Kuliah Sambil Kerja
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 13 Mei
2016
Bisa
studi lanjut ke luar negeri itu menjadi idaman bagi banyak mahasiswa. Orang
membayangkan betapa enak dan kerennya kalau bisa memperoleh beasiswa ke
negara maju.
Tentu
saja bayangan itu tidak salah, namun bagi mereka yang menjalani akan memiliki
pengalaman dan cerita lain. Adalah hal yang lumrah, kuliah sambil bekerja
untuk mencari tambahan biaya. Terlebih jika mengambil program pascasarjana
dengan disertai istri dan anak, beban psikologis dan ekonomis cukup berat
dirasakan yang berimplikasi pada kelancaran dan prestasi studinya. Secara
intelektual, para penerima beasiswa ke perguruan tinggi di Barat, misalnya,
mesti melewati persaingan yang berat dan ketat.
Oleh
karenanya, mereka yang telah lolos ujian seleksi bahasa dan potensi
intelektual pasti bagus kualitasnya. Jadi, sesungguhnya masalah yang lebih
berat berakar pada masalah nonakademis. Banyak tantangan dan hambatan yang
mesti dihadapi oleh mahasiswa di luar negeri. Tradisi belajar di Timur Tengah
berbeda dari perguruan tinggi di Barat. Di samping iklim, ada pula faktor
makanan.
Orang
Indonesia sulit berpisah dari makan nasi. Juga kecenderungan untuk selalu
berkumpul dengan teman sedaerah. Kebiasaan ini akan menghambat proses
sosialisasi memasuki pergaulan internasional. Akibatnya, sekalipun tinggal di
luar negeri, mayoritas waktunya diisi dengan berpikir dan berbicara dalam
bahasa Indonesia. Makanya ada beberapa mahasiswa yang memilih berkawan dekat
dengan orang asing agar lebih terasa belajar di luar negeri dan juga untuk
memperlancar bahasa.
Mahasiswa
yang membawa keluarga, istri dan anak misalnya, umumnya istri mencari
pekerjaan untuk mendapatkan uang tambahan karena dana beasiswa yang diterima
suami tidak cukup. Ada yang jadi baby sitter, kerja di restoran, jualan
makanan, dan sebagainya. Tidak jarang ketika datang libur musim panas selama
tiga bulan suami juga bekerja musiman. Saya sendiri pernah kerja pada KBRI di
Jeddah Arab Saudi selama musim haji.
Lama
kerja 40 hari di bagian informasi haji. Tugas saya mencatat jamaah haji yang
sakit dan meninggal lalu tiap malam mengirim berita ke Jakarta. Selama kuliah
di Turki saya tiga kali menjadi tenaga musim haji, dengan honor 50 riyal per
hari. Jumlah yang lumayan untuk tambahan biaya hidup dan membeli buku serta
keperluan lain. Beruntunglah mereka yang memperoleh beasiswa cukup sehingga
waktunya hanya diisi untuk studi.
Sekali
lagi, problem belajar di luar negeri cukup beragam. Ada teman yang studi di
Belanda dan gagal di tengah jalan karena bermasalah dengan profesornya yang
menurutnya kaku, sulit diajak berdiskusi, memandang rendah mahasiswa
Indonesia sebagai inlander. Profesor pembimbing disertasi pada umumnya memang
demanding, ingin perfeksionis karena kalau mahasiswa bimbingannya tidak bagus
hasilnya, yang menjadi taruhan nama baik dirinya.
Ini
berbeda dari profesor pembimbing di Indonesia yang kurang serius dan kurang
fokus karena sambil mencari kerja sampingan. Kembali ke soal kerja, setiap
datang musim haji KBRI di Arab Saudi selalu membuka lowongan kerja bagi
mahasiswa Indonesia khususnya di Timur Tengah mengingat dibutuhkan tenaga
kerja untuk membantu melayani jamaah haji. Keuntungan bagi mahasiswa, di
samping memperoleh honor, juga dapat menunaikan ibadah haji.
Bagi
KBRI juga diuntungkan karena mahasiswa menguasai bahasa Arab dan memahami
tata cara ibadah haji serta lingkungan sosial Arab. Umumnya mahasiswa di
Timur Tengah pernah bekerja sebagai temus haji. Sebuah istilah yang sangat
akrab, maksudnya tenaga musim haji. Peminat menjadi temus haji ini juga
menarik mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di India dan Eropa. Mungkin
juga sekarang sudah merembet ke Amerika.
Banyak
cerita suka dan duka kuliah di luar negeri. Terutama ketika keluarga sakit,
bersamaan tugas kuliah yang menuntut kerja keras, sementara uang beasiswa
tidak mencukupi. Lebih stres lagi ketika sudah diperingatkan batas waktu
beasiswa mendekati berakhir, padahal tugas riset dan penulisan disertasi
belum selesai. Bagi kita yang di Indonesia selalu membayangkan kuliah di luar
negeri itu serbamewah dan menyenangkan. Ini bisa dipahami karena setelah
tamat dan kembali ke Indonesia jarang yang mau bercerita pengalaman pahitnya.
Bahkan ada yang sengaja menutupinya.
Saya
merasa beruntung karena sejak kuliah strata satu di Jakarta memang sambil
bekerja. Jadi, sudah punya tabungan mental bagaimana rasanya menjadi
mahasiswa miskin, yang kemudian justru saya jadikan cambuk untuk menaklukkan
berbagai rintangan yang menghadang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar