Berhenti Mewariskan Konflik
Sulastomo ;
Ketua Umum PB HMI 1963-1966
|
KOMPAS, 18 Mei
2016
Judul
ini diambil dari sebagian kalimat di
kartu nama Saudara Witaryono S Reksoprodjo, Koordinator Sosialisasi
"Forum Silaturahmi Anak Bangsa".
Lengkapnya, "Berhenti Mewariskan Konflik, Tidak Membuat Konflik
Baru".
Saudara
Witaryono memberikan kartu nama itu, ketika berlangsung simposium nasional
"Membedah Tragedi 1965,
Pendekatan Kesejarahan", 18 April lalu. Forum Silaturahmi Anak
Bangsa adalah forum silaturahminya anak-anak
pahlawan revolusi, yang diculik dan kemudian dibunuh pada 1 Oktober
1965 dini hari, anak-anak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) yang pernah mengangkat senjata melawan Pemerintah RI, dan juga anak-anak eks Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Kalimat
itu, ibarat dua sisi mata uang. Di
satu sisi merupakan harapan kepada generasi tua atau generasi sekarang, agar tidak mewariskan konflik dan
di sisi lain harapan kepada sesama generasi penerus untuk tidak membuat
konflik baru. Kalau kedua harapan itu bisa terwujud, apa yang dikatakan
"rekonsiliasi", yang sedang diupayakan melalui simposium itu,
dengan sendirinya telah terwujud. Beban sejarah akan hilang dan kita sudah
dapat berdamai dengan sejarah. Akankah harapan itu sia-sia?
Peristiwa
1965 itu memang sulit dipahami. Bagaimana pimpinan teras TNI Angkatan Darat,
termasuk Jenderal Ahmad Yani, dapat
diculik dan kemudian dibunuh. Hanya Jenderal AH Nasution yang lepas dari
penculikan, dengan cara melompat pagar rumahnya. Namun, salah seorang putri
dan ajudannya tertembak dan meninggal
dunia. Mayor Jenderal Soeharto, lepas
dari penculikan. Mungkin karena sedang di Rumah Sakit Gatot Subroto, sedang menunggui seorang putranya yang sakit.
Seandainya
Soeharto ikut diculik dan terbunuh, jalannya sejarah akan berbeda. Sebab, sebagai Panglima Kostrad, setelah
diberitahu tetangganya, Mashuri, Soeharto segera mengambil tindakan
menggagalkan G30S, yang ternyata
sebuah kudeta itu. Keberhasilan itu juga didukung adanya fakta, bahwa
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris
MPR Soekarno juga menolak
mendukung G30S. Gerakan 30 September, di Jakarta praktis hanya berusia satu
hari , meski di Yogyakarta, pada 4 Oktober 1965, masih mampu menculik dan
membunuh Komandan Korem Yogyakarta
Kolonel Katamso.
Bahwa
G30S merupakan tindakan makar, diumumkan sendiri oleh pimpinan gerakan itu
melalui RRI dengan membentuk Dewan
Revolusi dan mendemisionerkan kabinet,
di mana nama Soekarno tak tercantum dalam dewan itu. Siapa di balik G30S? Meski di kemudian hari banyak teori, pendapat umum waktu itu hanya mengarah ke
PKI.
Hal
ini tak terlepas dari berbagai peristiwa yang mendahului, di mana indikasinya
diberikan oleh PKI sendiri, antara lain, dengan berbagai aksi
sepihaknya, yang telah berhasil mendominasi perpolitikan nasional dan
menganggap kondisi politik telah "hamil tua" dan menilai 1965
sebagai tahun penentuan, sehingga
perubahan politik nasional akan segera
terjadi. Hal ini juga dipicu
sakitnya Bung Karno pada 4 Agustus 1965 yang menimbulkan spekulasi Bung Karno
berhalangan tetap. Karena itu, G30S
merupakan upaya PKI mendahului perebutan kekuasaan,
sehingga dikenal sebagai G30S/PKI.
Beban sejarah
Namun, serangkaian
peristiwa pasca G30S/PKI itu harus
kita akui telah menjadi beban sejarah
bangsa ini. Pasca peristiwa itu,
terjadi konflik horizontal, bunuh-membunuh
sesama warga bangsa. Selain itu, sebagian masyarakat juga termarjinalkan dari
kehidupan bermasyarakat, dengan ditandainya kartu tanda penduduknya sebagai eks tahanan politik (et). Sebagian
lagi dibawa ke Pulau Buru. Sebagian besar mereka tidak tahu-menahu tentang G30S. Hal ini adalah
dampak dari klaim PKI sendiri, yang memiliki anggota jutaan orang, sementara
CC PKI tidak mengecam G30S
sebagai kudeta. Meskipun Presiden Soekarno berusaha melerai
kondisi konflik itu, tetapi gagal.
Berbagai
peristiwa itu, kini dituntut sebagai pelanggaran
HAM berat oleh penggiat HAM dan korban perlakuan itu. Negara dituntut untuk meminta maaf dan memberikan
kompensasi. Hal ini diperlukan
sebagai upaya rekonsiliasi. Wajar, kalau hal ini menimbulkan sikap pro dan
kontra. Sebab, perjalanan sejarah
bangsa ini memang sering melalui riak-riak kecil sampai besar, yang
meninggalkan luka yang dalam di sanubari bangsa ini. Luka-luka ini tampaknya tetap menganga,
belum sembuh, sehingga menjadi beban sejarah yang tidak ringan. Dari
peristiwa Madiun di tahun 1948, DI/TII, dan PRRI, hingga ke pembubaran
berbagai organisasi/partai, antara lain, Masyumi/PSI/Murba, dan
Manikebu/GPII.
Negara, dalam hal
ini harus bersikap adil. Sebab, stigma termarjinalkan itu, atau pelanggaran
HAM sekalipun, tidak hanya
menimpa korban G30S, tetapi juga yang lainnya. Mereka itu juga ditahan, tanpa diadili, dan
dikeluarkan setelah ada perubahan politik nasional, termasuk Buya Hamka yang
sempat menjadi Ketua MUI di era Orde Baru.
Demikian juga korban G30S, kini hak-haknya telah dipulihkan, sejalan
dengan terjadinya perubahan politik. Meskipun pahit, inilah sejarah bangsa
ini. Jangan sampai terulang kembali.
Etika politik
Berbagai
peristiwa di atas, yang meninggalkan luka di hati masyarakat kita, tidak akan
terjadi, seandainya kita telah memiliki etika politik yang sehat, bahwa politik tidak boleh menghalalkan
segala cara, apalagi menggunakan kekerasan, sehingga mengorbankan banyak
orang yang tidak tahu-menahu. Etika politik seperti itu, memperoleh momentum
yang tepat, ketika kita sudah sepakat Pancasila adalah final. Bahwa sistem politik kita, dilandasi
Pancasila, sehingga politik tujuan menghalalkan cara tidak boleh terjadi
lagi. Apalagi berdampak konflik horizontal, yang hanya menambah luka-luka
bangsa. Hal ini tidak berarti tidak boleh ada
perbedaan, yang dijamin di alam demokrasi.
"Berhenti
mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru", sebagaimana
dicita-citakan Forum Silaturahmi Anak
Bangsa itu, hanya akan terwujud ketika
kita menyepakati tumbuhnya etika politik yang sehat, yang tidak menolerir
ideologi politik "tujuan menghalalkan cara". Bersediakah kita
menyepakati etika politik seperti itu, sebagai platform sistem politik kita
yang demokratis, berdasar Pancasila, dan mewujudkan cita-cita rekonsiliasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar