Senin, 02 Desember 2013

Kembali kepada Tuhan

Kembali kepada Tuhan
Jannus TH Siahaan  ;   Doktor Sosiologi yang juga Pemerhati Sosial Kemasyarakatan, Tinggal di pinggiran Bogor, Jawa Barat
SINAR HARAPAN,  30 November 2013
  


Pada saatnya, secara suka cita atau terpaksa, kita akan kembali kepada Tuhan YME. Sejauh-jauh kita meninggalkan ajaran-Nya, selalu ada suara hati terdalam agar kita cepat kembali kepada Tuhan.

Sejatinya, kita tidak berada dalam keyakinan yang sama, apakah kita—semua anak manusia—bisa meninggalkan Tuhan? Bukankah Dia adalah Zat Yang Mahabesar sehingga tak ada apa pun di luar kebesaran-Nya. Maknanya, sejauh-jauh “pergi”, kita tetap berada dalam Tuhan.

Bukankah kita sudah berketetapan dalam konsensus nasional bahwa kita adalah bangsa yang berketuhanan? Kita berjanji sampai kapan pun akan tetap seperti itu, kecuali negara ini berubah haluannya.

Hal yang membuat kita “menjauh” dari Tuhan adalah sikap negatif kita. Sikap negatif muncul akibat kita terlalu berani memberi tafsir, sesuka kita atas filosofi hidup berketuhanan kita sebagai bangsa. Tak bisa disangkal, betapa bebasnya kita dan betapa gampangnya kita menjual jati diri bangsa.

Sampai kapan ini akan berlangsung? Sampai kita menyadari telah mengabaikan kemanusiaan. Kita telah melupakan Sang Entitas Tunggal yang membuat alam makrokosmos dan mikrokosmos tetap selalu sehat dan berjalan penuh harmoni. Dialah Tuhan, tempat semua makhluk hidup akan kembali dan berpulang. Entitas inilah sering dilupakan, diabaikan, dan tidak diindahkan keberadaan-Nya.

Dalam beberapa hal, kita termasuk bangsa yang terjebak dalam situasi ini. Kita terjebak dalam dialektika kehidupan yang dibuat sendiri. Kita melupakan, mengabaikan, dan tidak mengindahkan kebertuhanan kita.
Kita mengaku bangsa paling religius sehingga bisa kapan saja memanggil 

Tuhan untuk mengurusi kesulitan yang kita hadapi. Sebutlah, beberapa ayat suci, maka Tuhan akan memenuhi harap dan pinta. Kita takut tidak disebut bangsa pemuja agama dan pemburu cinta Tuhan. Hingga saat melahirkan republik, kita sebutkan keterlibatan Tuhan dalam Pembukaan UUD 1945.

Seakan tak cukup dengan itu—tentu setelah perdebatan sengit dan cenderung saling ancam—para pendiri negeri bersepakat meletakkan maqam Tuhan di posisi teratas, di antara lima filosofi hidup bangsa.

Oleh karena itu, terpatrilah pada sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu catatan misi profetik Indonesia. Sejak itulah, bahtera ini mulai bergerak, dayung dikayuh, layar dikembangkan, dan bangsa Indonesia mengarungi samudra kehidupan yang luas tak bertepi dan sarat tantangan.

Setelah sekian puluh tahun tergerus gelombang kehidupan, kini kita saksikan yang terjadi. Para koruptor adalah orang-orang pilihan di antara kita. Para koruptor adalah pengagum asli firman-firman Tuhan.

Para koruptor adalah mereka yang separuh lebih dari tahun-tahun kehidupannya dihabiskan di altar-altar pemujaan. Para koruptor adalah sosok yang bertabur tanda bintang mahaputra utama. Para koruptor adalah lulusan-lulusan terbaik di angkatannya dari lembaga pendidikan terkemuka. Merekalah yang justru melupakan Tuhan!

Para koruptor adalah pelajar yang kini menjadi guru, mahasiswa yang menjadi dosen, bahkan guru besar. Para koruptor adalah santri yang kini menjadi kiai. Para koruptor adalah taruna yang kini menjadi perwira.

Para koruptor adalah kawula yang kini menjadi petinggi negeri. Para koruptor adalah anak bangsa ini. Para koruptor adalah orang tua, anak, saudara, kemenakan, sepupu, tetangga, kolega, rekan, musuh, lawan, serta manusia serigala berbulu domba. Mereka adalah setan dalam suratan manusia. Para koruptor nyata-nyata mengabaikan Tuhan!

Pada kasus lain, ada perempuan polisi yang pamer aurat. Padahal, ia ajudan kapolda. Ada perempuan polisi yang ekshibisionis, padahal ia kapolsek. Ada pula remaja yang bertelanjang ria di bilik warung telekomunikasi. Ada Ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap karena menerima suap. Ada ratusan anggota legislatif masuk penjara karena menjarah negeri sendiri. Ada mantan menteri tinggal di hotel prodeo. Jangan tanya berapa jumlah penjahat kelas teri yang menjejali penjara. Mereka tidak mengindahkan Tuhan!

Kenapa bisa sampai sejauh ini? Itu karena kian lamat-lamat kejujuran bersemayam dalam diri bangsa ini. Itu karena tak ada lagi kejujuran kita kepada Tuhan. Itu karena manusia Indonesia mulai berani mengingkari kemanusiaannya.

Sebagian terbuai pemikiran John Locke, Jean-Baptiste Say, Destutt de Tracy, Rousseau, Voltaire, B Franklin, T Jefferson, I Kant, dan Adam Smith. Mereka menyuapi dengan paham liberalisme yang menjebak. Seakan, hanya dengan demokrasi semua urusan bisa selesai. Mereka menganggap antidemokrasi adalah musuh kemanusiaan.

Akibat jargon the winner takes all, mereka yang kalah semakin tersisih, yang miskin semakin terasing, pemodal mengempaskan penduduk asli.
Secara signifikan, sistem ekonomi liberal telah “berketurunan” menjadi sistem ekonomi kapitalis. Inilah dunia pemilik modal finansial, penguasa jalur-jalur informasi, jaringan pasar yang menggurita, kekuatan SDM yang andal. Tak ada tempat bagi yang lemah, tak bermodal, dan tak memiliki kecakapan.

Di sisi lain, sebagai antitesis mazhab liberalisme, munculah gerakan pengagum dogma. Inilah cara berkehidupan dengan memaksakan perspektif dan cara pandang sesuai dogma yang ultrakonservatif.
Begitu kakunya pendekatan ini, kehidupan beragama mereka harus menduplikasi pandangan tokoh panutannya. Berbeda berarti salah. Salah berarti di luar mazhab. Di luar mazhab berarti terancam di neraka, tempat kemurkaan Tuhan!

Sesederhana itu. Ayat dan sabda harus sama persis. Ayat dan sabda dihafal seperti yang didengar dan dicatat sebagaimana yang diimlakan. Penyimpangan hafalan dianggap bidah. Setiap bidah adalah kesesatan. Keranjang terakhir kesesatan adalah neraka.

Dua kutub, liberalisme dan dogmatisme, menciptakan ketidakjujuran antaranak bangsa. Dua kutub ini membuat bangsa terjebak dalam kehidupan yang serba permisif, materialistis, hedonistis, menghalalkan segala cara, menganggap kemapanan sebagai antikemajuan, dan semua kemajuan harus diimplementasikan dalam kebebasan yang tak bisa dibatasi dengan apa pun, termasuk dengan moral agama. Ini penyakit akut. Obatnya hanya moral. Dokternya hanya Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar