Islam
dan Dialog Peradaban untuk Perdamaian
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah
dan UMJ
|
REPUBLIKA,
02 November
2017
Belum lama ini Presiden Joko Widodo
menunjuk M Din Syamsuddin sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog dan
kerja sama antaragama dan peradaban. Penunjukan ini merupakan langkah
strategis pemerintah dalam mempromosikan Islam moderat kepada dunia
internasional, di tengah konstelasi global yang penuh kekerasan, konflik, dan
perang. Dalam dua bulan terakhir, dunia nyaris diam terkait genosida atas
Rohingya.
Tragedi krisis kemanusiaan dan
kejahatan perang di Myanmar, Palestina, Suriah, Irak, dan sejumlah negara
Timur Tengah semakin membenarkan tesis Samuel Huntington bahwa “setelah Uni
Soviet runtuh, 'musuh dan rival utama' Barat adalah Islam".
Benarkah yang terjadi saat ini
adalah benturan peradaban antara dunia Islam dan dunia Barat? Apakah ruang
dialog peradaban atas nama kemanusiaan sudah tertutup untuk dibangun dan
dikembangkan di tengah maraknya kekerasan, konflik, dan terorisme?
Menurut Yusuf al-Qaradhawi
(2016), yang terjadi saat ini bukanlah benturan peradaban, melainkan benturan
kepentingan. Kapitalisme Barat yang dimotori AS sangat berambisi menancapkan
hegemoni politik dan ekonomi di dunia Islam, terutama di Timur Tengah.
Karena, dua per tiga cadangan
minyak dunia berada di kawasan ini. Selain itu, negara-negara Islam umumnya
masih berminda “ketergantungan teknologi”, khususnya teknologi perminyakan
dan militer pada Barat.
Akibatnya, dua kutub
kepentingan yang saling memiliki dependensi itu berada dalam situasi
konfrontasi. Dunia Islam saat ini, lanjut al-Qaradhawi, perlu mengakui
kemajuan dan keunggulan Barat di bidang sains dan teknologi, sembari berupaya
keras mengejar ketertinggalan.
Maka itu, menjadi tidak relevan
jika Barat dan dunia Islam harus “dibenturkan” dengan kekuatan militer dan
perang fisik, meskipun AS dan sekutunya telah menabuh “genderang perang” dan
“proyek politik adu domba dan pecah belah” di Afganistan, Irak, Palestina,
Suriah, Yaman, dan sebagainya.
Sikap konfrontatif tidak
diperlukan dalam menghadapi Barat, karena kekuatan dunia Islam dalam berbagai
bidang masih sangat lemah. Alternatif terbaik adalah membangun dialog
peradaban dan dialog humanis. Islam adalah agama dialogis.
Islam tidak pernah membenarkan
tindakan teror, apa pun modus operandinya. Misi perdamaian ini juga tampak
jelas dalam kebijakan Nabi SAW mengirim surat-surat dialogis dengan pemimpin
dua super power saat itu, yakni Raja Heraklius dari Romawi dan Kisra Persia.
Sejarah Islam terlalu lama
dihiasi “kultur politik” yang cenderung penuh konflik dan intrik perebutan
kekuasaan dengan kekerasan. Kita perlu kembali belajar bagaimana umat Islam
pada masa al-Khulafa’ al-Rsyidîn mampu hidup berdampingan.
Mereka hidup rukun, dan penuh
toleransi dengan umat beragama lainnya di Suriah, Mesir, Palestina, Yordania,
dan sebagainya. Umat Islam perlu memiliki kearifan ilmiah seperti pernah
ditunjukkan oleh Khalifah al-Makmun dalam pengembangan sains dan teknologi.
Sang khalifah memberdayakan
para sarjana Kristen sebagai penerjemah dan peneliti pada Bait al-Hikmah,
seperti Hunain bin Ishaq dan Ishaq bin Hunain. Islam dialogis adalah Islam
yang mengedepankan keluhuran moral dan intelektual.
Setidaknya, ada tiga prinsip
dialog peradaban yang dapat membuahkan tatanan dunia yang adil dan damai.
Pertama, keterbukaan dan saling pengertian. Melalui dialog terbuka dan
berkesetaraan, umat Islam perlu terus membangun jembatan dialog dengan dunia
Barat.
Sikap apriori dan antipati
terhadap pihak lain tidak pernah menyelesaikan persoalan. Boleh jadi Barat
bersikap “memusuhi” dunia Islam, antara lain, karena belum sepenuhnya
memahami dan mengerti hakikat ajaran Islam yang sangat properdamaian.
Fakta menunjukkan, eksistensi
Islam di Amerika pascatragedi 11 September justru membuat sebagian warga
Amerika semakin tertarik mempelajari dan memahami Islam sehingga tidak
sedikit di antara mereka itu kemudian menjadi mualaf.
Kedua, sikap adil dan saling
menghormati. Dalam membangun jembatan dialog peradaban, Islam dan Barat belum
sepenuhnya bersikap adil dan saling menghormati, baik menghormati eksistensi
masing-masing maupun menghormati kedaulatan negara lain.
Jika Barat cenderung
mengintervensi dan menerapkan standar ganda terhadap dunia Islam, sebaliknya
dunia Islam terkadang kurang mau membuka diri. Dua sikap kontradiktif semacam
ini tentu sulit dipertemukan. Jembatan dialog antara dua dunia harus
dipertemukan.
Pendekatan yang dapat dilakukan
dalam konteks ini adalah memberdayakan institusi dunia Islam, seperti
Rabithah al-‘Âlam al-Islami dan Organisasi Kerja sama Islam agar menunjukkan
wibawa dan pengaruhnya terhadap proses dialog peradaban dengan Barat.
Lembaga dunia Islam ini
seharusnya mampu melakukan lobi dan diplomasi perdamaian dengan dunia Barat,
sehingga dampak kekerasan di kawasan Timur Tengah dapat dieliminasi.
Ketiga, kebersamaan dan saling
kemitraan. Pada era digital dan millennial ini, tidak ada satu pun negara
yang mampu berdiri sendiri.
Semua negara di dunia saling
membutuhkan. Karena itu, dialog peradaban harus diletakkan dalam konteks
signifikansi hidup dalam kebersamaan dan saling kemitraan. Jika prinsip ini
dapat diwujudkan, niscaya Barat dan Islam tidak pernah berada dalam posisi
vis a vis.
Dengan budaya dialog, umat
Islam akan terlatih memberdayakan diri sendiri, sehingga umat menjadi
tercerahkan, bermartabat, dan berkemajuan. Ketiga prinsip tersebut pada
dasarnya merupakan nilai-nilai dasar Islam yang sangat kompatibel dengan
sistem demokrasi.
Namun, dalam aktualisasinya,
menurut Mohammed ‘Abid al-Jabiri dalam al-Demokratiyyah wa Huqûq al-Insan
(2015), dunia Islam masih mengalami kendala psikis dan mental dalam
berdemokrasi. Ini disebabkan kultur transisi.
Baik dari kultur
pascakolonialisme menuju kultur merdeka maupun dari kultur politik otoriter
menuju politik demokratis. Menarik dicatat, mentalitas inferior yang dialami
sebagian besar negara di dunia Islam akibat penjajahan Barat menjadi salah
satu kendala untuk menerima demokrasi yang notabene berasal dari Barat.
Dengan demikian, dialog
peradaban dalam konteks nilai-nilai demokrasi substantif perlu diorientasikan
kepada aktualisasi persamaan, keadilan, kesetaraan, kedamaian, dan keharmonisan
dalam berbangsa dan benegara.
Untuk aktualisasi dialog
peradaban dalam rangka demokrasi substantif itu, umat Islam perlu berkomitmen
memiliki kesadaran dan kebangkitan Islam. Kebangkitan ini hanya dapat
dilakukan melalui sinergi iman, ilmu, dan amal saleh secara terpadu.
Kata kuncinya adalah tetap
kembali menjadikan Alquran dan as-Sunnah sebagai referensi utama dalam menata
kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya secara demokratis, sambil
terus belajar dan bekerja cerdas memajukan sains dan teknologi dengan.
Dengan dialog peradaban untuk
perdamaian, dunia Islam tidak hanya belajar nilai-nilai positif dari mana pun
asalnya, tetapi juga melejitkan kesadaran bersama bahwa Islam sejatinya tidak
pernah memusuhi demokrasi dan kemajuan.
Dunia Islam harus senantiasa
berkolaborasi dengan pihak mana pun dalam membangun dialog peradaban humanis
untuk perdamaian abadi di dunia. Dengan dialog peradaban humanis, krisis
Rohingya dan dunia Islam niscaya dapat dicarikan solusinya.
Dalam konteks inilah, peran
strategis dan kontribusi positif Indonesia melalui utusan khusus di bidang
dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban menjadi taruhan, sekaligus
harapan baru untuk perdamaian dunia yang berkeadilan, bermartabat, dan
berkemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar