tuhan
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 02 Mei
2016
Tuhan semakin banyak....
Sajak-sajak Mustofa Bisri tak pernah dibangun dari
statemen yang marah. Puisi itu bahkan bisa kocak. Lebih sering bait-baitnya
gundah-kegundahan yang menarik: seorang alim melihat keadaan rumpang di
sekitarnya tanpa ia merasa jadi lebih suci dari sekitarnya itu. Tiap kali
sajak penyair dan kiai dari Rembang ini mengandung kritik sosial, tiap kali
ia serasa ditikamkan ke satu bagian hidupnya sendiri.
"Tuhan semakin banyak" mengemukakan satu
paradoks zaman ini: makin sering Tuhan dipajang di pelbagai laku dan
kata-kata, makin jauh Ia dari bumi. "Aku" manusia telah
menggantikan-Nya:
Di mana-mana tuhan, ya Tuhan
Di sini pun semua serba tuhan
Di sini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas
Tuhan pun jadi "tuhan" (dengan "t"):
bukan saja hanya jadi salah satu dari wujud di dataran benda-benda, tapi juga
hanya sebuah bunyi yang diulang-ulang. Tuhan jadi banal. Iman jadi otomatik.
Bersamaan dengan itu, "Aku" manusia menggantikannya dalam posisi di
depan.
Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama'ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan
Tentu saja ada perbedaan yang radikal antara "Akuku
aku tuhan" di akhir sajak itu dengan ekspresi mistik manunggaling kawula
gusti. Pengalaman seorang sufi adalah pertalian cinta; sajak Mustofa Bisri menunjukkan
sebaliknya: Tuhan dipasang sebagai alat, mirip stempel. Dan puisi ini
mencatatnya dengan masygul.
Tuhan yang "semakin banyak" yang disebut Mustofa
Bisri agaknya seperti dewa-dewa Yunani dalam Iliad: mereka ikut
mengintervensi dan bertikai dalam hampir tiap babakan Perang Troya. Atau
mungkin yang terjadi sebaliknya: dalam perang yang bengis itu, para pelakunya
ingin memindahkan tanggung jawab dan kesalahan kepada kekuatan di luar diri
mereka-kekuatan yang digambarkan sebagai mutlak dan bebas dan bisa berbuat
tak semena-mena. Dan itulah dewa-dewa mitologi Yunani.
Roberto Calasso, yang beberapa novelnya adalah tafsir baru
atas mitologi, menulis dalam La
letteratura e gli dèi ("Sastra dan Para Dewa") bahwa sastra
dapat merupakan siasat halus untuk membawa dewa-dewa lepas dari tempat mereka
yang aman, bersih, dan kekal-dari "klinik universal" (clinica universale) mereka. Sastra
"mengembalikan mereka ke dunia, untuk diserakkan ke permukaan bumi,
tempat mereka biasanya berdiam".
Dengan kata lain, sastra, karena tak meletakkan diri
sebagai Kitab Suci, bisa membuat yang sakral jadi bagian hidup sehari-hari,
bersentuhan dengan segala macam hal, termasuk yang terbuang, najis, dan
kurang patut. Tapi biarpun terserak di seantero muka bumi, yang suci tetap
tak jadi profan dan banal, selama ia tak dijadikan alat manusia seperti
"tuhan" dalam sajak Mustofa Bisri.
Ada sebuah petuah agar kita membuat iman ibarat garam:
sesuatu yang tak tampak namun meresap memberi corak, membubuhkan rasa tanpa
berlebihan, dan sebab itu tak membuat berat atau heboh dalam perjalanan.
Novel Ahmad Fuadi, Negeri Lima Menara, adalah contoh yang
baik
bagaimana iman selamanya hadir tak kurang dan tak berlebihan-dan sebab
itu tak berbenturan dengan kehidupan, bahkan ketika kehidupan berpindah dan
berubah.
Novel ini sebuah rekaman rite of passage Alif Fikri,
seorang anak muda Sumatera Barat. Ia selalu murid yang pintar sejak di
madrasah tsanawiyah di Kabupaten Agam sampai dengan ketika ia belajar di
Pondok Gontor, Jawa Timur. Ia sebenarnya ingin masuk SMA, tapi pesan amaknya
yang ia cintai menahannya untuk tetap berada di jalur pendidikan agama.
Sesekali ada kebimbangan, tapi Alif Fikri menyukai kehidupan di pesantren
itu-yang sebenarnya tak terpisah dari Indonesia yang "modern". Di sana
ia juga bertemu dengan fragmen-fragmen dunia lain. Ia tak gentar mengalami
beda dalam dirinya. Pesan Kiai Rais selalu dikenangnya: "Jangan berharap
dunia yang berubah, tapi diri kitalah yang harus berubah."
Maka dalam novel ini tak terasa ada guncangan dan krisis,
ketika kesalihan kota kecil Indonesia bertaut dengan modernitas
"Barat". Awal cerita di dekat Gedung Capitol yang diselimuti salju
di Washington, DC; akhir cerita: di bawah monumen Nelson di Trafalgar Square,
London. Negeri Lima Menara dibuka dengan kata-kata Imam Syafi'i di abad ke-8
yang diajarkan kepada para murid Pondok Gontor: "Aku melihat air menjadi
rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih...."
Yang dirayakan gerak dan perjalanan. Tuhan sudah dengan
sendirinya menyertai, tanpa, dalam kata-kata Mustofa Bisri, "mendominasi
lalu lintas". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar