MENYAKSIKAN pemakaman
Nelson Mandela mengingatkan kembali akan kata-kata bijak. Kebajikan
seseorang dalam menjalani kehidupan pasti terlihat jelas saat dia
menyelesaikan kehidupannya.
Hingga akhir hayatnya,
mantan Presiden Afrika Selatan itu dicintai seluruh rakyatnya. Bukan hanya
yang sepaham dengannya, melainkan juga lawan politiknya di masa lalu. Jerit
tangis haru mengiringi kepergiannya saat peti jenazahnya tiba di kota
kelahirannya, Qunu. Warga menyambut jenazah Mandela di sepanjang jalan
untuk mengucapkan, ”Selamat jalan.”
Banyak warga dunia
merasa kehilangan tokoh besar itu. Yang memberikan penghormatan terakhir
bukan hanya para pemimpin tertinggi negara, melainkan juga masyarakat biasa
di banyak negara. Warga New York, AS, spontan membawa lentera di luar
restoran dengan nama Nelson Mandela di kawasan Brooklyn. Sementara banyak warga
China yang memberikan penghormatan di depan Kedutaan Besar Afrika Selatan
di Beijing.
Mandela boleh jadi
merupakan negarawan yang paling ”diagungkan” dewasa ini. Dia tidak hanya
berhasil menghentikan pertikaian tak berkesudahan di negerinya sendiri dari
praktik politik apartheid, tetapi juga menginspirasi banyak belahan dunia
lain untuk juga menghapuskan segala kebijakan yang diskriminatif. Penerima
Nobel Perdamaian itu telah menjadi simbol humanitas.
Menjadi ”Mandela” bisa
jadi merupakan impian semua politisi, bahkan juga nonpolitisi. Kalau ada
1.000 politisi di negeri ini ditanya soal pencapaian Mandela, bisa jadi
tiada satu pun yang tak menginginkan pencapaian itu. Namun, kalau
diingatkan, bagaimana proses Mandela mengubah dirinya dari seorang politisi
menjadi seorang negarawan, bisa jadi tak satu pun menyanggupinya.
Bagaimana tidak? Mandela
rela mengorbankan dirinya demi memperjuangkan kebebasan rakyatnya. Selama
27 tahun, dia harus meringkuk di penjara dan mengalami banyak penyiksaan
fisik demi memperjuangkan kebebasan rakyatnya.
Membayangkan apa yang
terjadi belakangan ini pada politisi di negeri ini rasanya bak bumi dan
langit. Mereka juga banyak yang dipenjara, tetapi bukan karena berkorban
demi rakyat, melainkan justru malah mencoba mengambil keuntungan diri
dengan mengorupsi uang rakyat. Sungguh getir terasa.
Politisi yang melakukan
korupsi itu bukan lagi kelas teri. Mereka bukan anggota partai atau
pengurus ranting, cabang, atau wilayah, melainkan pengurus pusat, bahkan
pemimpin tertinggi partai dan dewan pembina partai.
Mereka juga ada yang
menduduki posisi-posisi penting dalam negara, baik di lembaga legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif. Gara-gara fenomena ini, muncul kosakata baru,
yaitu trias koruptika, sebagai bentuk pelesetan dari trias politika.
Indonesia Corruption
Watch, Oktober 2013, merilis, sejak semester II-2012 hingga semester
II-2013 saja, tercatat sudah 81 anggota DPR yang terjerat korupsi.
Kementerian Dalam Negeri mencatat, jumlah anggota DPRD provinsi yang
terjerat kasus hukum sudah 431 orang dengan 83,7 persen dari jumlah itu
adalah kasus korupsi.
Di jajaran eksekutif,
mulai dari bupati/wali kota, gubernur, hingga menteri, banyak juga yang
menjadi tersangka dalam perkara korupsi, bahkan sudah menjadi terpidana.
Sementara di lembaga yudikatif kasus tertangkap tangannya mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi puncak dari ironi ini.
Kondisi ini kalau
dibiarkan tentunya bisa mengancam keberlangsungan negeri ini. Berdasarkan
sejumlah jajak pendapat Kompas,
kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara semakin menurun dari
tahun ke tahun. Hal ini tentunya bisa menimbulkan krisis.
Jika mengacu pada
pandangan Ian Bremmer yang mengulas ”Kurva J” untuk memahami mengapa
bangsa-bangsa berjaya dan jatuh, kondisi ini tidak bisa dianggap remeh.
Ian Bremmer
mengingatkan, tidak ada negara yang memiliki kemampuan mencegah terjadinya
guncangan. Namun, pada sebuah negara yang sangat stabil,
guncangan-guncangan itu dapat dikendalikan. Kematangan lembaga-lembaga
negara merupakan salah satu ciri dari negara yang sangat stabil itu.
Sementara itu, negara
tanpa kestabilan dipastikan menjadi sebuah negara gagal, negara yang tidak
mampu menerapkan atau menegakkan kebijakan pemerintah. Negara seperti ini
dapat terpecah belah, dapat direbut, dan dikuasai kekuatan luar atau
terjerumus ke situasi kacau.
Banyak negara pun, kini,
ternyata menaruh perhatian pada perkembangan politik yang terjadi di
Indonesia. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang terjadi di
Indonesia agar bisa memprediksi potensi dan risiko berinvestasi.
Harapan
pada tahun 2014
Melihat apa yang telah
terjadi pada tahun 2013, harapan tertanam pada tahun 2014. Pasalnya,
Indonesia akan kembali menggelar pemilihan umum. Inilah saatnya bagi
seluruh rakyat untuk kembali memilah dan memilih siapa yang layak dan tidak
layak menjadi wakil rakyat dan juga memimpin negeri ini.
Pemilu legislatif yang
akan diselenggarakan pada 9 April 2014 menjadi momentum pertama. Kini,
ratusan ribu orang telah mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Dari
ratusan ribu calon legislator itu, harus terpilih 560 anggota DPR yang
berkualitas dan berintegritas. Begitu juga dengan 77 DPD ataupun 2.137 DPRD
provinsi serta 17.560 DPRD kabupaten/kota.
Hasil pemilu legislatif
ini juga akan menentukan parpol mana yang bisa mengajukan calon
presiden/wakil presiden pada pemilu presiden-wakil presiden yang akan
digelar 9 Juli 2014. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilu Presiden, hanya parpol atau gabungan parpol yang memperoleh 20 persen
kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional dalam pemilu DPR, DPD,
dan DPRD-lah yang bisa mengajukan capres/cawapres.
Setelah capres-cawapres
yang memenuhi syarat ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, rakyat kembali harus
menyeleksi, siapa yang benar-benar menjadikan takhtanya untuk
memperjuangkan nasib seluruh rakyat dan mana yang hanya menjadikan
takhtanya sebagai alat berkuasa semata.
Kita tentu berharap,
politisi terpilih adalah orang-orang yang berjiwa seperti Mandela atau
banyak pahlawan di negeri ini. Mau berkorban untuk rakyat demi kemajuan
seluruh bangsanya, bukan sebaliknya yang mengorbankan rakyat untuk mencari
keuntungan diri sendiri ataupun kelompoknya semata.
Tahun 2014 saatnya bagi
seluruh rakyat untuk benar-benar memilah, lalu memilih.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar