Kebebasan Tanpa Keadilan
Yudi Latif ; Direktur
Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila
|
KOMPAS, 03 Mei
2016
Di negeri ini, kehidupan rakyat
tidak pernah keluar dari siklus kekecewaan. Pemerintahan baru datang dengan
janji baru, tetapi musim pengharapan bergegas tilas dilibas badai sumpah
serapah.
Belasan tahun Orde Reformasi
digulirkan, pemerintahan demokratis tak kunjung menghadirkan pemerintahan
inklusif yang memberikan ruang tumbuh bagi pemberdayaan rakyat dan kesejahteraan
umum. Kebebasan demokratis tetap saja menjadikan negara sebagai alat untuk
memperkaya segelintir elite penguasa dan pengusaha.
Di bawah kendali modal, wacana
publik didominasi argumen kepentingan pragmatis: kehilangan wawasan ideologis
dan kesadaran emansipatorisnya. Isu reklamasi, misalnya, hanya dilihat dari
segi boleh-tidaknya pantai dan teluk itu direklamasi; tanpa mempersoalkan
segi yang lebih ideologis menyangkut strategi pemerataan pembangunan dan
kesesuaiannya dengan rencana pembangunan tol laut; serta segi inklusif
perihal siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari proyek reklamasi
tersebut.
Ketika pusat pengambilan
keputusan, media, dan pemuka pendapat menjadi proxy (dekat) kekuatan pemodal,
alokasi sumber daya strategis bangsa ini cenderung makin eksklusif;
memberikan karpet merah kepada pemodal besar, bahkan pada penunggak pajak
kelas kakap lewat rencana tax amnesty (pengampunan pajak); seraya terus
memarjinalkan rakyat kecil. Akibatnya sungguh ironis, kebebasan demokratis
justru menjadi pelumas yang efektif untuk meluaskan ketidakadilan dan
kesenjangan sosial.
Perkembangan demokrasi membuat
rakyat harus terbiasa memahami istilah dengan pengertian terbalik. Di negara
ini, pemaknaan demokrasi tidak mengikuti definisi Abraham Lincoln, government of the people, by the people,
and for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat), tetapi terjungkir menjadi government
off the people (pemerintahan terputus dari rakyat), buy the people (membeli rakyat), dan force the people (menekan rakyat).
Kenyataan ini menunjukkan surplus
kebebasan yang menyertai Orde Reformasi tak serta-merta mampu membebaskan
rakyat dari belenggu penderitaan. Terbukti pula, kebebasan saja tidak bisa
mengatasi tirani (pemusatan dan kezaliman kekuasaan). Saatnya
mempertimbangkan penghayatan klasik, yang memperhadapkan tirani bukan dengan
kebebasan, melainkan dengan keadilan. Dalam perspektif ini, masalah Indonesia
bukanlah defisit kebebasan, melainkan defisit keadilan.
Sumber ketidakadilan politik hari
ini bermula dari melambungnya ongkos kekuasaan. Banjir uang yang mengalir ke
dunia politik membawa polusi pada kehidupan publik. Segala nilai
dikonversikan dalam nilai uang. Kepentingan investor nyaris selalu
dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki
sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.
Hubungan politik digantikan
hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi.
Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan
menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi
demokrasi dengan menempatkan aku di atas kita yang menimbulkan penolakan atas
segala yang madani (civic) dan publik.
Gejala moneterisasi yang kita
saksikan tak terbatas pada masyarakat politik, tetapi merembes dalam
kehidupan masyarakat sipil. Masyarakat madani sebagai reservoir nilai
keberadaban dan kesukarelaan jebol ketika uang menjadi penentu, bahkan dalam
pemilihan pimpinan organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Ketika uang menjadi bahasa
politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dalam
keserakahan orang kaya baru, keampuhan demokrasi elektoral lekas ambruk.
Suara bisa dibeli dan dimanipulasi. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas
Komisi Pemilihan Umum dihancurkan. Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan
tidak memiliki saluran efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte
kebijakan politik.
Di bawah kendali pengusaha hitam
dan penguasa kejar setoran, demokrasi cuma mengenal bahasa ”politik dan
ekonomi pragmatik”. Bahasa ”politik pragmatik” selalu bertanya, ”siapa yang
menang?” Bahasa ekonomi pragmatik selalu bertanya, ”di mana untungnya?”
Demokrasi melupakan satu bahasa lagi yang sangat penting, yakni bahasa
hikmat-kebijaksanaan yang mempertanyakan, ”apa yang benar?”
Bahasa inilah yang dipersyaratkan
sila keempat Pancasila. Kerakyatan (demokrasi) harus dipimpin; tak boleh
berkembang menjadi ajang avonturisme kepentingan perseorangan dan golongan.
Dipimpin oleh hikmat (kearifan yang mencerahkan dan membebaskan) dan
kebijaksanaan (kepantasan, kemasukakalan, keadilan, dan pertanggungjawaban).
Yang direngkuh lewat fusi antarhorizon dalam wahana permusyawa- ratan
(konsensus deliberatif-argumentarif).
Dengan hilangnya bahasa
hikmat-kebijaksanaan, gerak demokrasi menjauh dari cita-cita keadilan sosial.
Demokrasi yang dijalankan tidak hati-hati dan tidak sesuai dengan kondisi
sosial-budaya dan falsafah bangsa bisa menyebabkan ketidakadilan dan
penderitaan rakyat serta gagal memberikan martabat dan pemerintahan yang baik.
Akhirnya, seperti diingatkan
Socrates, ”Kebajikan tidaklah datang dari uang, tetapi dari kebajikanlah uang
dan hal baik lainnya datang kepada manusia, baik kepada individu maupun
negara.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar