Embrio Suku Bunga Rendah
Anton Hendranata ; Chief
Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
|
KOMPAS, 02 Mei
2016
Tahun lalu, perdebatan
suku bunga tinggi begitu menggema antara kubu pro-stabilisasi dan
pro-pertumbuhan. Kedua kubu selalu merasa argumennya yang lebih logis
dibanding kubu lain. Secara kasatmata, pengambil kebijakan tidak dalam rel
yang sama, seolah tidak ada kesatuan hati, ke mana sebaiknya suku bunga
bergerak untuk mendukung perekonomian bergerak ke arah output potensialnya.
Ini sangat membingungkan pasar, kalkulasi investasi menjadi relatif lebih
sulit.
Menariknya pada tahun ini, perdebatan suku
bunga itu sirna, pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) kelihatan begitu kompak, dengan arah sama: penurunan suku bunga. Meski
demikian, ini tak berarti tak ada kehebohan dan kegelisahan mengenai suku
bunga ini. Riak dan gemercik tentang suku bunga masih membumbui perekonomian
kita.
Pada Februari 2016, OJK menurunkan batas
maksimum bunga deposito secara drastis, untuk bank-bank BUKU 3 (modal inti Rp
5 triliun hingga di bawah Rp 30 triliun) dan 4 (modal inti di atas Rp 30
triliun), yang pernah dilakukan sebelumnya (September 2014). Selain itu, OJK
juga meminta bank-bank BUKU 3 dan 4 menurunkan suku bunga kredit secara
bertahap hingga satu digit pada akhir 2016.
Suku
bunga satu digit
Realistiskah dan mungkinkah bank-bank
tersebut dalam waktu singkat memenuhi target suku bunga kredit ini?
Kuncinya, siapkan dulu fundamental
makroekonominya dengan baik, yaitu inflasi yang relatif stabil dan rendah
serta rupiah yang terukur dan stabil. Ketika ini belum siap, saya kira
terlalu dini dan ambisius suku bunga kredit akan turun signifikan dalam waktu
singkat.
Cikal bakal tren inflasi turun secara
kontinu dan stabil sebenarnya sudah dirintis oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Reformasi migas sudah dimulai November 2014, yaitu dengan menurunkan subsidi
bensin secara signifikan, di mana harga bensin naik Rp 2.000 per liter
menjadi Rp 8.500 per liter. Keputusan ini sungguh berani dan melawan arus
karena bertentangan dengan tren harga minyak dunia yang sedang turun.
Dewi Fortuna memang selalu bersahabat
dengan pemerintahan Jokowi-JK, tak lama kemudian harga minyak dunia turun
drastis ke 56 dollar AS per barrel. Akhirnya per 1 Januari 2015, harga bensin
turun ke Rp 7.600 per liter setelah dinaikkan. Inilah titik awal, pemerintah
berhasil menghapus subsidi bensin dan hanya menyubsidi solar Rp 1.000 per
liter. Suatu momen kunci di mana pemerintah berhasil terbebas dari sandera
subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang selalu menjadi ganjalan berat APBN
setiap tahun.
Anjloknya harga minyak dunia tak bisa
terlepas dari dampak negatif jangka menengah dan panjang krisis ekonomi
global 2008. Pemulihan perekonomian dunia ternyata tidak seperti yang
diharapkan dan relatif lambat. Satu per satu negara maju terjebak dalam
kesulitan, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Rusia.
Tiongkok yang biasanya menjadi penyangga
ekonomi global terancam mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang
signifikan. Jika pertumbuhan ekonomi Tiongkok di bawah 6 persen, bukan tidak
mungkin akan menarik ke bawah pertumbuhan ekonomi negara-negara lain di
dunia.
Lemahnya perekonomian global tecermin dari
inflasi yang rendah, bahkan deflasi terjadi di Eropa dan Jepang. Suku bunga
negatif, yang dulunya tabu dan terdengar aneh di dalam suatu perekonomian,
sudah tak mengagetkan lagi. Hal ini untuk mendorong masyarakat mengurangi
tabungannya, untuk lebih konsumtif. Itu pun belum tentu efektif untuk
menstimulus perekonomian yang lagi lesu.
Ketika ekspektasi perekonomian ke depan
masih suram, maka masyarakat tetap saja membatasi konsumsinya, dengan lebih
banyak menabung, dalam rangka berjaga-jaga di kemudian hari.
Bunga
acuan BI
Dengan tren suku bunga rendah di dunia,
seharusnya perekonomian kita bisa memanfaatkan momentum ini, sambil
memperbaiki masalah struktural perekonomian domestik, terutama yang berkaitan
dengan infrastruktur dan distribusi barang. Ruang kita untuk menurunkan suku
bunga makin terbuka lebar, probabilitas terjadi keluarnya modal asing dari
perekonomian domestik mengecil.
Dan, benar saja, sejak awal tahun, BI tiga
kali berturut-turut menurunkan suku bunga acuannya menjadi 6,75 persen dari
7,50 persen. Kuatnya keinginan untuk menurunkan suku bunga kredit secara
signifikan bak gayung bersambut, OJK menurunkan batas maksimum suku bunga
deposito yang cukup agresif, disertai dengan target suku bunga kredit di
bawah 10 persen pada akhir tahun ini.
Kemudian, dalam rangka mempercepat dan
meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter. BI mereformulasi suku
bunga kebijakan, dari BI Rate menjadi BI 7-Day (reverse) Repo Rate. Setelah 19 Agustus 2016, BI 7-Day Repo Rate
menjadi acuan utama di pasar keuangan, bukan BI Rate lagi seperti sebelumnya.
Pada saat ini, suku bunga BI 7-Day Repo Rate sebesar 5,50 persen, sedangkan
BI Rate 6,75 persen yang merupakan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
12 bulan.
BI 7-Day Repo Rate ini diharapkan
memperbaiki kelemahan BI Rate agar: (1) lebih bersifat transaksional, (2)
mempunyai hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, dan (3) lebih
mendorong pendalaman pasar.
Menarik disimak kebijakan BI ini, mari kita
tunggu suku bunga deposito maksimum yang akan diambil oleh OJK. Begitu juga
dengan suku bunga penjamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Akankah ini
menjadi drama kebijakan moneter yang akan membuat suku bunga di pasar lebih
efisien untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan?
Semoga
saja, untuk menggapai cita-cita suku bunga kredit menuju satu digit (di bawah
10 persen) tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah
kita tidak perlu iri berlebihan dengan negara-negara tetangga kita
(Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina), yang suku bunganya jauh lebih
rendah daripada Indonesia.
Karakteristik Indonesia jauh berbeda dari
mereka, yaitu (i) inflasi masih tinggi dan fluktuatif; (ii) kredit bermasalah
(NPL) relatif tinggi, 2,9 persen, sedangkan Malaysia (1,6 persen), Thailand
(1,2 persen), dan Filipina (0,5 persen); (iii) likuiditas tidak merata,
didominasi oleh bank-bank BUKU 4 (45 persen).
Kemudian, (iv) peranan dana pihak ketiga
relatif kecil (41 persen terhadap PDB), sedangkan Malaysia (157 persen),
Thailand (99 persen), Filipina (53 persen), dan Singapura (143 persen); (v)
kredit mikro cukup besar di Indonesia; (vi) rendahnya akses masyarakat
Indonesia ke perbankan (hanya 20 persen), jauh lebih rendah dibandingkan
India (35 persen).
Akan tetapi, kita harus bisa seperti
negara-negara tetangga, bahkan lebih baik lagi, untuk menikmati era suku
bunga rendah yang kita impikan semua. Kuncinya, fokus benahi infrastruktur
dasar, transportasi, dan pelabuhan, diikuti dengan cepatnya perizinan dan
kepastian hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar