Golkar, Kembali ke Paradigma Baru?
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
|
JAWA POS, 14 Mei
2016
MUNASLUB Golkar akhirnya
digelar di Bali. Pembukaannya dipercepat. Menyesuaikan jadwal Presiden Joko
Widodo (Jokowi), yakni hari ini, 14 Mei 2016.
Perubahan jadwal untuk
beberapa kali itu menunjukkan betapa pentingnya faktor pemerintah. Jalan ke
arah munaslub (musyawarah nasional luar biasa) pun tak lepas dari pemerintah.
Wajar kalau kemudian muncul pertanyaan: Siapa sebenarnya di antara delapan
kandidat yang didukung pemerintah?
Berbagai spekulasi muncul.
Rumor yang beredar, Setya Novanto didukung Luhut Pandjaitan. Ade Komarudin
didukung Jusuf Kalla.
Jokowi mendukung siapa?
Tidak begitu jelas. Jokowi selalu menampilkan sikap netral dan menyimpan
misteri. Kendati demikian, siapa pun yang menjadi ketua umum (Ketum),
pemerintah akan diuntungkan oleh dukungan Golkar.
Dibimbing
Uang?
Terlepas dari spekulasi
seperti itu, faktor internal, persisnya pemilik suaralah, yang bakal
menentukan hadirnya ketua umum baru. Karakter pemilik suara Golkar sering
dibaca sekadar menegaskan pragmatisme.
Selama ini, terutama sejak
pelaksanaan konvensi yang disusul munas Partai Golkar di Bali pada 2004,
mereka dikritik sebagai para aktor penentu "demokrasi yang dibimbing
uang". Atau meminjam Nurcholish Madjid tempo dulu, "gizi".
Kalau kritik itu benar, faktor uang (money)
tak terelakkan, di samping "kekuasaan" (power).
Namun, yang menarik dari
munaslub kali ini, isu politik uang mendapat respons kelembagaan dari steering committee (SC) yang membentuk
dewan etik.
Isu antipolitik uang pun
sudah dilancarkan jauh hari. Bahkan hendak melibatkan aparat penegak hukum,
termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa isu pelanggaran etis
juga ditunjukkan untuk diproses secara formal. Jelas itu menunjukkan adanya
kemajuan, kendati barangkali masih sekadar formalitas.
Munaslub kali ini
dilakukan saat Golkar berupaya bangkit dari keterpurukan konflik internalnya.
Para pemilik suara dihadapkan pada situasi yang tampaknya dilematis.
Di satu sisi, mereka
"sangat rasional", kalau bukan "sangat pragmatis" untuk
menentukan pilihan. Di sisi lain, tentu idealisme politik tidak sepenuhnya
dapat ditinggalkan. Mereka menggenggam jalannya sejarah masa depan partai
lewat keputusan politik masing-masing.
Sesungguhnya kultur
pragmatis itu bukan saja monopoli Partai Golkar. Tapi juga nyaris terjadi di
semua parpol. Sebab, kemandirian parpol sudah diwujudkan oleh sistem yang
kurang mendukung.
Sistem keuangan parpol
selama ini dianggap sebagai biang kerok yang membuat kualitas demokrasi
internal parpol-parpol mengalami kemerosotan. Secara simplistis, biasanya hal
itu dikaitkan dengan "sangat sedikitnya" bantuan negara kepada
parpol-parpol.
Perundang-undangan
memberikan kesempatan kepada parpol untuk bisa dibantu oleh sponsor
perorangan dan perusahaan dengan batasan jumlah tertentu. Kenyataannya,
justru hal itu memberikan peluang bagi para "cukong politik" untuk
membiayai parpol.
Tanpa
Kepala
Apa pun keterbatasannya,
munaslub Golkar kali ini merupakan resultan politik internal dan eksternal
Golkar, yang sesungguhnya pula menggambarkan sebagian wajah politik
Indonesia.
Tak ada "orang
kuat" di Golkar yang mampu bertahan dalam durasi politik yang lama.
Sebab, terutama pada era reformasi, Golkar bukan lagi parpol
"kepemilikan".
Tidak ada tokoh yang bisa
mengklaim sebagai "pemilik". Dengan begitu, bisa dipahami seloroh
sementara kalangan yang menyebut Golkar ibarat "manusia tanpa
kepala". Sebab, "kepalanya" bisa diganti-ganti kapan pun.
Itulah yang membedakan Golkar dengan "catch-all
parties" lainnya seperti PDIP (Megawati), Partai Demokrat (Susilo
Bambang Yudhoyono), Gerindra (Prabowo Subianto), Hanura (Wiranto), Partai
Nasdem (Surya Paloh), atau PKPI (Sutiyoso).
Apakah, manakala isu
menghidupkan lagi dewan pembina, sebagaimana bentuk dan kewenangannya yang
nyaris sama dengan masa Orde Baru, terlaksana, Golkar lantas akan "punya
kepala"? Belum tentu juga. Sebab, lembaga demikian bisa dihapuskan lagi
dalam munas berikutnya.
Sesungguhnya yang menarik
dari Golkar masa reformasi justru adanya tawaran paradigma baru. Hal itu
dinyatakan pada munaslub 1998 de¬ngan Akbar Tandjung sebagai ketua umum.
Paradigma baru membuat
Golkar ingin keluar dari tradisi lama ke alam tradisi politik baru sebagai
partai modern yang demokratis. Paradigma baru mengemban misi pencerahan dan
demokratisasi politik. Kesadaran kualitatif demikian itulah yang hendak
ditanamkan. Tetapi sayang, cenderung gagal pada praktiknya.
Paradigma baru terkesan
mudah terlibas oleh kembali membuncahnya kultur pragmatis-transaksional
ketika uang dan kekuasaan menjadi faktor penentu berbagai proses kepolitikan
internal. Kondisi demikian sesungguhnya kurang baik bagi Golkar yang tengah
terjebak di labirin politik yang terlampau pragmatis. "Kembali ke
demokrasi" dalam arti yang sebenar-benarnya, yang sejatinya telah dicoba
dirumuskan dalam paradigma baru Golkar, tampaknya tetap menjadi rumus baku
yang bisa menyelamatkan sejarah masa depan Golkar sebagai kekuatan politik.
Peluang untuk itu masih
tetap terbuka. Dengan catatan, pemimpin partai tersebut mampu memosisikan
diri sebagai transformational leader
alias pemimpin transformatif yang mampu mengubah kultur.
Kalau tidak, dalam
beberapa fase politiknya ke depan, Golkar akan dikendalikan oleh pemimpin
yang, meminjam James MacGregor Burns, mediocrity.
Yang biasa-biasa saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar