Sistematika Reklamasi Berkelanjutan
Gurgur Manurung ; Alumnus
Pascasarjana Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Peneliti di
Institute For Indonesia Local Policy Studies, Banten; Praktisi Lingkungan
Hidup
|
KOMPAS, 03 Mei
2016
Isu reklamasi di Teluk Jakarta
tidak kompleks dan tidak menjadi
polemik jika kita memahami Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Reklamasi teluk Jakarta
dihubungkan dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi
Pantai Utara Pasal 4 yang mengatur
kewenangan Gubernur DKI untuk
memberikan izin reklamasi, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil yang mengalami perubahan menjadi UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Polemik ini mengakibatkan
pemerintah pusat melalui Menteri
Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya
Rizal Ramli menghentikan kegiatan reklamasi dalam rapat yang dihadiri
Menteri Lingkungan dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP), dan Gubernur DKI Jakarta.
Pemerintah membentuk komite
gabungan lintas kementerian dan
instansi. Komite itu, antara lain, beranggotakan dua dirjen dan dua direktur
dari Kementerian LHK, dua dirjen dan
dua direktur dari KKP, perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, perwakilan
Sekretaris Kabinet, deputi Kemenko Maritim dan Sumber Daya, dan perwakilan
Pemprov DKI Jakarta (Kompas, 19/4/2016).
Melihat komite gabungan yang
dibentuk pemerintah, peraturan apa yang menjadi panduan mereka untuk bekerja?
UU No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPL) menjadi payung hukum untuk melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Akhir tahun
2015, Presiden Jokowi hadir dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
ikut menyepakati pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Untuk menjawab polemik reklamasi
teluk Jakarta, UU No 32 Tahun 2009 Pasal 15 Ayat 1 menyebutkan:
"Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program." Absennya
kewajiban pemerintah untuk membuat KLHS salah satu sumber polemik. Sebab,
KLHS harus menjadi acuan aktivitas di sebuah kawasan.
Pemerintah mewajibkan pengusaha membuat dokumen lingkungan seperti analisis mengenai dampak lingkungan
(amdal), padahal kewajiban pemerintah untuk membuat KLHS tidak dijalankan.
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar
mengatakan, pihaknya menekankan dua
hal terkait reklamasi , yaitu soal
amdal yang belum lengkap karena selama
ini hanya dibuat per pulau. Menurut Siti Nurbaya, amdal harus secara
keseluruhan dan kedua adalah audit lingkungan, sekaligus penegakan hukum.
Siti Nurbaya tidak bicara
kelalaian pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhi kewajibannya untuk
membuat KLHS. Amdal dibuat harus
berdasarkan KLHS. Jadi, tidak ada
artinya amdal tanpa KLHS. KLHS menjadi
alat pemerintah untuk mengendalikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan. KLHS menjadi hal yang urgen sesuai amanat UU No 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah
lalai
Dalam hal penegakan hukum,
pemerintah juga lalai berdasarkan amanat UU No 32 Tahun 2009 Pasal 95 yang
berbunyi: (1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik
pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
Kemudian, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum
terpadu diatur peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang
mengatur penegakan hukum terpadu
terhadap tindak pidana lingkungan hidup pun belum ada.
Pemerintah harus jujur mengakui
bahwa kelalaiannya untuk membuat KLHS dan tidak menyelesaikan amanat UU No 32
Tahun 2009 Pasal 95 Ayat 2 untuk membuat UU penegakan hukum terpadu.
Semua aturan yang ada berkaitan dengan pengelolaan reklamasi tak ada yang
bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2009, seperti UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil yang mengalami perubahan menjadi UU No 1 Tahun 2014
tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Semua aturan
ini mengatakan agar kegiatan memperhatikan lingkungan yang bermuara kepada UU
No 32 Tahun 2009.
Mengurai aturan yang berkaitan
dengan reklamasi, maka dimulai dari UU No 32 Tahun 2009 Pasal 15 tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat KLHS. Semua
kegiatan yang ada harus berdasarkan KLHS sehingga daya dukung dan daya
tampung lingkungan dapat
dikendalikan. Semua kegiatan yang
diatur oleh UU harus berdasarkan KLHS. Dengan demikian, tidak ada aturan yang
tumpang tindih.
Selain kewajiban pemerintah untuk
membuat KLHS dan UU pelaksanaan penegakan hukum terpadu, pemerintah juga
wajib membuat Rencana Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Pasal 5 UU No 32 Tahun 2009 mengatakan RPPLH melalui tahapan (a) Inventarisasi
Lingkungan Hidup; (b) Penetapan Ekoregion; (c) Penyusunan RPPLH. UU No 32
Tahun 2009 mengamanatkan harus lahirnya satu UU, 20 Peraturan
Pemerintah (PP), dan 9 Peraturan Menteri (Permen). Pasal 126 menyebutkan
bahwa peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam UU ini ditetapkan paling lama satu tahun
terhitung sejak UU diberlakukan. UU No
32 Tahun 2009 sudah berlangsung hampir
tujuh tahun, tetapi kewajiban
pemerintah belum dijalankan. Opini publik fokus kepada dokumen amdal.
Jika pemerintah segera
menyelesaikan amanat UU No 32 Tahun 2009 dan mengimplementasikannya, tidak
ada aturan yang saling menindih. Semua aturan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tinggal beradaptasi. Konflik
lingkungan sejatinya sangat mudah terselesaikan jika pemerintah dan
pemerintah daerah segera menyelesaikan KLHS. Lingkungan akan lestari jika
pembangunan terintegrasi satu dengan lain. Dengan demikian, keseimbangan alam
terjamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar