Vonis Pengadilan Tipikor
Aradila Caesar Ifmaini Idris ;
Peneliti Hukum ICW
|
KOMPAS, 29
Februari 2016
Adanya kecenderungan
pengadilan tindak pidana korupsi menghukum terdakwa korupsi dengan hukuman
seringan-ringannya, dan-tentu saja-terus jadi sorotan. Dalam penjatuhan
hukuman bagi terdakwa kasus korupsi, ringan-beratnya putusan dapat dilihat
dari beberapa elemen. Di antaranya, lama pidana penjara, denda pidana,
penjatuhan uang pengganti, dan pidana tambahan lain seperti pencabutan hak
politik. Secara sederhana, hukuman berat haruslah tampak pada masing-masing
elemen penghukuman. Tentu penjatuhan hukuman berat juga harus memperhatikan
besarnya kesalahan terdakwa. Namun, harapan publik agar pelaku korupsi
dihukum berat harus pula dipertimbangkan.
Kecenderungan
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampaknya masih terus berlanjut
hingga sekarang. Sebagai gambaran umum, Indonesia Corruption Watch (ICW)
dalam kajian tentang tren vonis pengadilan tipikor menemukan fakta yang cukup
mengkhawatirkan. Mayoritas perkara korupsi sejak 2013 hingga 2015 hanya
dihukum 1 tahun sampai 1 tahun 6 bulan. Artinya, mayoritas perkara korupsi
yang diputus di pengadilan tipikor masuk kategori hukuman sangat ringan.
Pidana pokok yang ringan juga dibarengi pidana alternatif, seperti penjatuhan
denda yang juga tergolong ringan. Dari catatan ICW, mayoritas terdakwa (309)
hanya dijatuhi denda Rp 50 juta.
Dari sisi pengembalian
kerugian negara pun demikian. Pengadilan tipikor belum optimal membebankan
pembayaran uang pengganti bagi pelaku korupsi. Dari total kerugian negara
yang terpantau, jumlah pembebanan uang pengganti tidak 100 persen menutupi
kerugian negara yang terjadi. Tentu ini fakta sangat mengejutkan mengingat
harapan besar publik agar pengadilan tipikor dapat menjatuhkan hukuman
setimpal kepada pelaku.
Persoalan hukuman
ringan bagi pelaku korupsi dari hasil kajian tersebut umumnya disebabkan tiga
faktor utama. Pertama,tuntutan jaksa penuntut umum yang ringan. Penjatuhan
hukuman oleh hakim dalam persidangan kasus korupsi juga mengacu pada tuntutan
jaksa. Karena itu, tuntutan rendah jaksa juga memainkan peranan kunci dalam
vonis pengadilan tipikor. Sepanjang 2015, mayoritas perkara hanya dituntut 18
bulan penjara atau 1 tahun 6 bulan oleh jaksa. Rendahnya tuntutan jaksa juga
dibarengi ketiadaan inovasi dalam penuntutan. Tak satu pun kasus yang juga
dituntut dengan pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik.
Kedua, ketiadaan
pedoman pemidanaan dalam menjatuhkan vonis perkara korupsi. Hakim cenderung
menjatuhkan pidana minimum kepada terdakwa karena ketiadaan pedoman
pemidanaan. Alhasil, dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku korupsi, sering
kali hakim tidak memiliki dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hakim sering kali menggunakan feeling dalam menjatuhkan hukuman yang tepat
bagi terdakwa.
Sederhananya,
ketiadaan pedoman pemidanaan memunculkan pertanyaan: apa landasan perhitungan
hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa? Ketiadaan pedoman
pemidanaan pada akhirnya menyebabkan hakim cenderung memutus seorang terdakwa
dengan hukuman seringan-ringannya.
Ketiga, faktor lain
yang memengaruhi adalah konstruksi hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU
Tipikor. Secara umum, Pasal 2 ditujukan secara luas bagi pelaku korupsi
terkait kerugian negara, dan Pasal 3 dikhususkan bagi penyelenggara negara
atau pejabat publik. Namun, pembuat UU justru menjatuhkan pidana lebih ringan
bagi penyelenggara negara atau pejabat publik.
Arah pemidanaan
Pemidanaan dalam UU
tindak pidana korupsi setidaknya bertujuan memberikan penjeraan juga
mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul dari kasus korupsi. Jika
menggunakan sudut pandang penjeraan, ancaman hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal
3 masih tergolong kategori ringan. Jika dibandingkan hukuman dalam tindak
pidana biasa, hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tak mencerminkan hukuman bagi
kejahatan luar biasa. Selain itu, tujuan pengembalian kerugian negara pada
kenyataannya masih belum maksimal. Masih ada kesempatan terdakwa menghindar
dari kewajiban membayar uang pengganti.
Persoalan hukuman
ringan bagi terdakwa kasus korupsi sedikit banyak berpengaruh pula pada upaya
menekan angka korupsi. Mustahil pemerintah dan aparat penegak hukum berupaya
menekan angka korupsi jika di sisi lain upaya tersebut dimentahkan oleh vonis
ringan pengadilan tipikor. Upaya pemerintah juga harus dibarengi dengan
semangat memunculkan efek penjeraan dan penangkal melalui putusan pengadilan
tipikor.
Jika berkaca pada
sejumlah persoalan itu, penting rasanya mengonstruksi ulang kebijakan
pemidanaan dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah harus merevisi UU
Tipikor agar vonis ringan pengadilan tipikor tidak kembali berulang. Revisi
itu difokuskan untuk memperberat elemen hukuman bagi pelaku korupsi. Upaya
itu juga harus dilakukan secara paralel dengan memperketat pemberian remisi
atau pembebasan bersyarat bagi pelaku korupsi. Memperketat sistem pengawasan
di lembaga pemasyarakatan juga penting dilakukan. Jangan sampai upaya
menjerakan pelaku korupsi menjadi kontra produktif karena adanya praktik jual
beli fasilitas di lembaga pemasyarakatan.
Selain itu Mahkamah
Agung juga sebagai institusi tertinggi harus bertanggung jawab terhadap vonis
ringan kasus korupsi. Keberadaan pedoman pemidanaan mutlak diperlukan untuk
memperkecil ruang diskresi hakim dan potensi penyalahgunaan diskresi
tersebut. Keberadaan pedoman pemidanaan merupakan instrumen yang sangat
penting dalam mendistribusikan putusan pengadilan yang berkeadilan. Perlu
dipahami bahwa pedoman pemidanaan bukanlah merupakan bentuk intervensi
terhadap independensi dan kemandirian hakim, melainkan upaya menegakkan
martabat hakim dan memulihkan kepercayaan publik bagi institusi pengadilan.
Rasanya merevisi UU Tindak Pidana Korupsi
menjadi lebih mendesak ketimbang merevisi UU KPK. Revisi UU Tindak Pidana
Korupsi sangat berpengaruh signifikan bagi upaya pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar