Juru Damai
James Luhulima ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 05 Maret
2016
Harian ini pada hari Selasa (1/3) menurunkan berita tentang
kesediaan Indonesia untuk menjadi juru damai atau penengah dalam konflik
internal di Palestina, yang mengerucut pada persaingan faksi Fatah dan Hamas,
dalam upaya mempercepat kemerdekaan mereka. Tanpa persatuan, sulit mewujudkan
kemerdekaan Palestina.
"Kalau kita diminta (menjadi juru damai di Palestina), kita
akan siap," ujar Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam wawancara
dengan Kompas di Jakarta. Pernyataan Menlu Retno itu terkait dengan rencana
Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta, 6-7 Maret ini. Indonesia
menggantikan Maroko, yang batal menjadi tuan rumah, atas permintaan Palestina
dan OKI.
Pertanyaan yang langsung muncul ke permukaan adalah apakah benar
Indonesia siap menjadi penengah antara Fatah dan Hamas? Apakah Indonesia
benar-benar telah memahami akar dari perpecahan di antara kedua faksi itu?
Atau, pertanyaan lain, apakah pengalaman Indonesia dalam meraih
kemerdekaannya lebih dari 70 tahun silam relevan dan dapat dijadikan
inspirasi bagi Palestina dalam meraih kemerdekaannya?
Tidak ada yang salah dengan pendapat bahwa tanpa persatuan di
antara kedua faksi itu, sulit mewujudkan kemerdekaan Palestina. Rasanya hal
itu sepenuhnya juga disadari oleh Fatah, yang mengontrol wilayah Tepi Barat,
dan Hamas, yang mengontrol wilayah Jalur Gaza. Hubungan antara Hamas dan Fatah
kerap diwarnai ketegangan setelah Hamas keluar sebagai pemenang dalam
pemilihan umum legislatif tahun 2006 dan menjadi penguasa di Gaza. Tahun
2014, kedua faksi itu membentuk pemerintahan bersama, tetapi persatuan itu
hanya bertahan satu tahun.
Jika menyatukan kedua faksi semudah itu, bukankah seharusnya
persatuan di antara kedua faksi itu masih bertahan hingga kini. Namun,
persoalannya tidaklah sederhana itu. Apalagi Israel lebih merasa nyaman
berhubungan dengan Fatah daripada Hamas yang dianggapnya sebagai musuh yang
harus diperangi.
Februari lalu, Qatar berupaya menyatukan kedua faksi itu. Abbas
Zaki, anggota Komite Sentral Fatah, seperti dikutip Gulf News (18/2),
mengatakan, telah tercapai kesepakatan tentatif untuk kembali membentuk
pemerintahan bersama dan menggelar pemilu presiden dan parlemen "dalam
enam bulan hingga satu tahun ke depan".
Lalu, apakah benar dengan bersatunya kedua faksi itu kemerdekaan
Palestina lebih mudah diwujudkan? Ini pertanyaan lain yang masih harus
dijawab.
Konsulat kehormatan
Seandainya Indonesia ingin menjadi penengah di antara kedua
faksi Palestina itu, tidak ada pilihan lain kecuali membuka kantor perwakilan
di Ramallah, Tepi Barat. Dan, menurut Menlu Retno, pada Maret mendatang
Indonesia akan membuka Kantor Konsulat Kehormatan di Ramallah. Dengan
demikian, lebih mudah bagi Indonesia untuk mengadakan kontak dan berhubungan
dengan kedua faksi yang bertikai. Namun, ada satu hal yang tidak dapat
dilakukan oleh Indonesia sebagai penengah, yakni membuka komunikasi secara resmi
dengan Israel. Padahal, tanpa mengikutsertakan Israel, bisa dikatakan tidak
mungkin penyelesaian masalah Palestina dapat dicapai. Apalagi, jika
pemerintahan Presiden Joko Widodo ingin mewujudkan janji kampanyenya untuk
ikut mengupayakan kemerdekaan Palestina.
Israel sendiri melihat Indonesia dapat berperan dalam
mengupayakan solusi damai di Palestina. Sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar di dunia dan berada di luar lingkaran konflik, posisi Indonesia
sangat strategis. Namun, bagi Indonesia, pada saat ini, berhubungan dengan
Israel tidak mungkin dilakukan. Oleh karena, Indonesia tidak memiliki
hubungan diplomatik dengan Israel dan Indonesia juga tidak berniat membuka
hubungan diplomatik dengan Israel.
Namun, keterbatasan itu tidak berarti Indonesia tidak dapat
membantu mengupayakan kemerdekaan Palestina. Indonesia pasti dapat membantu,
tetapi mungkin tidak sebagai juru damai atau penengah. Oleh karena untuk
menjadi penengah, sebuah negara harus memelihara jarak yang sama dengan
pihak-pihak yang bertikai. Jika negara itu hanya dekat dengan salah satu
pihak, negara itu tidak cocok menjadi penengah.
Tidak mudah
Masalah Palestina tidak mudah diselesaikan walaupun itu tidak
berarti tidak mungkin diselesaikan. Namun, harus disadari jalannya akan panjang
dan berliku. Apalagi masalah itu berakar lebih dari 2.500 tahun. Hampir semua
Presiden Amerika Serikat dalam kampanyenya berjanji akan mengupayakan
menyelesaikan masalah Palestina, termasuk Presiden Barack Obama. Namun, semua
upaya itu belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Akan tetapi, itu tidak boleh membuat kita putus asa. Kita harus
mengupayakan agar kemerdekaan Palestina terus dibicarakan di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Di PBB sendiri, sesungguhnya Palestina sudah mendapatkan
posisi yang cukup baik. Pada tahun 2012, PBB menaikkan status Palestina dari
entitas menjadi negara. Dalam Sidang Majelis Umum PBB, 29 November 2012, 138
dari 193 negara anggota PBB setuju Palestina menjadi negara, 9 negara
menolak, dan 41 abstain.
Tiga tahun kemudian, 30 September 2015, bendera Palestina
pertama kali berkibar di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat.
Pengibaran itu dilakukan setelah Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato
dalam Majelis Umum PBB yang menyerukan solusi bagi dua negara, yaitu
Palestina dan Israel.
Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan, kemerdekaan Palestina
sama sekali belum terwujud. Hingga kini, Israel masih mengontrol Tepi Barat,
Jerusalem timur, dan akses ke Gaza.
Menyatukan Fatah dan Hamas saja masih belum cukup. Yang perlu
dicapai adalah Hamas tidak bermusuhan dengan Israel. Jika Hamas tetap
mempertahankan sikapnya, pertemuan dengan Israel semakin sulit dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar