Republik Minus GBHN
Tito Sulistio ;
Direktur Utama Bursa Efek
Indonesia
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Rencana beberapa elite
politik untuk memasukkan kembali pasal tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara dalam konstitusi bersumber dari kekecewaan atas ketiadaan strategi
yang komprehensif dalam pembangunan nasional pada sekitar satu dekade
terakhir.
Absennya strategi
jangka panjang yang terstruktur dan berdimensi jangka panjang sudah
disuarakan sejak Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada 1998. Sampai saat
ini, tidak terlihat adanya suatu kebijakan pembangunan yang disosialisasikan
secara terbuka kepada rakyat. Tidak ada lagi strategi pembangunan nasional
yang dapat dijadikan acuan oleh para pelaku usaha, masyarakat, dan bahkan
pejabat negara untuk secara struktural melakukan upaya pembangunan bersama.
Tidak jarang
antarpejabat negara seperti saling bertengkar dan mengkritik kebijakan
pejabat lainnya di publik, memperlihatkan tidak adanya koordinasi. Bahkan,
ada beberapa keputusan menteri yang berumur hanya dalam hitungan hari karena
dibatalkan oleh presiden.
Dalam konteks
pembangunan ekonomi, banyak kebijakan yang saling bertentangan. Deregulasi di
sisi hulu diikuti dengan pembatasan usaha di sisi hilir. Debirokratisasi
perizinan diikuti dengan semangat xenophobia ekonomi. Tidak ada kepastian
mengenai iklim dan arah pembangunan.
Dengan berbagai
permasalahan yang ada ini, muncul romantisme untuk kembali memasukkan pasal
mengenai GBHN dalam konstitusi. Artinya, mengamendemen kembali UU 1945. Harapannya,
wakil-wakil rakyat di MPR yang bijak diharapkan dapat ”memimpin secara hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”, menghasilkan produk agung berupa GBHN yang kemudian menjadi
pedoman bagi presiden dalam menjalankan kewenangannya.
Ketentuan mengenai
penetapan GBHN sebenarnya sudah ada dalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum akhirnya
dihapuskan pada amendemen ke-3, November 2001. Pasal yang berbunyi: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
Undang-Undang Dasar dan Garis Besar Haluan Negara” dihapus bersama dengan
perubahan dari pasal 1 ayat 2. Penghapusan pasal ini pada dasarnya
menghilangkan sebagian kedudukan peran DPR dan MPR sebagai lembaga tinggi
negara dan kekuasaan dibagi ke lembaga tinggi negara lain sesuai bidangnya.
Penghapusan pasal 3 ini memberikan penegasan mengenai bentuk negara kesatuan
Republik Indonesia sebagai negara presidensial.
Oleh karena itu,
wacana pemberlakuan kembali GBHN menimbulkan beberapa permasalahan. Dalam
tataran filosofis, kembalinya GBHN seolah-olah mengkhianati semangat dasar
pemberdayaan dan penegasan kekuasaan eksekutif yang diusung oleh perubahan
UUD. Sementara itu, dalam tataran praktis, jika GBHN dimasukkan dalam
konstitusi, sangat kecil kemungkinan GBHN mampu menjadi dokumen kebijakan
yang sama kuatnya dengan era Orde Baru mengingat kondisi pluralisme politik
multipartai yang dianut di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini.
Di dalam tataran
konseptual konstitusi terdapat berbagai instrumen yang dimiliki oleh DPR
dalam merumuskan strategi negara. Instrumen-instrumen ini timbul karena
adanya ”pergeseran kekuasaan legislatif” yang menjadi antitesis sistem
pemerintahan Orde Baru. DPR seharusnya dapat mengoptimalkan
kewenangan-kewenangan ini untuk dapat menjalankan pengawasan dan pengendalian
kebijakan pembangunan.
Dengan demikian,
apabila terdapat kesalahan pada sopirnya, jangan diganti mobilnya! Sebab
empat kali amendemen yang dilakukan pada UUD 1945 sudah memberikan parlemen
kekuasaan yang sangat besar dalam fungsinya sebagai legislator.
Konstitusi saat ini
memberikan parlemen kewenangan legislasi yang sangat tegas memberdayakan DPR
walau dirasakan kewenangan legislasi ini belum dijalankan secara optimal oleh
DPR. Produktivitas legislasi DPR semakin lama semakin menurun. Produk
legislasi yang dibuat oleh DPR pun banyak yang saling bertentangan, dan acap
kali dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Konstitusi juga menekankan bahwa
parlemen adalah pemegang hak budget, di mana setiap usulan anggaran menjadi
kewenangan mutlak dari DPR.
Bahkan, konstitusi kita
setelah empat kali diamendemen memberikan parlemen kewenangan yang sangat
besar dalam menentukan pejabat negara sehingga ruang gerak presiden cukup
terbatasi. Sebutlah mulai dari sebagian hakim konstitusi, dan seluruh hakim
agung, anggota Komisi Yudisial, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi,
pimpinan Otoritas Jasa keuangan, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan Komnas
HAM, pimpinan KPPU, pimpinan Ombudsman, dan masih banyak lembaga negara lain
yang pengisian jabatan pimpinannya ditentukan DPR.
Ide memasukkan kembali
pasal mengenai GBHN dalam UUD 1945 jadi tidak relevan dengan struktur
presidensial dan posisi MPR saat ini. Sebelum diamendemen, MPR yang terdiri
dari anggota DPR dan utusan daerah merupakan lembaga tertinggi negara dengan
kekuasaan yang nyaris tidak terbatas. Hal ini karena UUD 1945 memberikan
peran MPR sebagai pelaksana dan penjelmaan kedaulatan rakyat. Saat itu, MPR
melalui kewenangannya menetapkan UUD 1945, menetapkan GBHN, dan mengangkat
presiden dan wakil presiden.
GBHN dihapus karena adanya
amendemen UUD 1945 yang menghasilkan penegasan fungsi presidensial dan
penguatan daerah otonom berdasarkan UU hasil amendemen, yaitu (UU No 22/1999
dan UU No 25/1999 yang telah diganti dengan UU No 32/2004 dan UU No 33/2004).
Alhasil, pembangunan nasional direncanakan oleh presiden berdasarkan UU dan
peraturan presiden dan bukan oleh MPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar