Ini Beda antara 'Sharing' dan 'Sharing Economy'
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS, 03 Mei 2016
Sewaktu saya kuliah di
Amerika Serikat, saya suka mencari literatur-literatur tua yang tidak ada di
perpustakaan. Mulanya sulit, tetapi begitu kampus berkenalan dengan internet,
perpustakaan menerapkan interlibrary
loan.
Saya bahkan bisa
meminjam buku karangan saya sendiri yang saat itu dikoleksi oleh library of congress melalui
perpustakaan kampus. Cukup menulis di layar monitor, seminggu kemudian buku
datang di rumah.
Beberapa saat setelah
itu, masyarakat berpendidikan membentuk komunitas pinjam-meminjam buku. Semua
koleksi perorangan bisa dipinjamkan. Maklum, harga buku memang mahal dan kita
yang membeli, paling lama hanya memakai buku itu sekitar dua bulan.
Jadi, pantaslah para
pecinta buku men-sharing-kan
koleksinya. Ini murni sharing,
belum menjadi kegiatan ekonomi, namun sudah mengancam eksistensi penerbit.
Gagasan itu baru
berkembang menjadi sebuah kegiatan ekonomi tatkala seorang peneliti menemukan
bahwa rata-rata pemilik power drill
(bor listrik untuk memasang sekrup ke dinding) hanya memerlukan alat itu
sekitar 14 menit.
Padahal, para
produsennya marancang power drill agar
kuat seumur hidup (a lifetime warranty)
makanya wajar kalau harganya mahal.
Dalam hal ini,
konsumen Indonesia mungkin lebih cerdas. Kita masing-masing memang perlu
tenda untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Ya, tenda pesta. Apakah pesta
sunatan, pernikahan, kematian, ulangtahun, reuni, atau apa saja.
Barangkali 2-3 tahun
sekali perlu tenda sekitar 2-3 hari. Lantas buat apa dibeli kalau hanya
dipakai sekali-sekali? Kita pun menyewanya. Murah meriah. Bisnis sewa-menyewa
tenda hidup. Kegiatan ekonomi pun terjadi.
Di Amerika Serikat,
gagasan sharing economy muncul dalam banyak hal. Termasuk dalam pengumpulan
power drill dari para pemiliknya.
Seorang membuat
aplikasinya, memungut biaya sewa, dan sedikit komisi. Mereka yang
membutuhkannya mengunduh apps itu, lalu menyewanya. Ya, hanya untuk beberapa
menit saja. Para pemiliknya pun dapat uang.
Di San Francisco, dua
orang sahabat melakukan kegiatan ekonomi dengan menawarkan sharing space dari
studio apartemennya. Lumayan, tiga orang yang mendaftar.
Sejak itu
lahirlah kegiatan menyewakan space apa
saja, mulai dari kamar yang menganggur, apartemen, kapal pesiar sampai tenda
kemah.
Sekarang, gerakan ini
telah berubah menjadi sharing economy
yang besar, bahkan menggeser kebesaran jaringan hotel. Namanya Airbnb.
Orang-orang yang
piknik ke luar negri menyewakan kamarnya. Pada saat ia menyewa kamar orang
lain di tempat tujuan wisatanya. Uang pun berputar. Segala yang idle (menganggur) menjadi produktif
karena teknologi yang menghubungkan semua pihak.
Ekonomi Gotong Royong
Semangat ekonomi
gotong royong kita pelajari sejak di sekolah dasar. Di dana juga ada sharing,
yaitu sharing tenaga.
Di Bali, kerjasama itu
disebut Subak dan Ngayah, Mapalus (Manado), Gugur Gunung (Jogja), Sambatan
(pesisir Jatim), Song Osong Lombhung (Bangkalan, Madura), Pawoda (NTT),
Siadapari (Sumatera Utara) dan Paleo di Kaltim. Pokoknya dimana-mana ada.
Selain gotong royong,
Indonesia juga punya perekonomiannya, yaitu ekonomi gotong royong. Bung Hatta
pencetusnya.
Sebagai ekonom, Bung
Hata yang berasal dari Sumatera Barat, sangat dekat dengan ekonomi gotong
royong.
Di Desa Lasi,
Kabupaten Agam, misalnya, jejak itu masih amat terlihat. Di sini saya diajak
mantan Wali Nagari Lasi, Suardi Mahmud Bandaro Putiah menyaksikan gerakan
ekonomi rakyat membangun kebun kopi warga desa.
Di atas ketinggian
1.400 menter di atas permukaan laut, Datuk Suardi menunjukkan pohon-pohon
kopi yang di-sharing Rumah Perubahan empat tahun lalu.
Kami memberikan 20.000
bibit, dan kini pohon-pohon kopi kualitas premium mulai panen
sedikit-sedikit.
Ia pun berpesan agar
saya menceritakan kepada khalayak bahwa saya sudah sampai di lereng Marapi.
“Agar mereka tahu Pak Rhenald sudah sampai di tempat nenek moyang orang
Minang,” ujarnya sambal tersenyum.
Turun dari lereng,
saya disambut puluhan warga adat. Mereka membangun balai pertemuan dengan
bahan dari bambu, dan diberi nama “Istana Rakyat-Selaras Alam”. Ini bukan
istana biasa, melainkan istana pelaku ekonomi Gotong Royong.
Jangan salah, mereka
ini benar-benar petani. Tetapi di situ saya melihat Datuk Suardi menjalankan
sendi-sendi ekonomi koperasi. Anggotanya dibuat pandai dengan diskusi rutin,
dan merekapun punya impian bersama dari kegiatan ekonomi itu.
“Kami ingin naik haji bareng melalui kebun kopi ini,” ujarnya.
Melalui gerakan
koperasi yang kita kenal, suara anggota didengar, dan manusia berkumpul dalam
kegiatan ekonomi aktif yang hasilnya ditujukan demi kepentingan anggota: kesejahteraan.
Gotong Royong dan Aps
Di Rumah Perubahan,
gagasan ekonomi Gotong Royong ditangkap oleh Alfatih Timur, yang pernah jadi
mahasiswa saya di kelas Manajemen Perubahan di UI.
Timmy (begitu sapaan
Alfatih) bercita-cita menjadi pemimpin. Tiga hari setelah bergabung di Rumah
perubahan, Timmy saya ajak ke Pulau Buru dan saya tinggalkan beberapa hari di
sana untuk bergabung dengan masyarakat adat desa.
Pulang dari Pulau
Buru, gagasan sosialnya timbul. Ia membangun komunitas Kitabisa.com, sebuah
situs berbagi sosial yang mempertemukan mereka yang mau menggerakkan
perubahan (sosial) tapi tak punya uang dengan yang mau menyumbang.
Gagasannya muncul dari
kesehariannya di masa kecil, di Bukit Tinggi – Sumatera Barat. Di Sumbar,
seperti Bung Hatta, Timmy biasa melihat segala masalah sosial lewat gotong
royong.
Upacara perkawinan,
pindahan, sunatan, bangun masjid, pertanian, pendidikan, bangun pasar dan
seterusnya. Semua dilakukan warga adat bergotongroyong.
Bedanya, kini Timmy
tinggal di kota, Ia bergaul lintas budaya dengan teknologi pula yang
mempertemukan kita semua. Real time!
Ia pun menciptakan situs Kitabisa.com.
Tahukah Anda, Timmy
dan Kitabisa.com bersama ribuan orang Indonesia tahun ini sudah mengumpulkan
lebih dari Rp 11 miliar.
Dana tersebut
disalurkan untuk membangun jembatan yang terputus akibat bencana alam
sehingga anak-anak sekolah tak perlu bergelayutan di sisa-sisa jembatan yang
rawan rubuh, rumah bagi kaum dhuafa, pengobatan bagi penderita kanker, bangun
perpustakaan, masjid di Tolikara sampai bus donor darah dan hadiah umroh
bagi penjaga kampus.
Semua ini kegiatan
sosial ? Ya ! Terang benderang.
Apakah ini ada
ekonominya ? Ya juga. Apakah dibenarkan ada kegiatan yang membagi keuntungan?
Tentu saja tak dilarang sepanjang keuntungan didapat secara halal dan wajar.
Tapi baiklah, besok
kita lanjutkan, sambil membahas business model, dan five in one dalam gerakan sharing
economy.
Business model itulah
yang sulit dipahami kaum tua. Apalagi, kalau harga jualnya rendah, bahkan
digratiskan seperti mesin pencari Google atau media sosial Facebook.
Dari mana uangnya?
Apakah itu predatory? Jangan sampai
kita gagal paham di sini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar