TIDAK
ada sesuatu pun di dunia ini—termasuk agama—yang terlahir dalam keadaan
murni, tanpa asimilasi atau anasir campuran.
Baik di tingkat inti maupun
kulit luar, asimilasi atau campuran di antara dua entitas berbeda adalah
hal yang tak mungkin terelakkan alias lumrah belaka. Selanjutnya, asimilasi
atau campuran akan memunculkan sebuah genre, varietas, atau hibriditas baru
sebagai manifestasi dari manunggalnya dua entitas dimaksud.
Dalam konteks ini, Islam
Indonesia bukanlah perkecualian. Islam hadir di tengah konfigurasi sosial
budaya yang sudah sedemikian established selama ratusan, bahkan
ribuan tahun lamanya. Dari sinilah Islam menemukan jalan aksiologisnya guna
menerobos belantara adat-istiadat dan tradisi lokal yang sudah mengakar.
Syahdan, Islam kini dapat tempat
dalam konfigurasi sosial-budaya tersebut. Ia menjadi agama yang meresap ke
dalam relung dan denyut nadi kehidupan masyarakat luas. Bahkan ia menjadi
agama mayoritas bagi bangsa ini, melalui cara-cara yang subtil dan
evolusioner.
Ruang kosong
Dalam perspektif dialektika
sosial-budaya, ada sesuatu yang layak diapresiasi di sini. Bukan sebuah
kebetulan jika Islam berhasil memenangkan hati dan pikiran banyak orang.
Adalah budaya, jalan paling kontributif bagi kemenyatuan Islam dan pelbagai
anasir keindonesiaan, melalui mana Islam menemukan pijakan kukuh untuk
menjangkarkan seluruh dimensi normatifnya. Dari situ, lahirlah sebuah
varietas Islam yang relatif distingtif, unik, dan berbeda dari Islam di
belahan dunia lainnya; Ia adalah ”Islam-Indonesia”.
Dalam perspektif hibriditas
Islam, kemajuan di sektor budaya ini tidak dibarengi dengan hal yang sama
pada sektor politik. Pelbagai mazhab pemikiran tentang relasi agama dan
politik sebagaimana ditawarkan para pemikir Muslim—mulai dari mazhab
teokrasinya M Natsir, nasionalismenya Soekarno, dan sekularismenya Cak
Nur—seakan belum menemukan signifikansinya dengan kebutuhan riil bangsa.
Artinya, perjumpaan antara normativitas Islam klasik dan modernitas
kontemporer belum berhasil menciptakan hibriditas baru yang relevan dengan
kebutuhan zaman.
Inilah ruang kosong yang masih
tersisa dalam spektrum pemikiran Islam Indonesia. Realitas politik
demokrasi Indonesia belum banyak tersentuh oleh pembaruan pemikiran Islam.
Memasuki era demokrasi langsung, dinamika, dan arus pemikiran Islam
semestinya menemukan momentumnya. Namun, kenyataannya, sebagian besar umat
Islam masih mendaur ulang pemikiran politik Islam klasik yang signifikansi
dan relevansinya perlu direfleksi kembali. Realitas ini menyebabkan
terjadinya kesenjangan antara formulasi teologis di tingkat pemikiran dan praksis
politik di tingkat lapangan.
Kesenjangan itu terjadi,
misalnya, pada betapa jauhnya perbedaan antara formulasi politik Islam di
tingkat pemikiran yang mengandaikan nilai-nilai politik adiluhung di satu
sisi, dan praksis politik di sisi lain. Di satu sisi doktrin agama
menegaskan perilaku jujur, bersih, amanah, dan adil dalam berpolitik,
tetapi realitas politik masih tetap sama: korup, dekil, dan penuh intrik
kotor. Kesenjangan inilah yang menjadi pekerjaan terbesar bagi pemikiran
Islam di Tanah Air.
Diharapkan, pemikiran Islam
mampu menghasilkan sebuah hibriditas baru pada sektor politik-demokrasi
yang dapat berfungsi ganda; di satu sisi dapat menceraikan bangsa ini dari
praktik dan tradisi negatif politik korup, sekaligus merumuskan sebuah
cetak-biru politik demokrasi yang relevan dengan kebutuhan bangsa ini, di
sisi lain.
Dalam konteks tingkat
progresivitasnya, pemikiran politik Islam kontemporer bahkan belum mampu
melampaui pemikiran politik Islam masa lalu. Salah satu pemikiran masa lalu
paling monumental adalah kriteria adil sebagai persyaratan bagi seorang
pemimpin sebagaimana dilontarkan Ibn Taymiyyah, revivalis-puritan dari
jazirah Saudi Arabia. Menurut dia, seorang pemimpin non-Muslim tetapi adil
masih lebih baik ketimbang pemimpin Muslim tetapi otoritarian-despotik.
Pemikiran politik semacam ini tentu saja jauh lebih progresif ketimbang
produk pemikiran kontemporer yang masih berputar-putar pada isu-isu
pinggiran.
Terkait ruang kosong ini, Vali
Nasr mengemukakan pandangan menarik. Menurut dia, tradisi demokrasi Muslim
tidak lahir dari rahim kaum intelektual, tetapi dari kalangan praktisi
(politisi Muslim) yang berusaha mencari keseimbangan elektoral di tingkat
akar rumput. Dia menegaskan, ”It has not been intellectuals who have given
shape to Muslim Democracy, but rather politicians such as Turkey’s Recep
Tayyip Erdogan, Pakistan’s Nawaz Sharif, and Malaysia’s Anwar Ibrahim and
Mahathir bin Mohamad” (2005; 16). Ini tamparan keras bagi kalangan
intelektual Muslim yang dianggap belum banyak berkontribusi bagi
terciptanya pemikiran dan praktik politik-demokrasi modern.
”Aggiornamento” Muslim
Mempertimbangkan kembali apa
yang tengah menjadi kebutuhan bangsa ini, ada baiknya kita menggarisbawahi
optimisme prospektif Jose Casanova (2001; 1075) bahwa full-fledged democracy bisa
tumbuh secara autentik di bumi Indonesia. Syaratnya, umat Islam bisa
merumuskan apa yang dia sebut aggiornamento
Muslim. Aggiornamento adalah
reformulasi teologis oleh Gereja Katolik pada akhir 1960-an tentang sikap
resmi gereja terhadap nilai-nilai demokrasi. Ini salah satu reformasi
Gereja Katolik paling progresif yang mengantarkan kepada gelombang ketiga
demokratisasi di kalangan bangsa- bangsa berpenduduk mayoritas Katolik.
Jika Max Weber mengecualikan Katolik dari tradisi keagamaan yang suportif
terhadap nilai-nilai demokrasi, aggiornamento Gereja Katolik
merupakan antitesis langsung terhadap tesis tersebut.
Dalam bukunya yang sudah menjadi
klasik, The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism (1904), Weber menyebut Protestantisme
sebagai satu-satunya denominasi yang sesuai nilai-nilai politik-demokrasi
dan peradaban modern. Pada gelombang ketiga demokratisasi, dua pertiga dari
30 negara (20 negara) yang mengalami proses demokratisasi adalah negara
berpenduduk mayoritas Katolik (Huntington, 1991). Dekade 2000-an, jumlah
ini meningkat menjadi 61 negara! Bandingkan dengan negara berpenduduk
Protestan yang ”hanya” berjumlah 35 negara! (Norris & Inglehart, 2004:
45).
Politik-demokrasi di negeri ini
masih menyisakan ruang kosong bagi terumuskannya aggiornamento Muslim
tentang tradisi dan pengalaman politik demokrasi yang bersih, akuntabel,
dan jauh dari korupsi dan politik uang. Ini salah satu manifestasi
hibriditas Islam-Indonesia yang belum terjabarkan dengan baik dan kebutuhan
mendesak bangsa ini, terutama menjelang ”tahun politik” 2014. Inilah
refleksi kecil dari Annual
International Conference on Islamic Studies Ke-13 di IAIN Mataram 18-21
November silam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar