BEBERAPA
kejadian terkini membuat banyak orang sampai pada kesimpulan revolusi
diperlukan.
Pemerintah dipandang sudah tidak
efektif, perkembangan politik tak tentu arah, rupiah melemah, penggawa
hukum tertinggi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi
kehilangan marwah, dan pemerintah dilecehkan pula oleh negara tetangga. Apa
lagi yang tersisa kecuali semangat massa yang siap dibakar?
Penyadaran
Bagi orang yang sehari-hari
bergelut dalam persoalan kenegaraan tentu mafhum belaka bahwa kesimpulan
itu tidak berlebihan. Ada kekecewaan yang lahir tak lama setelah Reformasi.
Terus membesar karena politik menyimpang dari cita-cita, perbaikan ekonomi
tak menyentuh sebagian besar warga, dan para pemimpin makin terlihat
individualis. Rakyat kehilangan harapan.
Namun, harapan pulalah yang
sesungguhnya melandasi kesimpulan itu sehingga kita bisa mengatakan bahwa
harapan terhadap perbaikan negeri ini sesungguhnya masih sangat besar di
balik semua suara yang pesimis. Revolusi hanyalah sebuah jalan. Arahnya
sulit diprediksi. Pemilu juga sebuah jalan. Dengan perencanaan dan kendali
yang lebih jelas. Dalam seluruh konteks ini, Pemilu 2014 jadi sangat
menentukan.
Penyadaran pemilih selalu
penting menjelang pemilu. Mereka kunci utama pemimpin dan politik
pascapemilu. Calon pemilih perlu disadarkan bahwa kondisi negara bisa
genting apabila pilihan mereka masih berfokus pada unsur kedekatan,
kekeluargaan, dan popularitas. Sudah cukup pelajaran. Ini bukan hanya
menyangkut calon presiden untuk menghindarkan terpilihnya presiden yang
lemah dan individualis, melainkan juga legislatif perwakilan rakyat dan perwakilan
daerah (DPD).
Wawasan kebangsaan dan bela
negara yang sederhana bisa sangat membantu. Pemilih perlu mencermati
kemampuan calonnya menyelesaikan berbagai dimensi masalah. Kedaerahan,
budaya, politik, ekonomi, sosial, dan batas-batas negara yang menentukan
perwujudan kedaulatan. Presiden dan politisi mendatang mesti menguasai
masalah ini dan mempunyai tekad mempertahankan format keindonesiaan yang
kuat.
Cara paling mudah adalah melihat
dari perspektif konstitusi, yang merupakan dasar perjuangan dan aktivitas
politik. Pemilih perlu mendapatkan akses dan rangsangan membaca pasal-pasal
dalam UUD 1945. Sosialisasi mengenai masalah ini mestinya menjadi tanggung
jawab dan agenda lembaga penyelenggara pemilu.
Demikian juga dengan para calon.
Semua perlu mendapat pengetahuan konstitusi yang cukup agar konstitusi
menjadi pegangan utama, pedoman dalam politik dan penyelenggaraan negara.
Parpol punya kewajiban memastikan kadernya mendapat pembekalan yang
memadai. Lembaga penyelenggara pemilu bertanggung jawab terhadap para calon
anggota DPD yang nonpartisan.
Pemilu dan perubahan
Pemilu 2014 sesungguhnya
merupakan saat yang tepat untuk mempertahankan atau mengganti para pelaku
politik dan menyempurnakan sistem. Orang- orang ditentukan oleh para
pemilih. Sistem ditentukan oleh orang-orang yang terpilih dan
gagasan-gagasan yang ditawarkan. Pemilu mestinya menjadi alat yang tepat
untuk mengawali perbaikan konstitusi, sejalan dengan pemikiran modern yang
mengharuskan konstitusi menjadi living and working constitution.
Untuk kondisi negara yang telah
membuat sebagian orang berpikir sudah saatnya revolusi, perubahan
konstitusi merupakan jalan terbaik menyeimbangkan saling kontrol dan
harmoni pada cabang-cabang kekuasaan. Ada tiga pokok penting yang perlu
segera disempurnakan. Sistem presidensial, penguatan lembaga perwakilan,
dan otonomi daerah.
Sistem presidensial perlu
ditingkatkan efektivitasnya dengan desain yang merangsang sistem kepartaian
sederhana yang memperbesar kekuasaan konstitusional pemerintah. Terutama
untuk menghindari minority president dan pemerintahan yang
terbelah (divided government) yang umum dilahirkan oleh sistem multipartai
seperti saat ini, yang berakibat ketidakstabilan demokrasi dan
kekuranglancaran pembangunan.
Penguatan lembaga perwakilan
diperlukan untuk menyeimbangkan saling kontrol melalui penguatan peran MPR
sebagai lembaga joint session DPR dan DPD, serta harmonisasi
melalui penguatan kewenangan DPD agar efektif menjadi mitra penyeimbang
DPR. Disebut harmonisasi karena mengarah pada prinsip saling melengkapi
dalam sistem bikameral efektif dan bukan bikameral sama kuat (perfect
bicameralism).
Penyempurnaan otonomi daerah
merumuskan formula yang tepat sebagai bingkai yang mendorong desentralisasi
sejalan dengan bentuk negara kesatuan yang mampu meredam potensi
disintegrasi. Desainnya mengandung norma yang berpihak pada keberagaman,
kekhususan daerah, dan perspektif masyarakat adat setempat. Ini semua bukan
gagasan baru di dunia. Kegagalan menerapkannya telah memberi pelajaran bagi
negara-negara Amerika Latin yang tak berhasil membangun demokrasi yang
stabil. Yang di negeri kita kini sedang berproses dan hasilnya akan banyak
ditentukan hasil Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar