Senin, 09 Mei 2016

Ekologi Nurani

Ekologi Nurani

Budi Widianarko ;   Guru Besar di Program Magister Lingkungan dan Perkotaan, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang
                                                         KOMPAS, 07 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam Sarasehan ”Perempuan Membaca Amdal” di kampus Unika Soegijapranata, Semarang, 21 April 2016, hadirin terpukau mendengar tutur kata lugas nan runtut dua perempuan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang menolak kehadiran pabrik semen di kampung mereka.
Dengan menggunakan bahasa Jawa sederhana, Gunarti (Pati) dan Sukinah (Rembang) menyampaikan dengan jelas dan masuk akal dampak kehadiran pabrik semen terhadap perikehidupan mereka selaku petani. Pandangan mereka menarik untuk disandingkan dengan isi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang disusun para pakar.

Bagi kedua perempuan itu, bumi Kendeng—yang mereka sebut sebagai Ibu Bumi—adalah sang Ibu Pemberi kehidupan bagi petani, peternak, anak-anak, pepohonan, dan burung. Oleh karena itu, manusia harus membalas budi Ibu Bumi dengan merawatnya dan menyedekahinya—bukan merusaknya dengan penambangan bahan semen. Kedua perempuan itu menyuarakan kekhawatiran akan musnahnya sumber-sumber air oleh operasi pabrik semen yang akan membuat mereka tidak bisa bertani lagi.

Begitu sederhana, tetapi gamblang, kearifan lokal yangmereka pegang dengan penuh keyakinan itu. Mereka yang mempelajari keberadaan dan pemanfaatan ekosistem karst menurut cara kerja ilmu pengetahuan modern yang sarat kaidah ilmiah—seperti para pakar penyusun dokumen amdal—sangat boleh jadi memandang sebelah mata pemahaman kedua perempuan itu. Dalam perkembangan pengetahuan ilmiah yang kompleks dan terstruktur ketat, pemahaman Gunarti dan Sukinah terkesan dangkal. Bukankah terlalu naif jika penolakan eksploitasi ekosistem karst oleh industri semen hanya didasarkan pada prinsip balas budi kepada Ibu Bumi, sang Ibu Pemberi?

Ketegangan antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal bukan hanya kisah di Pegunungan Kendeng. Kisah serupa pernah terjadi di Hongkong pada tahun 1965, seperti dicatat oleh Anderson, antropolog Universitas California Riverside. Ketika itu berlangsung pembangunan rumah sakit di lereng curam yang menghadap ke teluk Castle Peak. Atas pembangunan di lokasi ekstrem itu, warga setempat spontan berkomentar ”Ini sungguh berbahaya, fondasi rumah sakit itu memotong urat nadi sang Naga”.

Peringatan itu mewakili keyakinan warga setempat tentang keberadaan makhluk naga yang hidup dalam tanah di lereng perbukitan itu. Tanpa memerlukan waktu lama, peringatan itu terbukti. Fondasi rumah sakit yang baru selesai ditanam roboh diterjang longsoran tanah dari atasnya. Fondasi itu tumbang setelah Hongkong dihajar taifun yang disusul hujan lebat selama beberapa hari. Atas peristiwa itu, warga setempat berujar: ”Lihat! ini pasti terjadi karenanadi sang Naga telah dipotong”. Mungkin sebagian orang menganggap apa yang dipahami warga teluk Castle Peak itu sebagai takhayul belaka. Namun, sebagai sebuah sistem pengetahuan, kearifan lokal itu terbukti mampu bekerja dengan baik dengan memberikan ramalan yang tepat.

Saling melengkapi

Dalam perkembangannya—seperti diungkapkan Monica Hernandez-Morcillo dkk dalam Journal Environment (Januari-Februari 2014)—pengetahuan ekologi tradisional semakin diperhitungkan dalam pengembangan ilmu, kebijakan, dan manajemen lingkungan. Meskipun berbeda, pengetahuan ilmiah (PI) dan pengetahuan ekologi tradisional (PET) dianggap saling melengkapi dan memperkaya dalam upaya memperbaiki proses pengambilan keputusan lingkungan dan pemahaman tentang keberadaan serta dinamika ekosistem.

PET tidak hanya diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya saja. Karena melekat erat pada perilaku sehari-hari warga, transmisi PET bisa terus-menerus dan meluas. Terlebih lagi, PET juga terdokumentasi sebagai naskah tertulis dan berbagai media baru. Lebih jauh warga lokal juga telah mampu secara dinamik mengombinasikan PET secara tradisional dan oral dengan pengetahuan ekologi populer serta ilmiah—sebagai exogenous knowledge.

Integrasi PI-PET

Kemampuan untuk mengombinasikan dua sistem pengetahuan itu juga terbaca dari paparan Gunarti dan Sakinah tentang dampak pabrik semen. Mereka menggabungkan ajaran untuk setia kepada Ibu Bumi, sebagai sang Ibu Pemberi, dengan elemen-elemen pengetahuan ilmiah seperti daya dukung ekosistem, cekungan air tanah, dan rencana tata ruang dan wilayah—yang mereka peroleh dari pertukaran wacana dengan para pelaku pengetahuan ilmiah.

Kesenjangan pemahaman dan keyakinan antara para pakar penyusun amdal dan warga setempat—yang diwakili dua perempuan itu—menunjukkan tiada pihak yang bisa memonopoli kebenaran. Apalagi dua pihak yang ”bersitegang” menghidupi dua sistem pengetahuan yang berbeda, yaitu PI dan PET. Dalam hal ini, kebenaran tidak tunggal, tetapi beragam. Sudah selayaknya, pelaku PI tidak terlalu menganggap remeh PET.

Dalam persoalan lingkungan, sebenarnya kedua jenis pengetahuan ini justru perlu diselaraskan—tetapi sayangnya kesadaran untuk itu sering terlambat. Sebagai ”adik”, PI sering tidak memperhitungkan muatan kebenaran dalam PET, sang ”kakak”. Anderson (1996) menyarankan cara kerja PI hendaknya diubah untuk mengakomodasi kebenaran sistem pengetahuan lain, termasuk PET.

Dalam ancangannya, PI harus secara lambat laun mengakumulasi berbagai pengamatan yang bermanfaat dan meramunya dengan teori-teori yang kokoh. Menurut Anderson, pengamatan dibuat untuk diperbaiki dan dilengkapi; teori diciptakan untuk dirubuhkan dan diganti. Singkatnya, ilmu pengetahuan terdiri dari pertanyaan-pertanyaan dan peranti-peranti untuk menjalankan observasi dan menciptakan teori—bukan kebenaran mutlak.

Penolakan hasil studi ilmiah, seperti amdal, oleh masyarakat lokal yang mengandalkan kearifan lokal haruslah dipandang sebagai sebuah tantangan untuk berlangsungnya integrasi PI dan PET. Dalam kerumitan persoalan lingkungan, keragaman kebenaran adalah sebuah keniscayaan. Berbagai kebenaran harus bisa hidup berdampingan. Jika ini disadari oleh para pengambil kebijakan, banyak ketegangan lingkungan yang bisa diatasi dengan mencari titik temu, bukan dengan kepongahan sistem pengetahuan (ilmiah) yang sedang berkuasa. Keselarasan antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal akan menorehkan wajah ekologi yang peka pada panggilan nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar