Indonesia dan Diplomasi Pasifik
James Luhulima ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Pada saat Presiden
Joko Widodo berkunjung ke Belanda, 22 April 2016, ia disambut dengan aksi
unjuk rasa. Tidak tanggung-tanggung, tidak hanya satu, tetapi tiga kelompok,
yakni aktivis Maluku Selatan, yang akrab disebut RMS; Papua; dan
International People Tribunal (IPT) 1965. Pengunjuk rasa yang jumlahnya
sekitar 200 orang itu menunggu Presiden Jokowi di halaman Hotel Kurhaus di
Pantai Scheveningen, Den Haag.
Presiden Jokowi tampak
santai menanggapi hal ini. Ia bahkan sempat menemui salah seorang pelaku aksi
unjuk rasa, bersalaman, dan menerima surat terbuka dari orang itu, yang
intinya meminta penyelesaian politik terhadap insiden Gerakan 30 September
1965 dan peristiwa lanjutannya.
Media langsung
membandingkan sikap Jokowi itu dengan pendahulunya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (2004-2014), yang membatalkan kunjungannya ke Belanda pada tahun
2010, karena ada seorang aktivis RMS yang mengajukan tuntutan ke pengadilan
atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan meminta pengadilan
menangkapnya pada saat ia tiba di Belanda. Presiden Yudhoyono mendesak
Pemerintah Belanda menghentikan proses peradilan tersebut, sesuatu yang tidak
mungkin dilakukan di negara yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.
Pembatalan kunjungan
Presiden Yudhoyono dilakukan pada saat-saat terakhir. Satu jam sebelum
pesawat kepresidenan lepas landas, yaitu pada pukul 13.00, semua anggota
rombongan, termasuk beberapa menteri, sudah duduk di dalam pesawat. Namun
hingga pukul 14.00, Presiden belum memasuki pesawat. Pada pukul 14.30,
Presiden Yudhohono memberikan keterangan di ruang VIP Bandar Udara Halim
Perdanakusuma bahwa ia membatalkan kunjungannya ke Belanda.
Boleh saja Presiden
Yudhoyono menjelaskan dengan panjang lebar alasan pembatalan kunjungan itu.
Namun, yang diingat orang adalah ia sebagai pemimpin dari 230 juta rakyat
Indonesia membatalkan kunjungan tersebut karena seorang aktivis RMS. Ironisnya,
pengadilan Belanda kemudian menolak tuntutan aktivis RMS itu.
Orang juga
membandingkan Presiden Yudhoyono dengan sikap Presiden Abdurrahman Wahid
(1999-2001) yang sewaktu berkunjung ke Belanda tahun 2000, aktivis RMS
diundang hadir dalam jamuan makan malam dengan masyarakat Indonesia di
Belanda.
Atau dengan Presiden
Soeharto (1968-1998) yang berkunjung ke Belanda pada tahun 1970. Presiden
Soeharto dijadwalkan berkunjung ke Belanda pada 1 September 1970. Pada 31
Agustus 1970 sore, Menteri Luar Negeri Adam Malik melaporkan kepada Presiden
Soeharto bahwa kediaman resmi Duta Besar RI untuk Belanda Taswin
Natadiningrat di Wassenaar, Den Haag, diduduki beberapa pemuda yang mengaku
sebagai kelompok pemuda Ambon. Taswin dan keluarganya meloloskan diri.
Peristiwa itu hanya
membuat Presiden Soeharto menunda kunjungannya selama 24 jam untuk memberikan
kesempatan kepada Pemerintah Belanda menyelesaikan persoalan itu. Tanggal 3
September 1970 pagi, Presiden Soeharto dan Ny Tien Soeharto beserta 36
anggota rombongan tiba di Belanda. Lewat kunjungan tersebut, Presiden
Soeharto menunjukkan, ia tidak dapat digertak oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan RMS, kelompok separatis di Ambon yang ditumpas pada awal
tahun 1960-an.
Diplomasi Pasifik
Namun, yang ingin disoroti
dari ketiga aksi unjuk rasa di Belanda itu bukan pada bagaimana Presiden
Jokowi menyikapinya, melainkan pada pesan yang disampaikan oleh para
pengunjuk rasa, terutama dari Maluku Selatan dan Papua, untuk menegakkan hak
asasi manusia di kedua wilayah Indonesia bagian timur itu.
Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa pembangunan dan infrastruktur di kawasan Indonesia
bagian timur secara relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan kawasan
Indonesia bagian barat. Belum lagi penghormatan terhadap hak asasi manusia di
wilayah itu yang juga amat rendah, terutama di Papua, yang letaknya jauh dari
Jakarta sebagai pusat pemerintahan.
Itu sebabnya, tuntutan
untuk menegakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Papua sudah
sangat lama disuarakan, mulai dari masa pemerintahan Presiden Soeharto hingga
kini, 48 tahun sesudahnya. Rasa kecewa dan putus asa yang berlangsung untuk
waktu yang lama itu memunculkan dorongan dan letupan untuk memisahkan diri.
Banyak harapan
ditumpukan ke pundak Presiden Jokowi yang memiliki perhatian khusus terhadap
Papua. Bukan itu saja, Presiden Jokowi pun berkomitmen memperbaiki situasi di
Papua. Dan, sejak terpilih menjadi Presiden, Jokowi sudah lebih dari tiga
kali berkunjung ke Papua. Baik untuk meresmikan proyek infrastruktur maupun
melihat keadaan, bertemu dengan warga masyarakat, dan memberi grasi kepada
lima tahanan politik Organisasi Papua Merdeka. Puncaknya, 10 Mei 2015, ketika
Presiden Jokowi memperbolehkan wartawan asing datang ke Papua, sama seperti
di wilayah Indonesia lainnya.
Dengan pembangunan
infrastruktur, membaiknya penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan
terbukanya Papua bagi wartawan asing, diharapkan diplomasi Indonesia ke
Pasifik, dalam hal ini Pasifik Selatan, menjadi semakin lancar. Selama ini,
kabar buruk tentang Pemerintah Indonesia yang keluar dari Papua membuat
pandangan negara-negara Pasifik Selatan terhadap Indonesia menjadi miring.
Hal itu tentunya tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar