Senin, 02 Desember 2013

Dilema Ekologis Politik Kehutanan

Dilema Ekologis Politik Kehutanan
Arina Damayanti  ;   Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
KOMPAS,  30 November 2013
  


INDONESIA sebagai salah satu pemilik hutan dan keanekaan hayati terbesar dunia ternyata belum bisa mengelolanya secara berkelanjutan dan sekaligus menyejahterakan rakyatnya. Kenyataannya, penebangan hutan untuk berbagai kepentinganterus berlangsung, sementara kesejahteraan rakyat justru menurun seiring dengan memburuknya lingkungan.

Data awal tahun 2013 menyebutkan bahwa korupsi di bidang kehutanan ini mencapai angka fantastis, Rp 273 triliun.

Hal ini ironis memang karena anugerah kekayaan sebagai modal pembangunan negeri ini ternyata diprivatisasi, bahkan dikorupsi.
Salah satu kesalahan terbesar sebelum reformasi yang masih dirasakan dampaknya hingga sekarang adalah pada tahun 1990-an.

Pada era tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan bagi para pemilik perusahaan hak pengusahaan hutan untuk membayar dana reboisasi setelah melakukan eksploitasi.

Untuk perusahaan yang melakukan eksploitasi berlebihan, pemerintah telah menaikkan dana reboisasi dari 7 dollar AS menjadi 10 dollar AS pada tiap kubik kayu yang ditebang.

Meski demikian, kenyataan yang terjadi di lapangan adalah kebijakan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik.

Kalaupun ada perusahaan yang membayar dana reboisasi, dananya tidak digunakan untuk kepentingan lingkungan, tetapi masuk berbagai kantong, termasuk ke departemen lain, dengan dalih untuk pengembangan teknologi.
Terjadilah ketidakberesan dalam mengalokasikan anggaran, di mana anggaran lingkungan yang diselewengkan bukan untuk memperbaiki lingkungan.

Politik kehutanan

Hal yang sama ternyata terjadi pada masa kini. Semakin hari, masyarakat semakin menyadari bahwa begitu banyak penguasa yang tidak amanah dalam memegang jabatannya.

Semakin banyak politisi yang ternyata memiliki andil di balik kerusakan lingkungan. Betapa banyak kasus pengalihfungsian hutan alam menjadi kebun kelapa sawit atau pabrik kayu ilegal, kasus korupsi yang berselimut birokrasi, dan sebagainya.

Tidak bisa dimungkiri, masyarakat Indonesia memang masih mengedepankan masalah ekonomi dibandingkan dengan kepentingan ekologis mengingat pertumbuhan ekonomi yang belum stabil.
Maka, di negara berkembang ini, apa pun akan digadaikan jika bisa diuangkan, termasuk membeli jabatan untuk mendapatkan uang yang berlimpah.

Permasalahan lingkungan ataupun korupsi kehutanan hanyalah sebuah prolog dari akar permasalahan bangsa Indonesia. Sebab, sejatinya akar permasalahan bermula dari krisis karakter, bukan krisis lingkungan.
Jikalau hanya krisis lingkungan, dalam waktu beberapa tahun pasti bisa kembali seperti semula.

Akan tetapi, jika permasalahan bermula dari krisis karakter, tentu masalah ini menjadi krusial.

Kasus kriminalitas dan kejahatan kehutanan sering kali dicocokkan dengan kuantitas sarjana kehutanan di Indonesia. Namun, sebenarnya kuantitas tidak menjadi masalah yang besar.

Justru yang perlu dikaji adalah dapatkah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang ”adil dan berdaya” jika modal negara ini habis hanya untuk berfoya-foya dan memenuhi nafsu para penguasa?

Tidak sungguh-sungguh

Dalam penutup sebuah esai berjudul ”Masalah Politik dan Birokrasi SDA: Kerusakan Hutan Gorontalo Vs Perjalanan Pengadilan Rahman Doko”, Hariadi Kartodiharjo menyebutkan bahwa kini telah banyak kelompok (masyarakat) yang lelah melihat realitas rusaknya lingkungan (hutan dan sumber daya alam) karena tidak lagi menjadi agenda politik ataupun birokrasinya yang tidak sungguh-sungguh. Ia menilai, kepentingan pelestarian hutan dan sumber daya alam (SDA) tidak akan pernah sinkron dengan kepentingan politik.

Lebih ironis lagi ketika isu lingkungan menjadi trademark para politisi berkampanye untuk ”membeli” suara masyarakat.

Bisa dipastikan ketika pejabat-pejabat tersebut duduk di kursi pemerintahan, realitas yang terjadi sampai saat ini, sekitar 60 persen luas hutan dialokasikan untuk investasi eksploitatif, seperti pertambangan dan pembukaan area perkebunan.

Politisi di sini memegang andil yang cukup besar sebagai perusak alam dengan memberikan izin untuk penebangan ilegal, kasus pengalihfungsian, hingga sengaja melakukan pengawasan yang lemah.

Jika para politisi tersebut ternyata bukan dari kalangan rimbawan, di manakah 8.000 rimbawan Indonesia?

Hal ini kembali mengingatkan akan pentingnya pendidikan karakter atau budi pekerti agar kebenaran bisa ditegakkan.

Hidup di negara berkembang terasa seperti sebuah dosa karena masyarakat harus tunduk pada kebijakan pemerintah, sementara kebijakan-kebijakannya ternyata mengorbankan modal sumber daya alam yang sangat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar