Rismaharini
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
|
KORAN TEMPO, 14 Mei
2016
Tiga tahun lalu, di bulan
September, saya menulis di rubrik ini tentang Risma, Wali Kota Surabaya. Saya
kagum dan memujinya. Risma menampilkan gaya pemimpin berbeda. Ia ikut
mengatur lalu lintas ketika macet dan memungut sampah di jalanan. Di mobilnya
ada sapu, ember, plastik tempat sampah. Bukan buah dan camilan seperti yang
biasa ada di mobil pejabat.
Padahal saat itu Risma
lagi galau dan "kurang cocok" dengan wakilnya, Wisnu Sakti Buana,
politikus yang menjabat Ketua PDIP Surabaya. Wisnu didapuk menjadi wakil wali
kota karena pejabat sebelumnya, Bambang Dwi Hartono, mengundurkan diri. Risma
dan Wisnu "musuh dalam selimut", perbedaannya tajam, baik soal
kebijakan--misalnya soal jalan tol dalam kota--maupun gaya kepemimpinan.
Namun menjelang pilkada serentak 2015, keduanya dibuat "akur
mendadak". Popularitas Risma melonjak karena prestasinya yang luar
biasa. Paket ini dicalonkan kembali dan meraup suara di atas 82 persen,
bahkan nyaris sebelumnya menjadi calon tunggal. Tak ada yang berani melawan
Risma.
Sekarang Risma dalam
sorotan dan saya menulis namanya lebih lengkap, Rismaharini, melihat Risma
hari-hari ini. Ia dibuatkan spanduk di Jakarta untuk dijadikan calon gubernur
melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Tidak jelas siapa yang membuat
spanduk itu, PDIP mengaku tak tahu-menahu. Namun tak bisa disembunyikan,
petinggi partai banteng itu tidak ragu mengusung Rismaharini. Bagi mereka,
hanya Rismaharini yang bisa menang melawan Ahok. Bahwa Rismaharini tak ikut
dalam uji kelayakan calon-calon gubernur Jakarta, ada alasan yang dijadikan
pembenar: calon yang diusung PDIP adalah hak prerogatif Ketua Umum Megawati.
Rismaharini tak boleh menolak, karena ia sudah menjadi kader partai dan itu
adalah "penugasan partai".
Hari ini saya tetap kagum
kepada Rismaharini karena ia "melakukan pembangkangan".
Berkali-kali ia menyebutkan tak rela meninggalkan Surabaya, karena ia
berjanji tetap menjadi wali kota sampai akhir masa jabatannya. Ia tak ingin
mengkhianati janji itu. Namun saya menduga Rismaharini yang sudah jadi kader
partai berbeda dengan Risma yang polos saat ia pegawai daerah di awal
jabatannya pertama. Sekarang mungkin ia bisa mencium "aroma politik".
Apakah dukungan yang
menggebu untuk mencalonkan Rismaharini sebagai calon Gubernur Jakarta bukan
sebuah jebakan? Jebakan itu adalah "pelengseran halus" agar ia
berhenti jadi Wali Kota Surabaya. Ada yang mengincar jabatan itu.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal
7 huruf (t) mengatur bahwa anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, serta pegawai negeri sipil, harus mengundurkan
diri dari jabatannya sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah. Memang
undang-undang itu hendak direvisi lagi dan DPR bernafsu agar yang
mengundurkan diri hanyalah anggota TNI dan polisi, pejabat lain hanya cuti.
Belum tentu pasal ini akan lolos direvisi.
Jika pasal itu tetap,
Rismaharini harus mundur sebagai wali kota begitu ia didaftarkan sebagai
cagub DKI Jakarta. Tentu ada yang "mendapat durian runtuh" di
Surabaya. Jika pasal itu berhasil direvisi DPR, Rismaharini bisa menanggung
malu jika kalah melawan Ahok. Ia kembali menjabat wali kota dengan menyandang
status pecundang, barangkali pula ditambah julukan "kemaruk
jabatan". Ini beban negatif. Rismaharini tahu, mengalahkan Ahok ibarat
berjudi.
Saya ingin Rismaharini
tetap pada suara hatinya, selesaikan jabatan di Surabaya, lalu bertarung
untuk menjadi Gubernur Jawa Timur. Ini politik, siapa tahu ada jebakan
batman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar