PEMERIKSAAN sejumlah menteri
dalam kasus dugaan korupsi membangkitkan pertanyaan publik tentang
kredibilitas menteri-menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Isu miring
yang menimpa sejumlah menteri ditambah minimnya prestasi menonjol membuat
wajah kabinet tak kunjung membaik di mata publik.
Upaya Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono beberapa kali merombak anggota kabinet sejak Oktober 2011, bahkan
menambah struktur wakil menteri (wamen), tampaknya belum membawa perubahan
berarti.
Hingga jelang pergantian tahun
2013, kepuasan publik terhadap kinerja para menteri kabinet tetap
bergeming. Alih-alih membaik, yang terjadi justru sebaliknya, yakni
terjadi penurunan tingkat kepuasan publik.
Jajak pendapat triwulanan yang
diselenggarakan sejak awal pemerintahan periode kedua SBY (Januari 2010
sampai Oktober 2013) merekam, persepsi positif publik tak pernah beranjak
dari angka maksimal 20 hingga 30 persen.
Bahkan, dari tahun 2010 hingga
2013, setiap tahun terjadi penurunan gradual dari rata-rata 27,2 persen
pada 2010, menurun curam hingga rata-rata sekitar 20,8 persen pada 2011
hingga 2013.
Jika ditelusuri lebih jauh,
penurunan kepuasan publik tampaknya sangat terkait dengan terjadinya
kasus-kasus hukum. Sebanyak 83,1 persen responden menyatakan tidak puas
dalam hal penegakan hukum.
Sebaliknya, yang merasa puas
justru semakin turun. Kepuasan responden pada Oktober 2013 hanya mencapai
15,3 persen, turun dari 20,9 persen dibandingkan jajak Juli 2013.
Persoalan selain hukum yang
cukup besar disorot adalah problem ekonomi, yakni terkait dengan
mahalnya harga kebutuhan hidup sehari-hari.
Persoalan lain adalah terpaan
sejumlah isu moral yang melibatkan individu menteri yang bisa memengaruhi
penilaian publik dan aspek keseluruhan sistem pemerintahan yang melingkupi
menteri.
Sebagaimana diketahui, sistem
pemerintahan saat ini sangat terkait dengan kewenangan pemerintah daerah,
terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dua bidang yang langsung
bersentuhan dan dirasakan masyarakat manfaatnya.
Dibandingkan citra pemerintahan
SBY secara keseluruhan pun, kinerja para menteri masih berada di bawahnya,
terpaut hampir 1,5 kali angka kepuasan pada pemerintahan SBY.
Jika dirunut pada periode
pertama kepemimpinan SBY (2004-2009), pola apresiasi yang sama terlihat.
Namun, berbeda dengan periode kedua ini, akhir periode pertama pemerintahan
SBY (tahun 2009), ada rebound
apresiasi publik yang signifikan kepada menteri, yaitu mencapai hingga 38
persen responden.
Dengan demikian, ada dua hal
yang khas pada akhir tahun jelang berakhirnya periode kepemimpinan Presiden
Yudhoyono saat ini.
Pertama, apresiasi terhadap
pemerintahan SBY tampaknya tak ”mengikutsertakan” apresiasi terhadap para
menteri sebagai anggota kabinet.
Kedua, tak ada perbaikan
penilaian publik atas kinerja para menteri di akhir periode sebagaimana
yang terjadi di periode pertama pemerintahan.
Hal ini tak mengherankan karena
dari sejumlah jajak pendapat sebelumnya, apresiasi terhadap pemerintah
tampak masih ”terkatrol” oleh keberadaan sosok SBY yang secara individu
masih cukup diapresiasi separuh lebih responden (58 persen).
Sebaliknya, para menteri yang
sebagian besar berlatar belakang partai politik justru banyak ”terseret”
citra parpol yang sedang disangkutpautkan dengan sejumlah kasus dugaan
korupsi.
Persoalan mendesak
Terpuruknya penilaian terhadap
Kabinet Indonesia Bersatu II ini bersamaan dengan besarnya ketidakpuasan
publik atas dua persoalan mendasar.
Dua persoalan yang dinilai
mendesak untuk diatasi adalah soal pemberantasan korupsi atau penegakan
hukum (45,1 persen) dan ketersediaan kebutuhan pokok yang terjangkau (34,3
persen).
Publik sangat terkejut dan
kecewa ketika mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap
tangan. Dugaan mafia peradilan dan jual beli kasus di berbagai level pengadilan
seakan terkonfirmasi hingga tingkat tertinggi.
Apalagi Akil disinyalir ikut
memanipulasi beberapa kasus pemilu kepala daerah yang berujung dengan tensi
politik dan konflik di daerah.
Hampir berbarengan dengan itu,
kasus suap SKK migas yang melibatkan Kepala SKK Migas yang juga mantan
Wamen Rudi Rubiandini membuat kepercayaan publik makin tergerus.
Sebanyak 43,8 persen responden
tidak percaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terbebas dari
kasus suap tersebut.
Terkait soal ketersediaan kebutuhan
pokok yang terjangkau, data Litbang Kompas mencatat, dalam bulan
Juni 2013 terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok 2 hingga 6 persen
menjelang kenaikan harga BBM di tengah jumlah kenaikan upah yang bervariasi
di semua provinsi.
Tengok pula polemik harga daging
sapi dan kedelai. Pada 2013, dari kebutuhan kedelai 2,5 juta ton, Indonesia
hanya mampu memproduksi 35 persen kebutuhan nasional. Akibatnya, harga
terus melonjak. Tak heran 60,4 persen responden tidak memercayai kinerja
Kementerian Pertanian bebas dari korupsi.
Kelemahan manajemen yang
berimbas ke masyarakat bawah itu makin parah tatkala kemampuan komunikasi
kementerian juga tak memadai. Hal itu tecermin pada program Kementerian
Kesehatan terkait dengan pencanangan Pekan Kondom Nasional.
Kendati tujuan pencanangan
adalah untuk mencegah penularan HIV/AIDS, langkah yang ditempuh Menteri
Kesehatan dianggap ”kurang peka” pada kondisi sosio kultural masyarakat.
Tidak mengherankan
jika penolakan atas program ini terdengar sangat kencang, bahkan
muncul dari anggota kabinet, terutama Kementerian Agama.
Pola komunikasi sosial yang tak
ideal ini juga sebelumnya terjadi di Kementerian Dalam Negeri dalam kasus
soal ”janji” penyelesaian KTP elektronik. Masyarakat sempat khawatir dengan
kebijakan kartu identitas elektronik tersebut.
Belakangan, sebagian masyarakat
belum juga memperoleh e-KTP, di tengah persoalan terkait pemanfaatan nomor
induk kependudukan (NIK) di e-KTP untuk daftar pemilih tetap (DPT) pemilu.
Penjelasan dari Kemendagri atas karut-marut persoalan DPT akhirnya
dibeberkan tatkala kericuhan sudah terjadi.
Akhir masa jabatan
Tantangan terbesar menjelang
tahun terakhir masa jabatan kabinet yang tinggal hitungan minggu ini adalah
membagi energi dan empati antara tugas sebagai top manager dalam
mengendalikan bidang-bidang pemerintahan dan kepentingan partai politik
pendukung.
Apalagi sejumlah menteri,
termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Perdagangan
Gita Wirjawan, bahkan Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, sudah ancang-ancang maju dalam kompetisi
kursi presiden tahun depan.
Kabinet Indonesia Bersatu
tampaknya harus bekerja keras untuk mempertahankan idealisme pengabdian
bagi masyarakat di tengah tarikan keperluan berkampanye bagi parpolnya atau
bahkan mencari ”dana politik” parpol.
Tanpa keteguhan idealisme itu,
kabinet pemerintahan bisa-bisa akan seperti ”demisioner” dan kehilangan
arah, berjalan limbung tanpa kejelasan arah tujuan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar