Kamis, 01 November 2012

Konsolidasi Perbankan Nasional


Konsolidasi Perbankan Nasional
Susidarto ;  Praktisi Perbankan
SUARA KARYA, 31 Oktober 2012

  
Kebijakan izin berjenjang (multiple license) di perbankan mensyaratkan bank memiliki modal besar dan efisien. Oleh sebab itu, bank-bank bermodal cekak dan tidak efisien, selayaknya tahu diri dan sesegera melakukan konsolidasi usaha dalam bentuk merger atau penggabungan usaha dengan bank lainnya. Oleh sebab itu, kendati belum berhasil, Bank Indonesia (BI) tak henti-hentinya menghimbau kalangan pemilik bank untuk segera melakukan konsolidasi (merger usaha) agar lebih leluasa mengembangkan bisnisnya.
Dalam beleid Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang sudah terbit sejak 2004 lampau, BI memprediksi, dalam 10-15 tahun ke depan, jumlah bank umum akan berkurang menjadi 35 sampai 58 bank. Komposisinya adalah, 2-3 bank internasional (modal lebih dari Rp 50 triliun), 3-5 bank beroperasi secara nasional (modal Rp 10 triliun - Rp 50 triliun), sebanyak 30-50 bank fokus pada segmen tertentu (modal Rp 100 miliar - Rp 10 triliun), dan bank kegiatan usaha terbatas (BPR) bermodal di bawah Rp 100 miliar.
Saat ini, terdapat 121 bank umum dan 1.669 BPR. Jumlah itu jelas masih sangat banyak dan sesuai dengan skenario API, mungkin bisa dikurangi hingga kira-kira berjumlah separuhnya. Itu berarti memerlukan adanya langkah penggabungan bank atau dikenal dengan istilah merger perbankan. Namun, realitas di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan. Langkah merger antarbank, sangat sulit dilakukan. Maklum, si pemilik biasanya masih berorientasi sebagai pemegang saham mayoritas dan maunya jadi bos kecil di bank miliknya. Jika dipaksakan, investor lokal biasanya justru melepas sahamnya kepada investor asing.
Terlambat
Bisa dikatakan, konsolidasi perbankan sesuai dengan konsepsi dalam API, sejak 2004 yang sudah secara terus menerus dicanangkan oleh otoritas perbankan, sangatlah terlambat. Tahun 2006 lalu, misalnya, BI mengeluarkan aturan mengenai kepemilikan tunggal (single presence policy) yang di dalamnya memuat insentif merger bank. Nyatanya, hanya sedikit bank kecil yang mau merger. Itu pun kebanyakan yang merger merupakan bank yang dimiliki oleh pemilik yang sama (keluarga). Di negara lain, konsolidasi perbankan sudah berlangsung sejak 1980-an hingga dekade 1990-an.
Kondisi bertambah runyam manakala sudah terlambat, ternyata gayung tidak pernah bersambut. Para pemilik bank-bank gurem lebih bangga jika memiliki bank sendiri, ketimbang memiliki bank bersama-sama dengan pemilik lain. Egoisme dan kebanggaan berbisnis bank, menjadi kendala tersendiri dalam proses merger (penggabungan). Mereka lebih senang menjadi 'raja kecil' di bank milik sendiri. Tak aneh, kalau sampai sekarang, sangat sulit untuk mencari bank yang melakukan merger karena keinginan sendiri dan dimiliki oleh banyak orang. Merger perbankan yang terjadi selama ini lebih bersifat mandatory merger (merjer bank yang dikomando regulator) karena ada masalah tertentu di dalamnya.
Situasi bertambah runyam, karena muncul pandangan bahwa merger bank ibarat dua orang yang akan menikah, sehingga harus ada kecocokan chemistry, dus tidak bisa dipaksakan. Terlebih di Indonesia ini menganut demokrasi ekonomi yang memberikan kesempatan berbisnis bagi usaha skala kecil hingga besar. Investor kecil domestik juga perlu diberi kesempatan memiliki bank. Padahal, kalau bank-bank kecil melakukan merger (penggabungan usaha), maka akan didapatkan banyak manfaat.
Pertama, meningkatkan pendapatan perusahaan karena melakukan pemasaran yang lebih baik serta pendapatannya terdiversifikasi. Kedua, perusahaan akan mengalami efisiensi dalam berbagai biaya operasi dibanding dengan dua perusahaan yang terpisah. Berbagai biaya pemasaran, SDM, biaya iklan, serta biaya lainnya bisa dipangkas. Ketiga, kapitalisasi perusahaan akan semakin meningkat. Jika sendiri, kapitalisasi perusahaan tidak akan dapat meningkat dengan pesat dikarenakan pertumbuhan labanya kecil.
Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kelima, memperbaiki posisi keuangan perusahaan serta kualitas neraca perusahaan. Ini akan memberikan efek positip bagi citra yang baik dimata investor, sehingga terjadi peningkatan nilai saham perusahaan hasil merger. Keenam, keuntungan pajak, serta seabkrek keuntungan lannya.
Kendati kondisi di lapangan kurang menguntungkan. BI dan para pemangku kepentingan pada industri perbankan tidak boleh menyerah. Bagi ban-bank umum skala gurem yang bermodal cekak dan tidak mau melakukan merger bisa beralih status menjadi BPR. Toh sebentar lagi aka nada revisi UU Perbankan yang di antaranya akan ada perubahan mendasar mengenai kepersertaan kliring lokal, di mana BPR akan bisa ikut serta di dalamnya. Maklum, kelemahan BPR selama ini hanya masalah tidak bisa ikut serta dalam kliring lokal, sehingga membatasi ruang geraknya untuk mendapatkan nasabah giro (baca nasabah bisnis).
Aturan izin berjenjang, selain untuk memancing bank melakukan konsolidasi, juga dimaksudkan untuk pemerataan jasa perbankan hingga merata ke seluruh wilayah pelosok Indonesia. BI akan mewajibkan bank berekspansi di daerah yang selama ini dianaktirikan. BI mencatat, DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim serta Sumut merupakan daerah dengan layanan perbankan sangat tinggi. Sementara layanan perbankan di Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Papua Barat sangat minim layanan perbankan. Kawasan semacam ini merupakan potensi terpendam yang harus digarap segera. Respon kalangan perbankan sangat ditunggu oleh pelaku dunia usaha (bisnis) di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar