Mengelola Perbatasan Serumpun
Ahmad Sahidah ; Dosen
senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
JAWA POS, 29 April
2016
DALAM keadaan hubungan Indonesia-Malaysia yang tidak
bergejolak, kaum terpelajar dari Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia
(LIPI) serta Institute Penyelidikan Indonesia, Thailand, dan Singapura
menggelar diskusi meja bundar di Universitas Utara Malaysia (26/4/2016).
Di sela-sela sambutannya, Ganewati Wuryandari sebagai
ketua rombongan LIPI menegaskan bahwa pertemuan itu penting untuk
menyelaraskan pembangunan perbatasan di antara dua negara. Dengan kesamaan
budaya, sosial, dan kekerabatan, keduanya bisa menjadikan isu perbatasan
bukan lagi sebagai persaingan (contestation),
tetapi kerja sama (cooperation).
Setelah era Orde Baru, pemerintah memandang penting
pengembangan perbatasan sebagai cara mewujudkan keamanan dengan meningkatkan
kesejahteraan. Karena itu, pada era reformasi, pendirian badan khusus untuk
menangani sempadan, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), menjadi
fasilitator agar pelbagai lembaga atau instansi yang terkait untuk memajukan
daerah terluar itu tidak terpisah-pisah, melainkan integratif. Dengan
demikian, anggaran yang dikucurkan bisa digunakan secara efisien dan efektif.
Ketika pembangunan dipacu untuk memajukan Jawa dengan
andaian pengaruh tetesan ke bawah (trickle
down effect), ternyata daerah terluar masih tertinggal dan rawan dari
pelbagai segi. Misalnya, ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan. Daerah yang dimaksud tersebar di 13 provinsi, 41
kabupaten, dan 187 kecamatan.
Dengan pemetaan itu, diharapkan semua pihak akan lebih
berfokus mempercepat rencana pengembangan perbatasan. Mengingat, pada waktu
yang sama, ancaman terorisme makin kuat. Sebab, teroris memanfaatkan daerah
terpencil untuk menyuburkan ideologi kekerasan.
Dengan ikhtiar tersebut, warga dua negara serumpun ini tak
lagi hanya menghabiskan waktu untuk bertikai terkait dengan konflik buruh
migran dan klaim kebudayaan. Mengenai tenaga kerja, kedua negara telah
mempunyai mekanisme untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dan, klaim kesenian
tak mempunyai dasar yang kukuh karena kekerabatan yang kental. Bayangkan,
garis pemisah antara Kalimatan dan Sabah-Sarawah mengandaikan kedekatan
silsilah dan etnik yang sama.
Pada gilirannya, garis perbatasan yang acapkali memicu
perselisihan tidak lagi diseret pada konflik. Tapi, penyelesaian persengketaan
batas wilayah dan membuka lintas batas sebanyak-banyaknya.
Dengan asal keturunan yang sama, hubungan perdagangan
kedua warga tak hanya terkait dengan perniagaan, tetapi juga persaudaraan.
Pada waktu yang sama, pihak berwenang juga memikirkan kebutuhan-kebutuhan
lain seperti pendidikan dan sarana kesehatan.
Lebih jauh, agar hubungan itu setara, pihak pengembang
perbatasan juga membangun infrastrukur yang memungkinkan kelancaran arus
transportasi untuk mobilitas penduduk dan distribusi barang-barang.
Dengan demikian, usaha tersebut akan menjadikan wilayah
terluar tidak lagi sebagai halaman belakang, tapi halaman depan. Dengan
catatan, seluruh kebutuhan pengembangan sumber daya manusia harus setaraf
dengan daerah paling maju di tanah air.
Tak pelak, mengingat pentingnya pengelolaan perbatasan,
pemerintah berkomitmen untuk menjadikan daerah terluar berdaya saing dengan
mengucurkan anggaran yang selalu naik. Dari sekitar Rp 1 triliun ketika awal
BNPP dibentuk pada 2010, pada 2015 pemerintah menaikkan anggaran itu menjadi
Rp 15,9 triliun.
Malahan, pemerintah mengkhususkan pembangunan
infrastruktur kawasan perbatasan Rp 2,7 triliun. Dana terakhir tersebut
digunakan untuk membangun seluruh akses menuju perbatasan di Kalimantan
dengan Malaysia dan Papua dengan Papua Nugini serta NTT dengan Timor Leste.
Namun, semua pihak harus belajar dari laporan BNPP 2014.
Lembaga tersebut telah menginventarisasi dana-dana perbatasan yang tersebar
di kementerian dan lembaga. Hasil yang terkumpul mencapai Rp 14 triliun.
Sayang, dengan uang sebanyak itu, dana yang efektif sampai
ke daerah hanya Rp 1,6 triliun.
Selain usaha perbaikan, apa yang dilakukan Tun Mahathir
Mohamad perlu ditiru. Untuk mengembangkan perbatasannya dengan Negara Gajah
Putih, perdana menteri terlama itu membangun Universitas Utara Malaysia
seluas 1.006 hektare.
Secara otomatis, jalan menuju lintas batas Semenanjung dan
Thailand dibangun dengan baik. Bukan hanya itu. Daerah sekitar kampus
berkembang pesat dengan dibangunnya pasar raya, perumahan, serta perkantoran.
Karena itu, sudah waktunya pemerintah kita membangun
kampus-kampus di perbatasan. Selain tanah masih tersedia luas, institusi itu
bisa dengan mudah menarik ribuan orang untuk tinggal di kawasan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar