Kongkalikong
Korupsi APBN
Muhammad Bagus Irawan ; Peneliti Idea Studies IAIN
Walisongo Semarang
|
SUARA
KARYA, 31 Oktober 2012
Beberapa
pekan lalu harian ini menampilkan berita "panas" ihwal Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang melempar tudingan terjadinya praktik
kongkalingkong birokrat dan parlemen dalam menggarong Rancangan APBN
(19/7/2012). Pernyataan ini bertalian dengan keyakinan Indonesian Corruption
Watch (ICW) seperti proyek pengadaan Al-Quran tidak berawal pada saat pembahasan
anggaran di Komis VIII DPR saja. Tapi sudah ada kongkalikong pada tahap
perencanaan proyek tersebut (7/7/2012).
Bisa
dipastikan praktik kongkalingkong ini menandai perjalanan korupsi dengan pola
baru di tanah air. Bukan korupsi biasa, melainkan dengan skenario tingkat
tinggi, menggerogoti rincian dan alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Dengan strategi baru ini, korupsi yang sudah kronis
diproyeksikan pada dekade ke depan akan langsung mematikan keberlangsungan
negara-bangsa (nation-state) Indonesia.
Benni
K Harman (Ketua Komisi III DPR) dalam bukunya, "Negeri Mafia, Republik
Para Koruptor: Menggugat Peran DPR Reformasi (2012)," menyebutkan
korupsi di kubu DPR sudah dalam tahap gawat darurat. Tak ayal, banyak lembaga
dan analis menyebut DPR menjadi lembaga terkorup. Hal ini terkait dengan
berbagai kasus korupsi yang menyeruak akhir-akhir ini di lembaga tersebut,
yang melibatkan beberapa anggota dewan baik anggota komisi maupun Badan
Anggaran.
Sejatinya,
ada dua faktor yang menyebabkan korupsi di DPR. Pertama, budaya "Pemilu
Pasar" yang menghasut para calon anggota parlemen keluar modal besar
untuk membeli suara rakyat (money politics). Setelah terpilih menjadi anggota
DPR, lantas mereka berusaha menarik modal dan laba sebesar-besarnya, lewat
jalan korupsi. Kedua, DPR menjadi lembaga yang mempunyai posisi tawar yang
bagus sesuai dengan fungsi dan kewenangannya sehingga DPR seperti merasa
diatas angin, dan mempunyai pengaruh besar terhadap penyelenggaraan negara.
Padahal dibalik semua itu, secara luhur DPR memiliki beban dan tanggung jawab
sebagai representasi dari rakyat Indonesia, bukan demi diri sendiri atau
partai.
Di
sini, DPR memiliki tiga fungsi istimewa. Pertama, fungsi legislasi, sebagai perwujudan
kekuasaan DPR membentuk undang-undang. Fungsi ini sangat rawan penyalahgunaan
kekuasaan dalam hal perancangan undang-undang. Kalau DPR tidak menjaga amanat
rakyat maka DPR akan mudah dipengaruhi kepentingan terselubung eksekutif
ataupun pengusaha elite yang terkait dengan penerapan UU yang dibutuhkan.
Dalam hal ini DPR rentan terhadap suap, dan korupsi.
Kedua,
fungsi anggaran, dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN
yang diajukan oleh Presiden. Di sinilah letak kongkalingkong korupsi APBN
terjadi. Ketika terjadi kontak kerja sama antara DPR dengan birokrat dan
kementerian terkait untuk menggarong uang APBN sebesar-besarnya.
Ketiga,
fungsi pengawasan, DPR melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU dan APBN.
Pada posisi ini DPR pun bisa menenggak uang suap sehingga mencederai fungsi
pengawasan itu sendiri. Dengan kata lain, DPR tidak melakukan fungsi
pengawasan bila sudah mendulang uang suap dan korupsi APBN. Budaya korupsi
Indonesia sudah menarik DPR ikut berpesta pora: persoalan integritas,
mentalitas dan moralitas DPR-lah yang menyebabkan dirinya termasuk mafia
koruptor.
Berbagai
kasus korupsi yang terjadi pada APBN tidak mungkin hanya DPR yang terlibat,
jelas ada peran eksekutif yang turut bergerak menenggak untung dalam berbagai
proyek. Kongkalingkong antara eksekutif dan legislatif ini sudah menjadi
rahasia umum. Jadi, kalau pejabat tinggi apalagi misalnya Presiden tidak tahu
telah terjadi penyelewengan APBN itu memang sangat mustahil. Bagaimanapun
juga, proses kongkalingkong ini wajib dijerat dengan hukum yang memiliki efek
jera, bahkan hukuman mati (apakah pancung, penggal, strum, tembak dan
lainnya). Bila tidak niscaya persekongkolan korupsi ini akan terus membudaya.
Dalam
rapat dengan Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pertahanan Nasional di Kejagung
(25/7/2012), Presiden SBY juga menyatakan proses alokasi APBN dan APBD masih
banyak yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan terindikasi korupsi.
Sontak SBY menilai usaha penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, juga
reformasi birokrasi masih sangat buruk, rapornya merah. Dalam hal ini,
Presiden juga manusia yang berhak mengungkapkan kegelisahannya ini. Akan
tetapi, ekspektasi Presiden yang memiliki kekuatan dan elektabilitas penuh
untuk mengatur negara adalah harga mati yang patut dipertanggungjawabkan.
Presiden tak bisa hanya mendakwa dan lepas tangan.
Kurtubi
(2012) terkait ini mengatakan, jalan pikiran Presiden melontarkan pernyataan
seperti itu demi mengharapkan dukungan publik. Dukungan ini diperlukan
sekiranya kebijakan Presiden mendapatkan perlawan dari jajaran kabinet dan
partai politik yang menjadi sohibnya, sekretariat gabungan. Logika presiden
benar adanya, karena ia memahami benar bahwa melalui praktik politik selama
ini, dukungan tiga perempat kekuatan politik yang menjadi mitra koalisinya di
parlemen sangat riskan terhadap kongkalingkong kepentingan politik kekuasaan.
Sebagai
contoh, saat menghadapi hak angket DPR dalam kasus Bank Century menjadi pengalaman
traumatis bagi Presiden, karena suaranya dihajar dan dipinggirkan atas adanya
kongkalingkong parlemen dalam pemutusan skenario kasus Bank Century. Nampak
sekali, SBY terlalu galau sebagai pemimpin. Malahan terkesan Presiden sekadar
melepas tanggung jawab atau upaya mempertahankan citra.
Padahal, Presiden
diharapkan sekali bersikap tegas, memutus mata rantai kongkalingkong dengan
memecat pejabat birokrasi yang tersangkut korupsi itu, menjerat para anggota
DPR, dan menciptakan hukum mati bagi koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar