Hari Kesetiakawanan Sosial
Nasional (HKSN) diperingati setiap tanggal 20 Desember sebagai rasa
syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan rakyat Indonesia
membela kedaulatan bangsa dan menghadapi ancaman dari luar.
Peringatan
HKSN tersebut merupakan upaya mengenang, menghayati, dan meneladani
semangat persatuan, kesatuan, kegotong-royongan, dan kekeluargaan rakyat
Indonesia yang bahu-membahu mempertahankan eksistensi bangsa. Pada saat
itu, terjadi pendudukan Kota Yogyakarta yang merupakan Ibu Kota Republik
Indonesia oleh tentara kolonial Belanda pada 1948.
Kini,
peringatan HKSN mengandung ironi yang sangat dalam terkait dengan
maraknya sikap intoleransi di tengah masyarakat. Padahal sikap
intoleransi sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Kesetiakawanan
Sosial Nasional yang diwarnai dengan jiwa gotong royong dalam segala
aspek kehidupan.
Sangat
disayangkan, hingga kini, pemerintah banyak membiarkan atau menutup mata
terhadap modus-modus intoleransi yang dilakukan sekelompok ormas.
Maraknya sikap intoleransi yang diembuskan kelompok tertentu menyebabkan
konflik sosial berdarah dan menimbulkan kekerasan dan anarkisme yang
sangat memilukan.
Sepanjang
tahun 2013, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang antara
lain didasari sikap intoleransi masih sering terjadi di seluruh pelosok
negeri. Dari masalah intoleransi kehidupan beragama dan aliran
kepercayaan hingga kasus ketenagakerjaan masih banyak terjadi.
Tak
bisa dimungkiri, kondisi HAM di negeri ini masih sangat memprihatinkan
karena kelemahan wibawa pemerintahan. Selain itu, semakin langkanya
pemimpin yang berkomitmen tinggi terhadap penegakan HAM. Ada baiknya
dilihat Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Dari
sejarahnya, DUHAM lahir dari kesadaran umat manusia akan hak atas
kebebasan, harkat, dan martabat setiap manusia.
Apa
pun ras, agama, jenis kelamin, maupun pandangan pribadinya, setiap orang
memunyai hak atas kebebasan, harkat, dan martabat. Hingga kini,
pelanggaran HAM banyak terjadi di Indonesia. Salah satu pelanggaran yang
sangat menyedihkan dan telah menjadi isu negatif dunia adalah buruknya
perlindungan terhadap golongan minoritas, terutama terhadap kelompok
aliran keagamaan dan penganut aliran kepercayaan.
Ironis
Betapa
ironisnya, justru setelah gerakan reformasi terjadi, pemerintah belum
mampu menegakkan amanat UUD 1945, khususnya Bab XA tentang HAM, Pasal 28
E Ayat (1) "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memiliki pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali." Ayat (2) "Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya."
Hingga
hari ini, kondisi masih menyesakkan dada karena tinggi sekali angka
intoleransi di berbagai daerah. Hal tersebut diperjelas dengan data yang
dilansir Setara Institute, The Wahid Institute, dan CRCS UGM. Provinsi
Jawa Barat memegang angka intoleransi tertinggi selama empat tahun
terakhir.
Setara
Institute menyatakan Januari hingga Juni 2013 terjadi 122 pelanggaran
kebebasan beragama di 16 provinsi, 50 persennya di Jawa Barat. Masih
hangat dalam ingatan publik tentang perayaan Asyura yang akan digelar di
Bandung yang dicekam teror dan ancaman. Ada pihak tertentu mendatangi
acara dengan nada intimidasi dan menutup akses.
Banyak
peraturan daerah dibuat sedemikian rupa untuk mengekang dan membatasi
aktivitas golongan minoritas. Dengan mata telanjang, pemerintah pusat dan
daerah terlihat kehilangan wibawa dan terkesan tunduk pada tekanan yang
menganggap dirinya kelompok mayoritas.
Bahkan,
DPR telah memproduksi undang-undang yang secara tidak langsung
mendiskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat serta mengingkari
keragaman yang menjadi esensi kehidupan bernegara.
Pemerintah
tidak hanya menutup mata terhadap praktik intoleransi dan diskriminasi,
melainkan juga acap kali terlibat sebagai pelaku itu sendiri. Contohnya,
menangkap secara sewenang-wenang warga yang dituding menyimpang keyakinan
beragama.
Padahal,
istilah menyimpang atau sesat masih bias, hanya berdasarkan pendapat
kelompok penekan. Sementara argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas
diremehkan begitu saja.
Proses
demokratisasi lewat pilkada maupun pemilu legislatif justru memperburuk
kualitas penegakan HAM. Kelompok minoritas semakin menjadi "exluded
permanent minority" karena proses pengambilan keputusan dalam domain
legislatif selalu menenggelamkan eksistensi dan aspirasi mereka. Inilah
dilema proses demokrasi yang sangat memilukan bagi kaum minoritas. UUD
negeri ini begitu mudah dibelokkan tafsirnya.
Rapuhnya
perlindungan HAM terhadap kelompok minoritas bisa dilihat dari kasus
seringnya perusakan rumah ibadah. Ironisnya, justru pada masa rezim Orde
Baru berkuasa model pelarangan beribadah tidak pernah terjadi. Yang patut
direnungkan, kalau dulu hal itu merupakan spontanitas dan terbatas, kini
menjadi termobilisasi dengan bantuan organisasi kemasyarakatan yang tidak
pernah dilarang pemerintah meski jelas-jelas telah merusak kebersamaan.
Modus
pelanggaran kebebasan beragama pun menjadi semakin bertambah parah dan
menunjukkan kian tidak tolerannya masyarakat. Kasus yang lebih
menyedihkan lagi, pemerintah daerah takut menegakkan hukum.
Bahkan
pada level bawah, sering aparat pemerintahan justru memberi peluang dan
memberi angin pada tindakan anarkistis. Belum lagi jika ditimbang
peraturan daerah yang hanya mengatur sebagian anggota masyarakatnya dalam
kategori perda bernuansa dominan golongan tertentu. Realitas politik
seperti tadi mencederai kebersamaan sebagai satu bangsa yang bermartabat.
Akhir
tahun ini mestinya menjadi momentum mawas diri bangsa karena telah
terancam musuh yang sangat berbahaya. Musuh tersebut datangnya bukan
berasal dari luar negeri, tetapi justru bercokol di tengah kehidupan
masyarakat, yaitu mereka yang berupaya menghancurkan keberagaman dan
pluralitas.
Segenap
komponen bangsa hendaknya jangan sekali-kali meninggalkan sejarah karena
telah menyajikan fakta, ketika negeri ini menghadapi musuh bersama,
penjajahan dan kolonialisme, keberagaman menjadi kekuatan pemersatu.
Namun, kini, keberagaman mulai diporakporandakan dengan dalih sektarian
sehingga esensinya bukan lagi sebagai kekuatan pemersatu, tetapi justru
dianggap menjadi ancaman.
Yang
lebih menyedihkan, semua tidak dianggap sebagai masalah serius pemerintah
sehingga penanganan dan penyelesaian pelanggaran HAM hanya bersifat
eksesif, berat sebelah, dan akhirnya dilupakan. Haruskah jiwa dan
semangat keindonesiaan yang Berbhineka Tunggal Ika menjadi semakin
keropos karena pengelola negara tidak mampu menegakkan HAM? Semoga tahun
2014 menjadi musim semi penegakan HAM dan suburnya sikap toleransi.
Tahun
depan harus dibuka dengan lembaran baru dengan jiwa yang semakin toleran.
Bangsa ini, di tahun baru, harus mulai bertambah dewasa yang ditandai
dengan pemahaman bahwa kebersamaan sebagai anugerah.
Tahun
depan harus semakin toleran, makin menerima sesama sebagai saudara, apa
pun agama, suku, dan kepercayaannya. Marilah menyatukan perbedaan dengan
menerimanya sebagai realitas, kekayaan, dan anugerah bangsa. Kubur budaya
intoleran di tahun ini dan awali tahun baru dengan saling menerima.
Dengan
kondisi seperti ini, memang tahun depan rasanya masih akan terjadi
intoleransi, namun diharapkan semakin mengecil, dan pemerintah harus
sangat tegas menindak pelaku intoleran. Pemerintah harus lebih berani dan
tidak memberi angin dengan membiarkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar