PADA
era Orde Baru, civil society
mengorganisasi diri dalam sejumlah organisasi demi melawan pemerintahan
otoriter. Kini, pada Era Reformasi, kecanggihan media sosial di dunia maya
dimanfaatkan untuk menggalang aksi di dunia nyata.
Ingat awal Januari 2013, saat
hakim Daming Sunusi melontarkan pernyataan yang melecehkan korban
pemerkosaan saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan Hakim Agung di
Komisi III DPR. Selebritas Melani Subono memprotes dan menuntut hakim itu
minta maaf. Digalang lewat Twitter dan petisi di situs change.org yang
dapat dukungan luas, Daming akhirnya gagal menjadi Hakim Agung.
Simak pula cerita seorang
tunanetra Trian Airlangga, September 2013. Dia memprotes Bank BCA lewat
media sosial yang menurut dia menghambatnya membuka rekening lantaran tak
bisa membaca. Protesnya lewat media sosial itu disokong publik. Hanya dalam
waktu tiga hari, bank itu memperbolehkannya membuka rekening.
Ingat juga gerakan publik untuk
melawan kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Oktober 2012.
Suatu malam, Polda Bengkulu mengepung kantor KPK untuk menangkap Novel
Baswedan, penyidik kasus dugaan korupsi dalam pengadaan simulator SIM di
Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Tersulut rentetan kicauan di Twitter,
publik berdatangan ke kantor komisi itu di Kuningan, Jakarta, untuk memberi
dukungan.
Lewat situs change.org, publik
menggalang petisi agar kasus simulator SIM ditangani KPK, bukan Polri. Ada
sekitar 15.000 penanda tangan. Saat bersamaan, mereka menggelar unjuk rasa
besar di Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, didesak untuk segera turun tangan menyelamatkan KPK.
Publik di jalanan serta para internet
citizen (nitizen) di seluruh Indonesia sama-sama menggugat: ”Di mana, SBY”.
Tak lama, Presiden Yudhoyono pun
muncul dan menginstruksikan seluruh penyidikan kasus simulator SIM
diserahkan kepada KPK. Kita tahu, awal September 2013, Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akhirnya menjatuhkan vonis 10
tahun penjara dan denda Rp 500 juta kepada mantan Direktur Korlantas Polri
Irjen Djoko Susilo.
Kita bisa perpanjang lagi daftar
gerakan publik lewat jejaring media sosial yang mampu mengubah keadaan.
Gejala ini lanjutan dari ”Koin
untuk Prita” yang sukses mendukung Prita Mulyasari untuk melawan
kriminalisasi oleh RS Omni Internasional tahun 2009. Begitu pula ”Gerakan
Sejuta Facebookers” yang menyokong pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan
Chandra Hamzah, yang dikriminalkan oleh kepolisian dalam kasus ”Cicak Vs
Buaya” tahun 2009.
Change.org lantas mencoba
mengorganisasi kekuatan semacam itu. Ribuan petisi difasilitasi untuk
memperkuat gerakan antikorupsi, pelestarian lingkungan, kemanusiaan,
layanan publik, atau masalah buruh migran. Inisiatornya dari komunitas,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), selebritas, atau warga biasa. Tuntutan
disuarakan dan dipertemukan dengan pengambil kebijakan.
Modus segar
Menurut Direktur Kampanye
Change.org Usman Hamid, sejak dibuka tahun 2012 sampai sekarang, sudah
sekitar 6.000 petisi diluncurkan. Sebanyak 20 petisi di antaranya
dinyatakan berhasil karena tuntutannya dipenuhi oleh pemerintah,
perusahaan, atau pihak-pihak pembuat kebijakan lain. Anggota komunitas ini
sudah 387.000 orang.
”Seseorang atau komunitas apa
saja dan di mana saja, kini, lebih percaya diri untuk mendorong perubahan
sosial. Ini gerakan masyarakat sipil baru di luar media massa arus utama,
LSM, atau partai politik. Gerakan di dunia maya bisa beririsan dengan
realitas di dunia nyata, bahkan bisa memengaruhinya,” katanya.
Di tengah derasnya
demokratisasi, perkembangan ini menawarkan modus-modus segar sekaligus
menantang kreativitas. Revolusi teknologi kian mempercanggih komunikasi,
penggunanya terus bertambah, dan memungkinkan interaksi secara langsung,
seketika, dan massal. Setidaknya itu tecermin dari dinamika Twitter,
Facebook, blog, website, Skype, Youtube, bahkan Blackberry Messenger
(BBM).
Menurut peneliti politik Center
for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J Vermonte,
organisasi masyarakat sipil dapat memanfaatkan media sosial untuk
memperlancar, memperkuat, dan memperluas gerakannya.
Soalnya, bersamaan
proses otonomi daerah setelah reformasi, problem-problem penyelenggaraan
negara juga menyebar ke daerah-daerah. Korupsi, kebijakan merugikan publik,
atau pelanggaran HAM, kini, juga berlangsung di provinsi, kabupaten, atau
kota.
”Lewat media sosial, isu-isu
lokal di pelosok daerah sangat mungkin digalang agar dapat perhatian dan
penyelesaian secara nasional. Individu atau kelompok masyarakat bisa menjadi
bagian dari gerakan, tanpa harus menjadi aktivis,” katanya.
Jika dikelola secara baik, dalam
jangka panjang kondisi ini bisa mendorong terciptanya masyarakat sipil yang
sehat. Masyarakat yang semakin mandiri, otonom, saling berinteraksi,
menghargai, berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik, dan bersama
membangun peradaban unggul. Pertukaran bermacam gagasan dan aktivisme bakal
memperkuat demokrasi.
Fenomena gerakan civil
society lewat media sosial mendorong daya nalar publik semakin mandiri
dan individu semakin berdaulat. Meski masih hidup, lembaga-lembaga tradisional
tak lagi menentukan. Siapa pun yang mampu mengakses media sosial, bisa
langsung menyuarakan aspirasinya dan bisa bersentuhan pihak-pihak pengambil
kebijakan—yang juga kian aktif dalam komunikasi nitizen.
Namun, gejala ini juga menyimpan
persoalan. Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus
Robet, menengarai, ekspresi sebagian kelas menengah yang aktif dalam
perbincangan di media sosial kerap masih sebatas ”rewel” atau hanya
mengulik soal-soal pribadi. Belum lagi muncul nama-nama anonim, manipulasi
informasi, pencitraan, atau sikap tak bertanggung jawab.
Persoalan lain, dunia digital
mempermudah komunikasi, tapi sekaligus membangun jarak dari dunia nyata.
Terkadang seseorang merasa sudah terlibat dalam gerakan perubahan dengan
hanya menge-”klik” pesan, petisi, atau menyebarkan informasi tertentu.
Padahal, banyak hal yang perlu campur tangan langsung.
”Sebagian orang rajin menge-tweet dari pagi sampai
malam. Tapi, giliran dituntut datang ke TPS (tempat pemungutan suara) untuk
mencoblos dalam pemilu atau pilkada, malah tidur,” katanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar