Implikasi
Perppu MK
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2013
Tidak ada ukuran mutlak tentang benar atau salahnya aturan
hukum. Bila satu aturan hukum ada yang mengatakan benar dan baik, maka
akan ada yang mengatakan ia salah dan jelek. Isi konstitusi pun begitu. Bagaimanapun
sebuah konstitusi diperdebatkan akan ada saja yang menilai benar dan
baik, tetapi akan ada pula yang menyatakannya salah dan jelek.
Oleh sebab itu, keberlakuan konstitusi dan
hukum bukan karena secara kategoris baik atau benar, melainkan karena dia
ditetapkan sebagai hukum oleh lembaga yang berwenang. Begitulah sikap
yang harus kita tunjukkan dalam menyambut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) yang baru diterima
atau disetujui untuk menjadi UU oleh DPR pada Kamis (19/12) lalu. Kita
harus menaatinya karena telah ditetapkan berlakunya. Semula Perppu MK itu
ditanggapi dengan sangat kontroversial dan panas.
Ada yang mendukungnya karena dianggap
sebagai penciptaan kanal untuk menutup sumbatansumbatan perekrutan hakim
dan pengawasan terhadap MK. Tetapi banyak pula yang menolaknya dengan
alasan Perppu MK tidak didasarkan pada adanya alasan “kegentingan yang
memaksa” sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 UUD 1945. Ada yang mengatakan,
Perppu MK berisi halhal umum yang bisa dituangkan dalam UU biasa melalui
proses yang normal dan tidak genting.
Bahkan, adapulayangmengatakan sebagian isi
perppu itu bertentangan dengan UUD 1945 karena membatasi hak orang
tertentu untuk menjadi hakim MK. Tetapi karena Perppu MK telah ditetapkan
untuk menjadi UU melalui political
review dan mekanisme legislasi di DPR maka setelah diundangkan perppu
tersebut harus ditaati keberlakuannya. Bukan karena benar atau bagus,
melainkan karena telah ditetapkan berlakunya secara resmi oleh lembaga
konstitusional.
Kita tak perlu lagi mempersoalkan apa saja
latar belakang politik di balik kontroversi yang pernah menyeruak
tentangnya. Kalau sudah diundangkan, ya berlaku, mengikat, dan dapat
dipaksakan. Ada beberapa implikasi atau akibat logis dari disahkannya
perppu itu menjadi undang-undang. Yang pertama, permohonan pengujian
yudisial (judicial review) atas
perppu tersebut yang telah diajukan oleh masyarakat menjadi kehilangan
objek, sehingga MK harus mengeluarkan putusan bahwa permohonan pengujian
tersebut “tidak dapat diterima”.
Sikap MK yang seperti ini harus resmi
dituangkan di dalam vonis yang diucapkan dalam sidang resmi. Kedua, Dewan
Etik internal yang dibentuk oleh MK menjadi tidak relevan untuk
diteruskan karena perppu yang sudah menjadi UU itu sudah menetapkan
Majelis Kehormatan yang permanen sebagai pengawas eksternal. Kalau mau
dipaksakan untuk diadakan juga Dewan Etik MK ini memang tidak dilarang,
misalnya karena kebutuhan ke dalam, tetapi urgensinya sudah tidak ada.
Ia hanya kebijakan tentatif ke dalam yang
tidak didelegasikan langsung oleh UU, berbeda dengan Majelis Kehormatan
permanen yang bersumber dari UU. Harus diingat, Majelis Kehormatan ala
perppu itu tidaklah bertentangan dengan vonis MK yang pernah menetapkan
Komisi Yudisial (KY) tidak bisa mengawasi MK dan hakim MK. Majelis
Kehormatan menurut perppu yang dijadikan UU ini bukan diisi oleh pejabat
KY. Namun, KY hanya ikut membentuknya bersama MK dengan memilih
orang-orang yang netral dan dipercaya masyarakat.
Di dalam UU MK sebelumnya (UU No 8 Tahun
2011) untuk Majelis Kehormatan yang tidak permanen atau kasuistis,
pimpinan KY memang boleh jadi anggotanya. Tetapi untuk yang sekarang, KY
tidak boleh lagi menjadi anggotanya. Ketiga, untuk masa-masa yang akan datang
perekrutan hakim MK harus dilakukan oleh sebuah panel ahli yang melakukan
seleksi secara terbuka dan melalui pembandingan atas banyak kandidat.
Belakangan ini kerap muncul hakim MK yang tidak dikonteskan dengan calon
lain sehingga menimbulkan kesan “vorschot politik”.
Ke depannya baik Presiden dan DPR maupun
Mahkamah Agung (MA) harus menyeleksi caloncalon yang akan dijadikan hakim
MK melalui satu panel ahli. Secara teknis, ini mudah saja. Panel ahli
mengajukan alternatif- alternatif calon yang sudah diseleksi dengan ketat
untuk kemudian dipersilakan DPR, Presiden, dan MA memilih dari
calon-calon itu untuk dijadikan hakim MK sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan. Dengan demikian, tidak ada degradasi atas wewenang ketiga
lembaga tersebut untuk menentukan hakim MK. Memang ada persoalan teknis
lain.
Akhir tugas dan pensiun hakim-hakim MK
waktunya tidak serentak melainkan tergantung pada kapan mereka
menggantikan hakim sebelumnya dan kapan memasuki usia pensiun. Tetapi ini
sangat teknis, bisa diatur sedemikian rupa agar keperluan substantif bisa
tertampung dalam mekanisme proseduralnya. Mungkin saja setelah perppu itu
menjadi UU akan ada yang mengajukan judicial
review ke MK.
Itu boleh saja. Tetapi kita berharap MK bersikap bijaksana,
etis, dan tidak menabrak open legal
policy. Ada asas, “Nemo judex
in causa sua”, hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan
kepentingannya sendiri. Kepercayaan publik yang mulai tumbuh kembali
terhadap MK jangan dirusak oleh sikap yang hanya untuk kepentingan diri
sendiri. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar