Sabtu, 21 Desember 2013

Matrilinial, Refleksi Kecerdasan para Ibu di Minangkabau

Matrilinial,

Refleksi Kecerdasan para Ibu di Minangkabau

Sari Anggraini  ;    Mahasiswa Biologi Pasca Sarjana Unand
HALUAN,  21 Desember 2013

  

Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) diperingati setiap tanggal 20 Desember sebagai rasa syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan rakyat Indonesia membela kedaulatan bangsa dan menghadapi ancaman dari luar.

Peringatan HKSN tersebut merupakan upaya mengenang, menghayati, dan meneladani semangat persatuan, kesatuan, kegotong-royongan, dan kekeluargaan rakyat Indonesia yang bahu-membahu mempertahankan eksistensi bangsa. Pada saat itu, terjadi pendudukan Kota Yogyakarta yang merupakan Ibu Kota Republik Indonesia oleh tentara kolonial Belanda pada 1948. 

Kini, peringatan HKSN mengandung ironi yang sangat dalam terkait dengan maraknya sikap intoleransi di tengah masyarakat. Padahal sikap intoleransi sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial Nasional yang diwarnai dengan jiwa gotong royong dalam segala aspek kehidupan. 

Sangat disayangkan, hingga kini, pemerintah banyak membiarkan atau menutup mata terhadap modus-modus intoleransi yang dilakukan sekelompok ormas. Maraknya sikap intoleransi yang diembuskan kelompok tertentu menyebabkan konflik sosial berdarah dan menimbulkan kekerasan dan anarkisme yang sangat memilukan.

Sepanjang tahun 2013, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang antara lain didasari sikap intoleransi masih sering terjadi di seluruh pelosok negeri. Dari masalah intoleransi kehidupan beragama dan aliran kepercayaan hingga kasus ketenagakerjaan masih banyak terjadi.

Tak bisa dimungkiri, kondisi HAM di negeri ini masih sangat memprihatinkan karena kelemahan wibawa pemerintahan. Selain itu, semakin langkanya pemimpin yang berkomitmen tinggi terhadap penegakan HAM. Ada baiknya dilihat Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Dari sejarahnya, DUHAM lahir dari kesadaran umat manusia akan hak atas kebebasan, harkat, dan martabat setiap manusia. 

Apa pun ras, agama, jenis kelamin, maupun pandangan pribadinya, setiap orang memunyai hak atas kebebasan, harkat, dan martabat. Hingga kini, pelanggaran HAM banyak terjadi di Indonesia. Salah satu pelanggaran yang sangat menyedihkan dan telah menjadi isu negatif dunia adalah buruknya perlindungan terhadap golongan minoritas, terutama terhadap kelompok aliran keagamaan dan penganut aliran kepercayaan.

Ironis

Betapa ironisnya, justru setelah gerakan reformasi terjadi, pemerintah belum mampu menegakkan amanat UUD 1945, khususnya Bab XA tentang HAM, Pasal 28 E Ayat (1) "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memiliki pekerjaan, memilih kewarganegaraan, tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." Ayat (2) "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya."

Hingga hari ini, kondisi masih menyesakkan dada karena tinggi sekali angka intoleransi di berbagai daerah. Hal tersebut diperjelas dengan data yang dilansir Setara Institute, The Wahid Institute, dan CRCS UGM. Provinsi Jawa Barat memegang angka intoleransi tertinggi selama empat tahun terakhir. 

Setara Institute menyatakan Januari hingga Juni 2013 terjadi 122 pelanggaran kebebasan beragama di 16 provinsi, 50 persennya di Jawa Barat. Masih hangat dalam ingatan publik tentang perayaan Asyura yang akan digelar di Bandung yang dicekam teror dan ancaman. Ada pihak tertentu mendatangi acara dengan nada intimidasi dan menutup akses.

Banyak peraturan daerah dibuat sedemikian rupa untuk mengekang dan membatasi aktivitas golongan minoritas. Dengan mata telanjang, pemerintah pusat dan daerah terlihat kehilangan wibawa dan terkesan tunduk pada tekanan yang menganggap dirinya kelompok mayoritas.

Bahkan, DPR telah memproduksi undang-undang yang secara tidak langsung mendiskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat serta mengingkari keragaman yang menjadi esensi kehidupan bernegara.

Pemerintah tidak hanya menutup mata terhadap praktik intoleransi dan diskriminasi, melainkan juga acap kali terlibat sebagai pelaku itu sendiri. Contohnya, menangkap secara sewenang-wenang warga yang dituding menyimpang keyakinan beragama.

Padahal, istilah menyimpang atau sesat masih bias, hanya berdasarkan pendapat kelompok penekan. Sementara argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas diremehkan begitu saja.

Proses demokratisasi lewat pilkada maupun pemilu legislatif justru memperburuk kualitas penegakan HAM. Kelompok minoritas semakin menjadi "exluded permanent minority" karena proses pengambilan keputusan dalam domain legislatif selalu menenggelamkan eksistensi dan aspirasi mereka. Inilah dilema proses demokrasi yang sangat memilukan bagi kaum minoritas. UUD negeri ini begitu mudah dibelokkan tafsirnya.

Rapuhnya perlindungan HAM terhadap kelompok minoritas bisa dilihat dari kasus seringnya perusakan rumah ibadah. Ironisnya, justru pada masa rezim Orde Baru berkuasa model pelarangan beribadah tidak pernah terjadi. Yang patut direnungkan, kalau dulu hal itu merupakan spontanitas dan terbatas, kini menjadi termobilisasi dengan bantuan organisasi kemasyarakatan yang tidak pernah dilarang pemerintah meski jelas-jelas telah merusak kebersamaan.

Modus pelanggaran kebebasan beragama pun menjadi semakin bertambah parah dan menunjukkan kian tidak tolerannya masyarakat. Kasus yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah daerah takut menegakkan hukum.

Bahkan pada level bawah, sering aparat pemerintahan justru memberi peluang dan memberi angin pada tindakan anarkistis. Belum lagi jika ditimbang peraturan daerah yang hanya mengatur sebagian anggota masyarakatnya dalam kategori perda bernuansa dominan golongan tertentu. Realitas politik seperti tadi mencederai kebersamaan sebagai satu bangsa yang bermartabat.

Akhir tahun ini mestinya menjadi momentum mawas diri bangsa karena telah terancam musuh yang sangat berbahaya. Musuh tersebut datangnya bukan berasal dari luar negeri, tetapi justru bercokol di tengah kehidupan masyarakat, yaitu mereka yang berupaya menghancurkan keberagaman dan pluralitas. 

Segenap komponen bangsa hendaknya jangan sekali-kali meninggalkan sejarah karena telah menyajikan fakta, ketika negeri ini menghadapi musuh bersama, penjajahan dan kolonialisme, keberagaman menjadi kekuatan pemersatu. 

Namun, kini, keberagaman mulai diporakporandakan dengan dalih sektarian sehingga esensinya bukan lagi sebagai kekuatan pemersatu, tetapi justru dianggap menjadi ancaman. 

Yang lebih menyedihkan, semua tidak dianggap sebagai masalah serius pemerintah sehingga penanganan dan penyelesaian pelanggaran HAM hanya bersifat eksesif, berat sebelah, dan akhirnya dilupakan. Haruskah jiwa dan semangat keindonesiaan yang Berbhineka Tunggal Ika menjadi semakin keropos karena pengelola negara tidak mampu menegakkan HAM? Semoga 

tahun 2014 menjadi musim semi penegakan HAM dan suburnya sikap toleransi.
Tahun depan harus dibuka dengan lembaran baru dengan jiwa yang semakin toleran. Bangsa ini, di tahun baru, harus mulai bertambah dewasa yang ditandai dengan pemahaman bahwa kebersamaan sebagai anugerah.

Tahun depan harus semakin toleran, makin menerima sesama sebagai saudara, apa pun agama, suku, dan kepercayaannya. Marilah menyatukan perbedaan dengan menerimanya sebagai realitas, kekayaan, dan anugerah bangsa. Kubur budaya intoleran di tahun ini dan awali tahun baru dengan saling menerima.

Dengan kondisi seperti ini, memang tahun depan rasanya masih akan terjadi intoleransi, namun diharapkan semakin mengecil, dan pemerintah harus sangat tegas menindak pelaku intoleran. Pemerintah harus lebih berani dan tidak memberi angin dengan membiarkannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar