Kemenangan Setnov dan Akhir KMP
Ismatillah A Nu'ad ;
Peneliti Madya Institute for
Social Research and Development
|
JAWA POS, 18 Mei
2016
KOALISI Merah Putih (KMP)
semakin retak pasca kemenangan Setya Novanto (Setnov) dalam munaslub Partai Golkar.
Setnov berhasil memenangi pucuk pimpinan Golkar dengan mengalahkan rivalnya,
Ade Komarudin, dalam satu putaran. Akom memilih menyudahi rivalitas meski
mendapat dukungan awal lebih dari 30 persen. Dengan itu, seharusnya dia
berhak maju ke putaran kedua dalam pemilihan ketua umum.
Sebelumnya, dugaan bahwa
Setnov akan memenangi pucuk pimpinan Golkar sudah tercium. Bahkan, dugaan
skenario intervensi pemerintah merebak. Munaslub dituding hanya kepanjangan
tangan dari intervensi pemerintah melalui Menko Polhukam Luhut Binsar
Pandjaitan. Tentu, Luhut kemudian menepis kabar adanya intervensi pemerintah
terhadap Setnov tersebut. Luhut menegaskan bahwa pemerintah tidak
mengintervensi jalannya munaslub Golkar. Munaslub, menurut dia, berjalan
sesuai mekanisme demokrasi dalam internal Golkar sendiri.
Dengan hasil munaslub ini,
keretakan partai-partai dalam barisan Koalisi Merah Putih (KMP) -pengusung
duet Prabowo-Hatta saat Pilpres 2014- semakin terlihat. Resmi sudah
partai-partai dalam KMP menyeberang ke koalisi barisan pemerintah.
Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sudah dipundaki
Romahurmuziy mengalahkan kubu Djan Faridz yang dikenal sebagai tokoh KMP.
Dengan terpilihnya Romahurmuziy, PPP pun menyeberang ke kubu pemerintah.
Banyak analis melihat
bahwa elite-elite utama PPP dan Golkar memiliki pengaruh dan taring yang
cukup signifikan dalam melanggengkan kepemimpinan Jokowi. Bahkan, mungkin
saja untuk periode mendatang. Terlebih lagi Golkar yang memang tidak memiliki
sejarah menjadi partai oposisi. Sedari dulu, Golkar dikenal sebagai partai
koalisi pemerintah atau disebut partai status quo.
Sebetulnya strategi
oposisi dalam sistem presidensial yang kita anut kurang efektif. Sebab, dalam
sistem presidensial, tugas parlemen sebatas checks and balances atau sebagai
perimbangan kekuasaan agar kekuasaan tidak cenderung keluar dari rel yang
semestinya. Usulan atau rancangan UU yang diajukan pemerintah juga tidak
untuk ditolak, tetapi hanya diverifikasi dan diperbaiki parlemen, untuk
kemudian disahkan.
Hubungan antara pemerintah
dan DPR memang tidak didesain dalam pola oposisi, tetapi lebih dalam
pelaksanaan checks and balances. Dalam hal legislasi, DPR tidak boleh
menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah. Dalam
fungsi anggaran, DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer
rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) yang diajukan
presiden. Dalam bidang pengawasan, DPR tidak boleh secara apriori menutup
mata terhadap apa yang dilakukan presiden. Kriteria penerimaan atau penolakan
DPR hanyalah satu, ber¬pihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak.
Lagi pula, oposisi yang
berbasis pada nilai-nilai demokrasi tidak sama sekali diarahkan untuk merusak
keadaan. Melainkan justru bervisi memperbaiki dan menyempurnakan tatanan
sehingga mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.
Tidak seharusnya kekuatan
oposisi bertubrukan, apalagi membuat suatu kesenjangan (gap) yang tajam
antara satu dengan lainnya. Sebagaimana dialami di negara-negara yang baru
mengawali proses demokratisasi di mana hal itu sesungguhnya sangat childish (kekanak-kanakan). Oposisi
seharusnya menjadi sebuah kekuatan sinergis yang dapat membawa kebijakan ke
arah yang lebih baik dan integral. Kekuasaan politik memang tidak boleh
absolut, tetapi harus patuh pada aturan main dan demokrasi itu sendiri.
Kerinduan rakyat atas
lahirnya sebuah generasi politik baru yang mempunyai visi kepemimpinan sudah
terlihat jelas. Ini dibuktikan pada pemilu legislatif dan pilpres yang
mengikuti kompetisi politik yang ketat.
Meski begitu, untuk membangun pemerintahan
Jokowi-JK yang kuat ke depan dan menjaga agar agenda perubahan dapat
terlaksana dengan baik, tetap dibutuhkan sparring partner sebagai kekuatan
penyeimbang (balance of power).
Kekuatan penyeimbang yang diharapkan tentu yang benar-benar berperan sebagai
kekuatan pengontrol yang efektif demi tujuan politik kemaslahatan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar