Tajdid
Gelombang Kedua
Benni Setiawan ; Wakil
Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah,
dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
|
SUARA
MERDEKA, 19 November 2012
TANGGAL 18 November 2012
persyarikatan Muhammadiyah genap berusia satu abad. Perhitungan ini
didasarkan kalender miladiyah. Walaupun tidak diperingati secara mewah,
spirit pembaruan ala Muhammadiyah tetap menjadi roh gerakan ini.
Menapaki jejak abad kedua,
Muhammadiyah masih menyimpan segudang persoalan. Meminjam istilah Haedar
Nashir (2011), Muhammadiyah pada abad kedua perjalanannya menghadapi zaman
baru kehidupan pascamodern (post-modernism). Kehidupan modern tahap lanjut
tersebut sarat dengan perkembangan dan perubahan yang spektakuler dalam
berbagai bidang.
Muhammadiyah sebagai bagian
dari bangsa berada pada pusaran dinamika globalisasi yang membawa ideologi
kapitalisme dan neoliberalisme global. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
bagaimana Muhammadiyah memberikan kontribusi nyata di tengah perubahan zaman
yang makin cepat?
Muhammadiyah dengan
cita-cita mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan mendirikan
Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua), yang memerlukan
transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya di berbagai bidang kehidupan.
Di sinilah pentingnya aktualisasi ideologi modernisme reformisme Islam dalam
gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang secara niscaya diperlukan oleh
Muhammadiyah dalam memasuki abad baru yang penuh tantangan tersebut.
Muhammadiyah memiliki
potensi dan modal dasar yang kuat untuk memasuki abad kedua melalui gerakan
pencerahan. Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan
kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang
membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta kehidupan.
Dengan pandangan Islam
yang berkemajuan, sumber daya manusia yang berkualitas, kepercayaan
masyarakat yang cukup tinggi, pengalaman sosial yang panjang, dan modal
sosial yang luar biasa Muhammadiyah akan mampu menjadi kekuatan pencerahan di
negeri ini.
Kini dalam memasuki
perjalanan abad kedua, tuntutannya adalah bagaimana segenap anggota, terutama
kader pimpinan Muhammadiyah, memanfaatkan dan memobilisasi seluruh potensi
dan sistem gerakannya untuk tampil menjadi gerakan Islam modern yang unggul
dalam segala lapangan kehidupan.
Melalui gerakan pencerahan
yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan
memajukan kehidupan di tengah dinamikan abad modern tahap lanjut yang sarat
tantangan, Muhammadiyah dituntut melakukan transformasi pemikiran dan gerakan
praksisnya di segala bidang yang selama ini diperankan plus bidang-bidang
baru yang dikembangkannya.
Pembaruan Kedua
Terkait dengan
transformasi di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan
usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut
untuk terus berkiprah dengan inovatif. Pembaruan gelombang kedua menjadi
keniscayaan bagi Muhammadiyah dalam memasuki fase itu. Di sinilah pentingnya
transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan
dan strategi dakwah dan tajdid yang lebih mendasar dan memiliki kekayaan
pemikiran dan model-model praksis (aksi berbasis refleksi) yang bersifat
alternatif (Haedar Nashir, 2011).
Salah satunya melalui
gerakan pengkajian makna Alquran atau pengembangkan tafsir ayat. Selama ini,
Muhammadiyah, meminjam istilah Dawam Rahardjo (2010) mandek dalam proses
pengembangan kajian Alquran (teologi). Muhammadiyah belum beranjak dari 23
tafsir ayat ala Kiai Ahmad Dahlan.
Jika ingin tetap berada di
garda terdepan gerakan pembaruan, menurut Dawam, Muhammadiyah perlu
melahirkan satu karya tafsir Alquran yang komprehensif. Dawam menyebut
misalnya, Ahmadiyah, Mirza Gulam Ahmad mengarang kitab tafsir yang tebal.
Sementara Khalifah Kedua Ahmadiyah Basyiruddin Mahmud Ahmad, mengarang kitab
tafsir yang monumental setebal lima jilid beserta ringkasannya. Dari gerakan
Ahmadiyah Lahore juga lahir tafsir The Holy Qur'an karya Muhammad Ali.
Maka dari itu, guna makin
meneguhkan gerakan pencerahan (tajdid) Muhammadiyah perlu memikirkan kritikan
Dawam Rahardjo. Dengan pemaknaan atas dasar tafsir teks Alquran, Muhammadiyah
akan makin kokoh dalam mengembangkan sayap dakwah. Muhammadiyah akan terjauh
dari stigma Wahabi yang selama ini seakan melekat dengan gerakan yang
didirikan di Yogyakarta ini. Muhammadiyah pun tidak mudah disusupi
gerakan-gerakan Islam transnasional yang merangsek dalam tubuh persyarikatan.
Pada akhirnya,
Muhammadiyah dengan segala potensi yang melimpah perlu kembali mengokohkan
diri sebagai gerakan pembaruan. Gerakan pembaruan merupakan spirit atau roh
utama persyarikatan. Tanpa visi pembaruan Muhammadiyah akan berat menghadapi
perubahan zaman yang makin cepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar