Pendidikan dan Aktualisasi Nawa Cita
Sutrisno ;
Guru SMPN 1 Wonogiri
|
MEDIA INDONESIA,
30 April 2016
PERINGATAN Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap 2 Mei merupakan tonggak penting untuk
melakukan sebuah refleksi kritis tentang sejauh mana proses pendidikan
Indonesia dalam memberikan andil bagi tatanan kemajuan bangsa dan mengangkat
peradaban Indonesia. Sosok Ki Hadjar Dewantara menjadi tokoh di balik
peringatan Hardiknas itu.
Ki Hadjar Dewantara,
nama kecilnya Suwardi Suryaningrat (1889-1959), ialah tokoh zaman pergerakan.
Ia dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional atas jasa-jasanya merintis
dan memajukan pendidikan di Tanah Air.
Kepeduliannya terhadap
pendidikan tak perlu diragukan lagi. Dengan visi keindonesian, ia dirikan
sekolah Taman Siswa yang kini menyebar di berbagai penjuru negeri. Ki Hadjar
menyakini pendidikan tidak bisa dilepaskan dari budaya. Dengan pendidikan
pula, pola pikir anak-anak akan menuju arah sebuah kemajuan. Pertalian
pendidikan dengan kemajuan sebuah bangsa memang tak dapat dimungkiri.
Peringatan Hardiknas
2016 ini mengusung tema Pendidikan dan
kebudayaan sebagai gerakan pencerdasan dan penumbuhan generasi berkarakter
pancasila. Tema ini sejalan dengan Sembilan Agenda Prioritas atau lebih
dikenal Nawa Cita yang dikampanyekan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 lalu, yaitu
pada agenda ke-8, melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali
kurikulum pendidikan nasional.
Aplikasi revolusi
karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional itu
dapat kita lihat pada gebrakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies
Baswedan, yaitu membatalkan pelaksanaan Kurikulum 2013 (kembali ke KTSP) bagi
sekolah-sekolah yang baru menerapkannya satu semester, ujian nasional (UN)
bukan sebagai alat penentu kelulusan (sebagai pemetaan), penilaian indeks
integritas sekolah (IIS), dan penerapan computer
based test (CBT) pada UN.
Beragam kebijakan itu
ada yang harus dipuji dan masih ada yang harus dikritik. Patut diakui selama
ini pendidikan di Indonesia sering sekali mengalami inkonsistensi program dan
kebijakan, misalnya, sering terjadi perubahan kurikulum tanpa pertimbangan yang
jelas. Itu merupakan indikasi pengelolaan kurikulum yang belum didasarkan
pada sebuah tuntutan zaman atau keperluan pendidikan. Dengan demikian, tidak
berlebihan jika banyak pihak menuding ada kepentingan tertentu yang
melatarbelakangi terjadinya perubahan itu.
Pada awal pemerintahan
Jokowi-JK, misalnya, Anies memutuskan sekolah yang baru satu semester
menerapkan kurikulum 2013 harus kembali lagi ke KTSP dengan beragam
pertimbangan. Ada beberapa pihak yang mendukung dan tidak sedikit pula yang
mengkritik kebijakan ini.
Kita sangat sepakat
saat ini penguatan pendidikan karakter sangat dibutuhkan generasi muda untuk
membentengi mereka dari beragam model, bentuk, dan tipu daya asing, seperti
radikalisme, budaya Barat, dan gaya hidup konsumerisme. Namun, pertanyaannya
ialah bagaimana kita memulainya? Apakah tidak cukup dengan merivisi kurikulum
yang sudah ada?
Semua itu bermula dari
pola pikir yang telah terbentuk, yaitu perubahan kurikulum menunjukkan
pemerintah sudah bekerja. Padahal, belum tentu kebijakan itu akan
menghasilkan pendidikan yang lebih bermutu, menciptakan manusia Indonesia
yang cerdas, dan berkarakter pancasila. Semua itu hanya dapat dilakukan
dengan sikap konsisten dan berkesinambungan dalam menjalankan suatu program.
Selanjutnya, Kemendikbud
mengeluarkan penilaian IIS sebagai syarat masuk perguruan tinggi negeri
(PTN). Kebijakan penilaian IIS yang dilakukan Kemendikbud banyak menuai
kritik. Itu lebih disebabkan tidak adanya detail indikator-indikator dan
kurangnya transparansi, misalnya, instrumen atau komponen penilaian IIS
seperti apa.
Nah,
ketidaktransparanan itu tentu saja melahirkan penilaian negatif dari publik
karena dilakukan secara tertutup dan menimbulkan kesan subjektif dan
manipulatif. Sebaliknya, penilaian yang dilakukan secara terbuka akan
menimbulkan kesan objektif.
Tidak transparan
Penilaian IIS yang
tidak transparan akan menjadikan siswa sebagai korban, khususnya siswa yang
punya nilai UN tinggi, tapi nilai IIS rendah. Belum tentu siswa itu
mendapatkan nilai ujian dengan cara tidak jujur. Namun, karena mendapat nilai
IIS yang rendah, mereka harus menanggung akibatnya. Ini sebuah penarikan
kesimpulan yang keliru dan layak dipertanyakan jika Kemendikbud hanya menilai
sekolah berdasarkan kejujuran saat UN atau minimnya pelanggaran saat UN dalam
menentukan nilai IIS. Ini tentu tidak adil dan belum tentu semua siswa
sekolah itu tidak jujur sehingga wajar rasanya jika kita mengkritik penilaian
IIS ini.
Jadi, bagaimana bisa
mencerdaskan generasi muda dan berkarakter Pancasila jika sistem dan pemegang
kebijakan sendiri menunjukkan sikap tertutup dan tidak membuka instrumen dan
komponen dalam penilaian IIS kepada publik. Dengan kata lain, ada
ketidakjujuran dalam melakukan penilaian IIS itu.
Semestinya, sebagai
wujud pengamalan Pancasila yang tecermin dari sikap dan tindak tanduk,
Kemendikbud sudah seharusnya jujur dan terbuka dengan segala kebijakan.
Itulah cerminan revolusi mental dan karakter Pancasila yang sesungguhnya. Ini
juga akan menghindari adanya prasangka buruk dari publik terhadap kebijakan
seperti IIS ini. Kejujuran dan sifat terbuka itu akan menjadi model dan
melahirkan kepercayaan yang tinggi dari publik dan siswa di sekolah karena
mereka ikut dan bisa mengamati serta dapat melihat langsung bahwa benar
penilaian dilakukan secara objektif.
Akhir kata, betapa pun
bagusnya tema yang diusung dalam peringatan Hari Pendidikan kali ini, jika
hanya sebatas retoris dan wacana, itu tentu tidak akan berpengaruh besar pada
peningkatan dan kemajuan pendidikan. Sekali lagi, kita inginkan aksi nyata
yang sesungguhnya. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar