Konsolidasi
Perbankan Nasional
Susidarto ; Praktisi Perbankan
|
SUARA
KARYA, 31 Oktober 2012
Kebijakan
izin berjenjang (multiple license)
di perbankan mensyaratkan bank memiliki modal besar dan efisien. Oleh sebab
itu, bank-bank bermodal cekak dan tidak efisien, selayaknya tahu diri dan
sesegera melakukan konsolidasi usaha dalam bentuk merger atau penggabungan
usaha dengan bank lainnya. Oleh sebab itu, kendati belum berhasil, Bank
Indonesia (BI) tak henti-hentinya menghimbau kalangan pemilik bank untuk
segera melakukan konsolidasi (merger usaha) agar lebih leluasa mengembangkan
bisnisnya.
Dalam
beleid Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang sudah terbit sejak 2004
lampau, BI memprediksi, dalam 10-15 tahun ke depan, jumlah bank umum akan
berkurang menjadi 35 sampai 58 bank. Komposisinya adalah, 2-3 bank
internasional (modal lebih dari Rp 50 triliun), 3-5 bank beroperasi secara
nasional (modal Rp 10 triliun - Rp 50 triliun), sebanyak 30-50 bank fokus
pada segmen tertentu (modal Rp 100 miliar - Rp 10 triliun), dan bank kegiatan
usaha terbatas (BPR) bermodal di bawah Rp 100 miliar.
Saat
ini, terdapat 121 bank umum dan 1.669 BPR. Jumlah itu jelas masih sangat
banyak dan sesuai dengan skenario API, mungkin bisa dikurangi hingga
kira-kira berjumlah separuhnya. Itu berarti memerlukan adanya langkah
penggabungan bank atau dikenal dengan istilah merger perbankan. Namun,
realitas di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan. Langkah merger
antarbank, sangat sulit dilakukan. Maklum, si pemilik biasanya masih
berorientasi sebagai pemegang saham mayoritas dan maunya jadi bos kecil di
bank miliknya. Jika dipaksakan, investor lokal biasanya justru melepas
sahamnya kepada investor asing.
Terlambat
Bisa
dikatakan, konsolidasi perbankan sesuai dengan konsepsi dalam API, sejak 2004
yang sudah secara terus menerus dicanangkan oleh otoritas perbankan,
sangatlah terlambat. Tahun 2006 lalu, misalnya, BI mengeluarkan aturan
mengenai kepemilikan tunggal (single presence policy) yang di dalamnya memuat
insentif merger bank. Nyatanya, hanya sedikit bank kecil yang mau merger. Itu
pun kebanyakan yang merger merupakan bank yang dimiliki oleh pemilik yang
sama (keluarga). Di negara lain, konsolidasi perbankan sudah berlangsung
sejak 1980-an hingga dekade 1990-an.
Kondisi
bertambah runyam manakala sudah terlambat, ternyata gayung tidak pernah
bersambut. Para pemilik bank-bank gurem lebih bangga jika memiliki bank
sendiri, ketimbang memiliki bank bersama-sama dengan pemilik lain. Egoisme
dan kebanggaan berbisnis bank, menjadi kendala tersendiri dalam proses merger
(penggabungan). Mereka lebih senang menjadi 'raja kecil' di bank milik
sendiri. Tak aneh, kalau sampai sekarang, sangat sulit untuk mencari bank
yang melakukan merger karena keinginan sendiri dan dimiliki oleh banyak
orang. Merger perbankan yang terjadi selama ini lebih bersifat mandatory
merger (merjer bank yang dikomando regulator) karena ada masalah tertentu di
dalamnya.
Situasi
bertambah runyam, karena muncul pandangan bahwa merger bank ibarat dua orang yang
akan menikah, sehingga harus ada kecocokan chemistry, dus tidak bisa
dipaksakan. Terlebih di Indonesia ini menganut demokrasi ekonomi yang
memberikan kesempatan berbisnis bagi usaha skala kecil hingga besar. Investor
kecil domestik juga perlu diberi kesempatan memiliki bank. Padahal, kalau
bank-bank kecil melakukan merger (penggabungan usaha), maka akan didapatkan
banyak manfaat.
Pertama,
meningkatkan pendapatan perusahaan karena melakukan pemasaran yang lebih baik
serta pendapatannya terdiversifikasi. Kedua, perusahaan akan mengalami
efisiensi dalam berbagai biaya operasi dibanding dengan dua perusahaan yang
terpisah. Berbagai biaya pemasaran, SDM, biaya iklan, serta biaya lainnya
bisa dipangkas. Ketiga, kapitalisasi perusahaan akan semakin meningkat. Jika
sendiri, kapitalisasi perusahaan tidak akan dapat meningkat dengan pesat
dikarenakan pertumbuhan labanya kecil.
Keempat,
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kelima, memperbaiki posisi
keuangan perusahaan serta kualitas neraca perusahaan. Ini akan memberikan
efek positip bagi citra yang baik dimata investor, sehingga terjadi
peningkatan nilai saham perusahaan hasil merger. Keenam, keuntungan pajak,
serta seabkrek keuntungan lannya.
Kendati
kondisi di lapangan kurang menguntungkan. BI dan para pemangku kepentingan
pada industri perbankan tidak boleh menyerah. Bagi ban-bank umum skala gurem
yang bermodal cekak dan tidak mau melakukan merger bisa beralih status
menjadi BPR. Toh sebentar lagi aka nada revisi UU Perbankan yang di antaranya
akan ada perubahan mendasar mengenai kepersertaan kliring lokal, di mana BPR
akan bisa ikut serta di dalamnya. Maklum, kelemahan BPR selama ini hanya
masalah tidak bisa ikut serta dalam kliring lokal, sehingga membatasi ruang
geraknya untuk mendapatkan nasabah giro (baca nasabah bisnis).
Aturan izin
berjenjang, selain untuk memancing bank melakukan konsolidasi, juga
dimaksudkan untuk pemerataan jasa perbankan hingga merata ke seluruh wilayah
pelosok Indonesia. BI akan mewajibkan bank berekspansi di daerah yang selama
ini dianaktirikan. BI mencatat, DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim serta
Sumut merupakan daerah dengan layanan perbankan sangat tinggi. Sementara
layanan perbankan di Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Papua Barat sangat
minim layanan perbankan. Kawasan semacam ini merupakan potensi terpendam yang
harus digarap segera. Respon kalangan perbankan sangat ditunggu oleh pelaku
dunia usaha (bisnis) di sana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar