menghitung nilai ekonomisnya. Padahal, setiap komoditas tambang memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Selain memerlukan banyak energi listrik, pada umumnya, industri peleburan hasil pertambangan sekaligus memerlukan teknisi yang canggih untuk mengoperasikan dan mengelolanya serta ahli pemasaran internasional. Dewasa ini, tenaga ahli seperti ini masih sangat langka di Indonesia.

Lembaga keuangan

Untuk meningkatkan efisiensi perbankan dan menurunkan tingkat suku bunga, India telah meningkatkan persaingan pasar perbankannya dengan membuka lebih lebar pasar industri keuangannya pada partisipasi bank asing. India sekaligus memangkas proteksi yang berlebihan pada bank-bank negara.
Indonesia justru menjalankan kebijakan yang terbalik. Pembelian porsi saham lebih besar Bank Danamon oleh Development Bank of Singapore diblok oleh BI karena dianggap terlalu besar porsi asing pada pasar perbankan Indonesia. 

Padahal, porsi asing yang besar itu akibat ulah pemerintah juga. Setelah krisis tahun 1997, peranan pemodal asing meningkat karena tidak ada pemodal nasional yang memenuhi syarat dan mampu membeli bank yang dikuasai BPPN. Setelah itu, BI tetap mempertahankan kelangsungan hidup bank-bank kecil dalam arsitektur perbankannya. Bank-bank kecil tersebut kemudian menjadi sasaran empuk bagi pemodal asing untuk masuk pada pasar perbankan Indonesia.

Pemerintah tetap mempertahankan monopoli kelompok bank negara pada kekayaan finansial pemerintah dan BUMN serta penyimpanan kekayaan keuangan pemda dan BUMD pada BPD. Persaingan pasar yang distortif seperti itu justru telah membuat perbedaan antara tingkat suku bunga kredit dan deposito pada industri perbankan di Indonesia merupakan yang tertinggi di lima negara pendiri ASEAN. Pada gilirannya, tingkat suku bunga kredit yang lebih tinggi di Indonesia telah mengurangi daya saing perusahaan kita. Kelompok bank-bank negara tersebut memiliki biaya dana yang sangat rendah dan meminjamkannya dengan tingkat suku bunga yang tinggi.

Di dalam negeri, perbedaan bunga deposito dan pinjaman adalah lebih tinggi pada bank-bank negara dibandingkan dengan pada bank-bank asing ataupun bank swasta nasional seperti BCA. Keuntungan bank-bank BUMN dan BPD adalah bersumber dari hak monopoli itu dan bukan karena persaingan yang sehat. Entah apa maksudnya menyebut bank BUMN dan BPD sebagai agen pembangunan (agent of development).

Untuk mengurangi ketergantungan pada modal asing jangka pendek, Menteri BUMN perlu belajar ke Singapura, Jepang, dan Eropa bagaimana membangun PT Pos menjadi Bank Tabungan Pos (BTP) dan menjual polis asuransi kepada masyarakat kecil serta membuatnya menjadi perusahaan logistik dan bukan hotel seperti sekarang ini. Di sejumlah negara, seperti Jepang, dana BTP digunakan untuk menyerap SUN. Selain memobilisasi dana, pembangunan BTP sekaligus merupakan bagian dari upaya memperkenalkan lembaga keuangan modern pada wong cilik (financial inclusion).

Modal asing

Juga tidak ada kebijakan mendasar pemerintah bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri untuk mengurangi migrasi TKI menjadi buruh kasar ke seluruh dunia, tanpa pendidikan dan keahlian dan tidak menguasai bahasanya. China yang merupakan negara komunis dan lebih nasionalistis daripada kita membuka pasarnya pada pemasukan modal asing untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, melakukan alih teknologi, membuka pasar ekspor, dan meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Sebagian terbesar dari ekspor komoditas industri negara itu adalah produksi modal asing dan bukan produksi BUMN.

Di tengah situasi di mana Indonesia memerlukan modal asing, pemerintah justru ingin menasionalisasi PT Inalum tanpa kesiapan dana ataupun sumber daya manusia. Alasannya, antara lain, karena pemerintah curiga terhadap laporan perusahaan itu yang terus merugi. Pertanyaannya, apa kerja komisaris dan direksi yang ditunjuk mewakili Pemerintah RI selama 30 tahun terakhir?

Pada hakikatnya, PT Inalum melebur biji bauksit yang didatangkan dari Amerika Selatan dan Australia yang kemudian menjual blok atau ingot aluminium ke pasar dunia, terutama ke Jepang. PT Inalum hanya memanfaatkan listrik murah tenaga air (hydro) dari air terjun Si Gura-gura dan Tangga. Proyek yang sama juga ada di Brasil menggunakan tenaga listrik dari air terjun Itaipu. Menteri BUMN dan Dirut PLN merasa cemburu, tapi tidak punya kemampuan teknis dan keuangan untuk memanfaatkan sendiri tenaga air terjun di Sungai Asahan yang bersumber dari Danau Toba itu. Secara teknis dan keuangan pun, PLN tidak mampu memasang generator persis di samping generator milik PT Inalum. Karena salah pembinaan, tidak satu pun di antara BUMN dan BUMD kita yang dapat bersaing dengan BUMN Malaysia dan Singapura.

Dalam rangka nasionalisasi PT Inalum ada wacana yang sangat berbahaya yang menganjurkan agar pemda kabupaten dan kota se-Sumatera Utara mengambil alih 30 persen saham PT Inalum dengan pembiayaan kredit komersial sebesar 518 juta dollar AS dari dua bank asing, yakni Deutsche Bank dan BNP Paribas. Wacana seperti sangat berbahaya karena mengurus hotel Darma Deli warisan dari Belanda saja pun pemda Sumut tidak bisa, seperti Hotel Indonesia yang kini diserahkan pengurusannya kepada PT Jarum. Kecuali Kota Medan dan beberapa kabupaten di eks karesidenan Sumatera Timur adalah daerah miskin yang kelangsungan hidupnya bergantung pada dana alokasi khusus dari pemerintah pusat.

Sumatera Timur lebih kaya karena merupakan lokasi perkebunan bekas milik Belanda yang telah dinasionalisasi. Cara pengambilalihan perusahaan asing, dengan harga murah, melalui tekanan politik seperti pada PT Inalum merupakan pengulangan praktik KKN Orde Baru yang juga telah terjadi di PT Kaltim Prima Coal (KPC), tambang batu bara di Kalimantan Timur, serta PT Newmont Nusa Tenggara, tambang emas di NTB.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar