Menuju
Komunitas ASEAN 2015
Chusnan Maghribi ; Alumnus
Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 19 November 2012
"ASEAN masih memiliki sisi lemah
terkait kekompakan, terutama dalam menghadapi isu konflik Laut China
Selatan"
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Ke-21 ASEAN di Phnom Penh Kamboja mulai hari ini hingga besok tampaknya bisa menjadi tonggak penting yang akan menentukan perjalanan ASEAN ke depan. Selain kegiatan itu dihadiri sejumlah pemimpin negara mitra wicara penting, konferensi mengusung tema ''Satu Komunitas, Satu Tujuan dalam Persiapan Menuju Masyarakat ASEAN 2015''.
Sejumlah tokoh
penting yang akan hadir antara lain Presiden Amerika Serikat Barack Hussein
Obama, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak,
Perdana Menteri (PM) China Wen Jiabao, PM Jepang Yoshihiko Noda, PM Australia
Julia Gillard, dan PM India Manmohan Singh.
Pengusuangan tema
tersebut sepertinya ingin menguatkan pesan bahwa konferensi itu memang diplot
untuk lebih mematangkan persiapan negara anggota menuju Komunitas ASEAN 2015.
Hal itu bisa dilihat sekurang-kurannya dari dua agenda yang menjelaskan
tujuan tersebut.
Pertama; peluncuran
Institute ASEAN untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ASEAN Institute for Peace
and Reconciliation-AIPR) dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan (Regional
Comprehensive Economic Partnership-RCEP). Kerangka RCEP menetapkan proses
yang dipimpin ASEAN untuk melibatkan semua mitra dialog ASEAN dan mitra
ekonomi eksternal. Peluncuran itu diagendakan diresmikan oleh PM Kamboja Hun
Sen pada sesi awal pembukaan.
Kedua;
penandatanganan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) ASEAN (ASEAN Human Rights
Declaration-AHRD) oleh 10 kepala pemerintahan negara anggota. Dijadwalkan
penandatanganan dilakukan pada hari pertama konferensi. Deklarasi Hak Asasi
Manusia ASEAN digambarkan sebagai artikulasi prinsip-prinsip HAM yang akan
berfungsi sebagai pedoman bersama untuk kegiatan yang bertujuan mempromosikan
dan meningkatkan kerja sama regional tentang HAM.
Penandatanganan
AHRD tentu cukup melegakan, khususnya bagi negara anggota ASEAN, mengingat
sudah sejak akhir dekade 1990-an atau akhir abad ke-20 ASEAN bermimpi
memiliki sebuah dokumen pedoman bersama tentang HAM. Diharapkan,
negara-negara Barat yang sejauh ini kerap menyoal pelaksanaan HAM di ASEAN,
terutama di Myanmar, mau menyambut baik AHRD yang hampir selaras dengan
prinsip-prinsip Deklarasi HAM Universal PBB itu.
Ke depan, 10 negara
anggota ASEAN pun diharapkan konsisten mengimplementasikan prinsip-prinsip
hak asasi manusia tersebut sebagaimana digariskan oleh dokumen tersebut.
Harapannya adalah masa depan hubungan antara ASEAN dan Barat bisa berlangsung
lebih harmonis dan produktif, tidak lagi diwarnai ketegangan menyangkut isu
penegakan hak asasi manusia.
Sudahkah cukup
pematangan persiapan menuju Komunitas ASEAN 2015 hanya dengan menambah dua
hal itu? Tentu tidak. Apalagi di tengah pematangan persiapan itu kekompakan
ASEAN dalam menghadapi isu tertentu terlihat belum solid. Isu sengketa Laut
China Selatan yang melibatkan empat anggota ASEAN plus China dan Taiwan,
menjadi contoh konkret paling aktual saat ini.
Jalan
Buntu
Perkembangan
terakhir isu sengketa Laut China Selatan menunjukkan semua negara yang
berselisih sepakat menerima konsep zero draft (draf nol) inisiatif Indonesia
sebagai pijakan awal pembahasan lanjutan Kode Tata Berperilaku (Code of
Conduct-CoC) di Laut China Selatan.
Menurut Menteri
Luar Negeri Marty Natalegawa, isi draf nol sangat rinci dan dapat dipakai
untuk menghindari miskalkulasi di antara semua pihak saat bertemu di
lapangan. Tapi persoalannya, apakah pembahasan kelanjutannya nanti dijamin
100 persen tidak akan menemui jalan buntu lagi?
Hingga saat ini tak
seorang pun berani menjamin bahasan lanjutan CoC tidak akan menemui jalan
buntu. Pasalnya, enam negara yang berselisih dipastikan tetap ngotot
mempertahankan klaim masing-masing atas Laut China Selatan. Kengototan ini
disebabkan mereka yakin Laut China Selatan menyimpan potensi kandungan minyak
dan gas bumi (migas) sangat melimpah.
Pemerintah China
misalnya, memperkirakan kawasan Laut China Selatan memiliki cadangan
kandungan minyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Jumlah
itu sama dengan sepertiga cadangan migas China saat ini.
Jadi, walaupun pada
satu sisi kita memang menaruh harapan bahasan lanjutan Code of Conduct di
Laut China Selatan berlangsung lancar dan tidak menemui jalan buntu, di sisi
lain kita harus objektif mengakui probabilitas untuk itu kecil.
Kebuntuan AMM Ke-45 Juli lalu membayangi bahasan lanjutan CoC ke depan.
Di tengah
keseriusan 10 negara anggota mematangkan persiapan menuju Komunitas ASEAN
2015, keluarga besar pakta itu masih memiliki sisi lemah berupa kerentanan
kekompakan, terutama dalam menghadapi isu konflik Laut China Selatan. Jika
sisi lemah ini tak kunjung teratasi tiga tahun ke depan, dikhawatirkan hal
itu bisa menimbulkan preseden buruk bagi keberadaan komunitas ASEAN yang
berambisi menjadi pemain kunci baik di kancah regional maupun global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar