Mandalika
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 09 Mei
2016
Hidup sama sekali tak mudah bagi Maryam-dan
agama tak menolongnya. Bahkan sebaliknya. Dalam hidup tokoh novel Okky
Madasari ini, agama menghimpun tiga anasir represif terhadap hidupnya: orang
tua yang menekan anak-anaknya, laki-laki yang diutamakan di atas perempuan,
dan doktrin yang membuat orang-orang terikat dan kemudian bermusuhan. Di
bawah tekanan semua itu, kebaikan menjauh.
Maryam mencoba melawan itu-dengan setengah
diam.
Menjelang akhir novel ("Maret
2006"), seorang bayi perempuan lahir. Maryam dan suaminya yang baru,
Umar, penuh harap. Mereka menamai anak itu "Mandalika"-nama yang
diambil dari legenda lokal. Bukan nama Arab, kata Maryam. Bukan seperti ayah
dan ibunya.
Bagi Maryam, itu langkah awal sekaligus paling
mudah untuk menjauhkan anaknya dari segala kepedihan yang dialami
keluarganya. "Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat dengan
kebaikan," katanya, berulang kali.
"Jauh dari agama tapi dekat dengan
kebaikan"-agaknya ini ungkapan penampikan yang bisa membuat orang
terenyak (tapi tak terelakkan) dan membuat novel Maryam unik dalam karya
sastra Indonesia terakhir, di masa ketika agama, khususnya Islam, hadir kuat
di mana-mana.
Maryam lahir dan dibesarkan di Desa Gerupuk,
di pantai selatan Lombok. Ia generasi ketiga pengikut Ahmadiyah. Mula-mula
Komunitas Ahmadi hidup berdampingan dengan penduduk muslim yang lain. Tapi
bukannya tanpa ketegangan-dan sebagaimana dikisahkan novel ini, ada
ketegangan membisu yang merayap ke dalam hidup Maryam.
Sebagaimana dalam komunitas iman yang lain, di
sini juga para penganut membentuk lingkaran tertutup, dengan tembok yang
mudah mengeras. Sejak remaja Maryam berusaha hidup dalam lingkaran itu dengan
tertib, atau lebih tepat: dengan ketakutan. Terutama dalam berhubungan dengan
laki-laki: ketika cinta tumbuh antara orang Ahmadi dan bukan Ahmadi, hubungan
lebih jauh akan terancam. Komunitas di kedua pihak akan merintangi itu, dan
konflik terjadi.
Maryam ikut menanggungkannya.
Ia jatuh cinta kepada Gamal, sesama Ahmadi,
tapi gagal: Gamal membelot dari keyakinan keluarganya. Maryam pindah ke
Jakarta, bekerja di sebuah bank. Ia bertemu dengan Alam, yang bukan penganut
Ahmadi. Mereka saling jatuh cinta dan siap menikah, tapi calon mertuanya
berkata: "Suami adalah imam seorang isteri. Ketika sudah menikah nanti,
isteri harus mengikuti suaminya, menuruti suaminya, apalagi dalam soal
beragama." Sebaliknya ibu Maryam bertanya kepada Alam: "Apa itu
berarti Nak Alam sudah siap menjadi seorang Ahmadi?"
Orang-orang tua melindungi, tapi juga
menguasai dan menekan anak-anak mereka. Orang-orang tua dilindungi ajaran
mereka, tapi sebenarnya dikuasai sepenuhnya.
Maryam, mungkin karena ia seorang perempuan,
merasakan tekanan yang lebih-maka lebih pula resistansinya. Ia letakkan
pikirannya dalam semacam isolasi. Ia mencoba lupa. Kadang-kadang ia berpikir,
"Ia hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah pengajian
Ahmadi."
Tapi pernikahan Alam dan Maryam tak sampai
berumur lima tahun. Mereka tak kunjung punya anak. Orang tua Alam mendesak,
dan dalam keadaan kesal, Maryam merasa bahwa orang tua itu menyalahkannya
karena ia pernah "sesat". Ia pun meninggalkan Alam, dan kembali ke
Lombok, ke keluarganya sendiri.
"Sesat" adalah kata yang ganas. Itu
pula yang menyebabkan masyarakat Islam di Gerupuk, yang menganggap Ahmadiyah
"sesat", pada suatu hari-setelah mendengar khotbah yang dulu tak
pernah mereka dengar-mengusir tetangga mereka. Mereka melempar batu ke
genting dan kaca jendela orang Ahmadi, merusak pagar dengan parang dan
cangkul. Akhirnya 17 rumah dibakar, dengan ultimatum: kaum Ahmadi harus
meninggalkan iman mereka atau hengkang.
Keluarga Maryam terusir. Bahkan ketika ayahnya
meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ia tak boleh dimakamkan di desanya
sendiri.
Apa yang dibawa agama: kebaikan? Atau ganasnya
kata "sesat"? Apa yang dibawa iman bersama: ketenangan? Atau
desakan yang menghilangkan kebebasan memilih?
Maryam kembali ke komunitas Ahmadiyah yang
harus hidup di pengungsian. Ia memprotes pejabat Negara yang tak melindungi
orang-orang yang dianiaya itu, yang selama enam tahun terpaksa menempati
kamar-kamar sempit di Gedung Transito. "Kami hanya ingin pulang…."
Dalam arti tertentu, Maryam pulang: dari
lupanya akan asal-usul. Tapi ia tak kembali. Ia diam-diam merestui adiknya,
Fatimah, meninggalkan komunitasnya untuk menikah dengan "orang
luar". Dengan demikian, ia mengatasi demarkasi yang bernama agama,
sambil menunggu kelahiran Mandalika.
Mandalika, dalam legenda Lombok Selatan itu,
putri raja yang mengorbankan diri untuk mencegah permusuhan. Ia, yang
diperebutkan, menenggelamkan diri di laut. Tapi, kata sahibul hikayat, ia
datang kembali setahun sekali saat purnama, dalam wujud cacing-cacing-hewan
yang dianggap menjijikkan-untuk menyuburkan tanah. Tanah siapa saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar