Islam
Nusantara Merambah Timur Tengah
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul
Ulama;
Analis Pemikiran dan
politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
|
DETIKNEWS,
02 November
2017
Harian al-Arab, koran berbahasa
Arab yang terbit di London menurunkan tulisan panjang dengan judul Islam
Nusantara Madkhal Indonesia li Mujtama' Mutasamih. Artinya: Islam Nusantara
adalah gerbang Indonesia menuju masyarakat toleran. Beberapa bulan yang lalu,
harian terbesar di Mesir Al-Ahram dan al-Masry al-Youm juga memotret Islam
Indonesia yang ramah dan toleran, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Namun yang unik dan menarik
dari liputan Harian al-Arab ini, karena secara khusus memotret Islam
Nusantara yang secara resmi digaungkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang.
Islam Nusantara terus membahana di Amerika Serikat, Eropa, Asia, bahkan
hingga Amerika Latin.
Kali ini, media yang berbahasa
Arab tidak ketinggalan untuk mengetengahkan gerakan Islam Nusantara yang
dianggap telah berhasil menghadapi paham dan kelompok-kelompok ekstremis yang
kerap menggunakan jubah agama. Sebagai sebuah nama, Islam Nusantara bisa
dikatakan baru. Tetapi sebagai sebuah gerakan, Islam Nusantara sudah lama
sekali tumbuh dan berkembang, terutama jika merujuk kepada sejarah masuknya
Islam ke Nusantara yang dikenal menghargai tradisi dan budaya lokal. Corak
tersebut ingin menegaskan bahwa Islam yang dibawa dan datang ke Nusantara,
khususnya Indonesia, adalah Islam yang ramah, moderat, dan toleran.
Ketika Islam Nusantara menjadi
perbincangan di media berbahasa Arab, maka hal tersebut akan menjadi dentuman
yang dahsyat. Pasalnya, dunai Arab saat ini sedang menghadapi tantangan yang
cukup serius perihal maraknya ekstremisme dan terorisme.
Sejak jatuhnya Dinasti Ottoman
di Turki pada 1923, dunia Arab sulit bangkit dari keterpurukan. Alih-alih
bangkit, justru mereka terperosok dalam kubungan maraknya ideologi-ideologi
ekstremis-radikal, yang hingga sekarang ini memecah belah dunia Arab. Mereka
masih enggan untuk memasuki era demokrasi dan modernitas yang memberikan
ruang pada rasionalitas. Mayoritas dunia Arab ingin kembali ke masa lalu.
Nah, munculnya Islam Nusantara
merupakan wajah baru yang bisa dijadikan sebagai oase pemikiran bagi dunia
Arab, dan dunia Islam pada umumnya. Mereka selama ini alergi terhadap segala
hal yang berbau Barat, karena Barat identik dengan kolonialisme. Mereka pun
mulai melirik wajah Islam lain yang tumbuh subur di Indonesia. Akhirnya,
Islam Nusantara mendapatkan perhatian khusus.
Apa sebenarnya yang dimaksud
dengan Islam Nusantara? Kiai Said Aqil Siradj dalam pidato pembukaan Muktamar
NU ke-33 di Jombang menggarisbawahi beberapa karakteristik dari Islam
Nusantara. Pertama, semangat keagamaan (al-ruh
al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk
mengedepankan formalisasi agama, melainkan mengutamakan akhlaqul karimah. Ini
sejalan dengan misi utama kedatangan Nabi Muhammad yang membawa misi untuk
menyempurnakan akhlaqul karimah.
Kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah). Setiap umat
Islam di negeri ini hendaknya mempunyai nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal
tersebut sudah terbukti dalam sejarah pra-kemerdekaan, para ulama bersama
para pendiri bangsa yang lain saling bahu membahu untuk mewujudkan
kemerdekaan, dan bersama-sama untuk melahirkan Pancasila sebagai falsafah
bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah
bersifat final.
Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta'addudiyyah). Setiap umat
Islam harus mengenali dan menerima keragaman budaya, agama, dan bahasa. Tuhan
pasti bisa jika hendak menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah
memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar di antara mereka saling
mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan.
Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Setiap umat
Islam hendaknya mampu menjadi prinsip kemanusiaan sebagai pijakan utamanya.
Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan dalam rangka menjaga tatanan sosial
yang damai dan harmonis. Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung
tinggi kemanusiaan.
Keempat karakter tersebut
memang secara distingtif menjadi unsur pembeda antara Islam Nusantara dengan
Islam ala Timur Tengah. Salah satu yang mencolok perbedaannya karena Islam
ala Timur Tengah cenderung bersifat politis. Sedangkan Islam Nusantara
bersifat kultural.
Meskipun demikian, tantangan di
masa kini dan masa mendatang tidaklah mudah. Globalisasi telah mengubah
banyak hal. Karena intensitas interaksi dan pertukaran pemikiran begitu
tinggi, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk revitalisasi paradigma Islam
Nusantara, terutama dalam rangka membumikan paham keagamaan yang makin
dinamis.
Semua menyadari, kaum muda yang
dikenal dengan "kaum milenial" kerap menjadi sasaran utama kelompok
ekstremis. Karena keterbatasan pemahaman tentang keislaman dan gairah yang
meluap untuk mencari jati diri dan identitas, maka mereka mudah dicekoki
dengan paham-paham transnasional yang dapat mengancam solidaritas kebangsaan.
Akhirnya mereka terjerembab dalam paham khilafah.
Di era Google, setiap orang
mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk menganggap dirinya sebagai
"muslim sejati". Setiap orang mempunyai kemungkinan yang sama untuk
mengetahui banyak hal tentang pemahaman keislaman, meskipun hanya di
permukaan, sehingga muncul istilah "muslim google" dan "muslim
wikipedia".
Maka dari itu, para penggiat
studi keislaman harus mampu mengartikulasikan pemikiran-pemikiran keislaman
kontemporer yang konstruktif dan mampu menjawab beberapa problem kemanusiaan.
NU melalui diskursus Islam Nusantara berada di garda terdepan untuk
senantiasa menggelorakan paham Islam Rahmatan lil 'Alamin yang mengukuhkan
moderasi dan toleransi, serta nasionalisme yang tinggi.
Apresiasi media berbahasa Arab
terhadap Islam Nusantara merupakan modal dan bukti nyata, bahwa keberislaman
kita tidak kalah bersaing dengan paham-paham yang berkembang di Timur Tengah.
Bahkan, kita bisa menyumbangkan pemikiran kita kepada Timur Tengah yang saat
ini sedang galau dan kehilangan arah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar